Berdasarkan isu yang diangkat, studi ini berfokus pada analisis proses terbentuknya Republik Islam Iran dari Monarki Pahlevi melalui revolusi, dilihat dari perspektif Ilmu Politik. Revolusi sebagai strategi perubahan masih kurang diminati dalam studi politik. Literatur yang tersedia belum memberikan kerangka teori yang memadai, terutama karena studi ini mengkaji terbentuknya negara Islam, dan Republik Islam Iran merupakan fenomena pertama dalam sejarah politik Islam modern. Kajian-kajian yang ada lebih banyak membahas tentang pembangunan politik dan transisi menuju demokrasi dengan standar-standar Barat yang sering dipaksakan.
Karena studi ini merupakan studi awal, kerangka teori yang digunakan memanfaatkan pendekatan atau teori dari disiplin ilmu lain, terutama sejarah dan sosiologi, untuk melengkapi analisis obyek yang diteliti. Bahkan dalam pendekatan ilmu politik sendiri, sulit menetapkan satu pendekatan karena unit analisis yang diangkat beragam, sehingga pendekatan yang digunakan harus dibandingkan secara subyektif berdasarkan unit analisis yang relevan.
Dalam buku *Contemporary Political Science* yang diterbitkan UNESCO pada tahun 1950, seperti dikutip oleh Miriam Budiarjo, kajian difokuskan pada teori politik. Teori politik menggeneralisasi fenomena politik secara sistematis. Teori politik dapat bersifat spekulatif ketika berbicara tentang norma-norma politik, tetapi juga bisa deskriptif, komparatif, atau berbasis logika. Revolusi Iran, sebagai fenomena politik, akan dijelaskan secara deskriptif, menguraikan perubahan dari Monarki Pahlevi menjadi Republik Islam.
Untuk menjaga fokus dan menghindari kesalahan dalam memandang negara, kajian ini memandang negara dari sudut pandang pendekatan perilaku, yang melihat negara sebagai sistem politik. Merujuk pada pandangan Miriam Budiarjo, konsep sistem politik diterapkan pada situasi konkret seperti negara, dan berusaha memahami fenomena politik sebagai bagian dari perilaku sosial dalam masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari berbagai proses, di mana gejala politik dilihat sebagai proses yang berdiri sendiri, berbeda dari proses sosial lainnya, yang disebut sebagai sistem politik.
Perdebatan tentang perbedaan antara bentuk negara dan bentuk pemerintahan dalam literatur ilmu politik masih berlangsung dan belum mencapai kesimpulan yang pasti. Kadang-kadang keduanya dianggap sama, namun di waktu lain dianggap berbeda. Menurut Garner Gilchrist dan Mac Iver, yang dikutip oleh FJ Iswara, tidak ada perbedaan antara bentuk negara, melainkan hanya perbedaan dalam bentuk pemerintahan sebuah negara. Di sisi lain, Prof. Krenenburg berpendapat bahwa perbedaan antara bentuk negara dan pemerintahan lebih bersifat terminologis. Namun, kajian ini tidak berfokus pada masalah istilah, melainkan pada proses perubahan. Dalam konteks ini, Monarki Pahlevi adalah sistem politik yang berlangsung dari tahun 1921 hingga kemenangan Revolusi Iran pada tahun 1979. Sementara itu, Republik Islam Iran adalah sistem politik yang dijalankan setelah revolusi, yang dikenal dengan istilah *Wilayatul Faqih*, sebuah sistem politik atau pemerintahan Islam yang dipimpin oleh ulama.
Untuk memperjelas pemahaman tentang konsep Monarki dan Republik, penulis mengutip beberapa pendapat ahli. Menurut Jellinek, jika kehendak untuk membentuk negara muncul secara alami atau psikologis melalui keputusan satu orang, maka negara tersebut berbentuk Monarki. Sebaliknya, jika kehendak itu muncul melalui proses yuridis yang melibatkan sekelompok orang, maka bentuk negaranya adalah Republik. Duguit menambahkan, jika kepala negara dipilih secara turun-temurun, maka bentuk negaranya Monarki, tetapi jika kepala negara dipilih melalui pemilihan umum, maka bentuknya adalah Republik. Sementara Otto Koellreuter menjelaskan bahwa dalam sistem Monarki, kepala negara dipilih berdasarkan keturunan, yang menunjukkan prinsip ketidaksamaan. Sebaliknya, dalam Republik, setiap warga negara memiliki kesempatan untuk menjadi kepala negara jika memenuhi syarat, yang menunjukkan prinsip kesamaan.
Pandangan para ilmuwan tentang eksistensi negara dan perubahan politik sangat bervariasi. Sistem politik tidak bersifat statis atau abadi, melainkan berkembang sesuai dengan sejarahnya. A. Rahman Zainuddin, yang mengutip pemikiran Ibnu Khaldun, menyatakan bahwa ketika negara telah stabil, kebutuhan akan kelompok solidaritas mulai berkurang. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa dalam persaingan antar kelompok solidaritas untuk merebut kekuasaan, hukum alam berlaku. Salah satu kelompok harus menang untuk mendirikan negara, dan hukum alam yang mengatur dunia fisik juga berlaku dalam masyarakat dan negara.
Robert Dahl berpendapat bahwa masih terdapat kekurangan dalam pemahaman sistematis mengenai perubahan politik dan teori yang memuaskan tentang revolusi. Selain itu, kemampuan untuk memprediksi perubahan politik yang signifikan masih sangat terbatas. Namun, ada dua prediksi yang bisa dibuat dengan cukup yakin: pertama, setiap sistem politik, tidak peduli seberapa kuatnya, akan mengalami perubahan besar; kedua, mengingat sulitnya memprediksi perubahan, ketidakpastian yang besar adalah karakteristik tak terhindarkan dalam kehidupan politik.
Setiap sistem politik, terlepas dari kekuatan atau kelemahannya, juga mengalami perubahan. Beberapa perubahan ini terlihat jelas, sementara yang lain tidak begitu dipahami; sebagian perubahan terjadi karena tindakan yang disengaja, sementara yang lain terjadi tanpa niat; ada yang menunjukkan kemajuan dan ada yang disebabkan oleh kegagalan; ada yang berkembang pesat dan ada pula yang mengalami kemunduran; beberapa perubahan berlangsung dengan cepat, sementara yang lain berjalan lambat dan sering kali ke arah yang berbeda. Menurut Macridis dan Brown, dinamika politik dibentuk oleh interaksi antara konfigurasi sosial, ideologi, dan organ pemerintahan yang membuat keputusan. Kelompok-kelompok sosial dan ekonomi, yang dibentuk oleh gagasan yang dianut masyarakat, menekan pemerintah untuk memenuhi klaim mereka. Kelompok kepentingan dan partai politik berfungsi sebagai penghubung antara berbagai tuntutan kepentingan dan keputusan pemerintah. Kepemimpinan politik mengelola klaim tersebut dengan mengartikulasikan mereka dalam bentuk pembelaan dan keputusan. Cara bagaimana konflik disampaikan bergantung pada sifat ideologi dan nilai-nilai yang dipegang oleh otoritas politik.
Menurut Huntington, perubahan politik dapat dikategorikan berdasarkan percepatan, luas, dan arah perubahan dalam sistem sosial dan politik. Ada dua kategori utama: pertama, revolusi yang melibatkan perubahan nilai-nilai dan struktur sosial dengan cepat, menyeluruh, dan penuh kekerasan; kedua, perubahan yang lebih terbatas dalam cakupan dan lebih moderat dalam kepemimpinan, kebijakan, dan institusi politik. Huntington, yang mengamati perubahan politik di 35 negara, mengidentifikasi tiga proses besar dalam transisi politik: pertama, transformasi terjadi ketika elit yang berkuasa memimpin proses menuju demokrasi; kedua, penggantian terjadi ketika oposisi berhasil menggulingkan rezim otoriter; ketiga, transplacement atau "ruptform" terjadi ketika demokratisasi merupakan hasil dari tindakan bersama antara pemerintah dan oposisi.