Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Monarkhi ke Republik (Part 2)

28 September 2024   08:26 Diperbarui: 30 September 2024   14:30 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Berdasarkan uraian sebelumnya, analisis ini akan berfokus pada tiga isu utama, yaitu:
1. Seberapa besar pengaruh ideologi Islam dalam transisi dari Monarki Pahlevi ke Republik Islam Iran.
2. Bagaimana peran Imam Khomeini dalam revolusi Iran dan proses pembentukan Republik Islam Iran.
3. Bagaimana peran gerakan-gerakan oposisi dalam revolusi Iran.

Sesuai dengan perumusan masalah, analisis ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan pengaruh ideologi Islam dalam transisi dari Monarki Pahlevi ke Republik Islam Iran.
2. Menggambarkan pemikiran dan tindakan Imam Khomeini dalam revolusi Iran serta pembentukan Republik Islam Iran.
3. Mengidentifikasi peran kekuatan-kekuatan oposisi dalam revolusi Iran.

Berdasarkan permasalahan yang telah diangkat, studi ini memfokuskan kajiannya pada proses pembentukan Republik Islam Iran melalui revolusi, yang dilihat dari sudut pandang ilmu politik. Revolusi sebagai strategi perubahan belum banyak diminati dalam studi politik, dan kerangka teori yang lengkap masih belum memadai, terutama ketika menyangkut pembentukan negara Islam. Terbentuknya Republik Islam Iran merupakan peristiwa pertama dalam sejarah politik Islam modern, berbeda dengan studi-studi politik yang lebih sering berfokus pada transisi menuju demokrasi dengan standar Barat.

Untuk membangun kerangka teori dalam kajian ini, digunakan pendekatan dari disiplin ilmu lain, seperti sejarah dan sosiologi, guna melengkapi analisis obyek penelitian. Dalam ilmu politik, sulit menetapkan satu pendekatan, karena unit analisis yang diangkat beragam, sehingga diperlukan perbandingan berbagai pendekatan secara subjektif sesuai dengan analisis yang dibahas.

Dalam *Contemporary Political Science* (terbitan UNESCO 1950) yang dikutip oleh Miriam Budiardjo, teori politik berfokus pada sistematisasi dan generalisasi fenomena politik. Teori politik bisa bersifat spekulatif, deskriptif, komparatif, atau logis. Revolusi Iran, dalam hal ini, merupakan fenomena politik yang dijelaskan secara deskriptif, dengan perubahan dari Monarki Pahlevi ke Republik Islam Iran.

Untuk menghindari perluasan yang berlebihan, negara dalam kajian ini dipandang dari perspektif pendekatan perilaku, di mana negara dianggap sebagai sistem politik. Menurut Miriam Budiardjo, sistem politik mencoba mempelajari gejala politik dalam konteks perilaku masyarakat, dan politik dipandang sebagai salah satu proses dari keseluruhan perilaku sosial.

Perbedaan antara bentuk negara dan pemerintahan masih diperdebatkan dalam literatur ilmu politik. Beberapa ahli, seperti Garner, Gilchrist, dan MacIver, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Namun, dalam kajian ini, fokusnya bukan pada terminologi, melainkan pada proses perubahan sistem dari Monarki Pahlevi (1921-1979) ke Republik Islam Iran, yang didasarkan pada sistem *Wilayatul-Faqih*, atau pemerintahan yang dipimpin oleh ulama.

Untuk memperjelas konsep Monarki dan Republik, beberapa ahli dikutip sebagai panduan awal. Menurut Jellinek, Monarki muncul ketika kehendak untuk mendirikan negara diputuskan oleh satu orang, sedangkan Republik muncul dari kehendak kolektif melalui proses hukum. Duguit berpendapat bahwa Monarki terbentuk ketika kepala negara diangkat secara turun-temurun, sedangkan Republik muncul dari pemilihan. Otto Koellreuter menjelaskan perbedaan antara Monarki dan Republik berdasarkan asas kesetaraan dan ketidaksamaan.

Pandangan ilmuwan tentang keberadaan negara dan perubahan politik sangat bervariasi. Sistem politik tidak bersifat statis atau kaku, melainkan berkembang sesuai dengan sejarahnya. Seperti yang dijelaskan oleh A. Rahman Zainuddin dalam pemikiran Ibnu Khaldun, ketika negara telah stabil, kebutuhan akan solidaritas kelompok berkurang. Dalam persaingan antar kelompok untuk meraih kekuasaan, hukum alam berlaku, di mana kelompok yang paling kuat akan memenangkan dominasi untuk mendirikan negara.

Robert Dahl berpendapat bahwa pemahaman sistematis mengenai perubahan politik masih kurang, dan teori yang memadai tentang revolusi serta kemampuan memprediksi perubahan politik masih sangat terbatas. Namun, ada dua hal yang dapat diprediksi dengan cukup yakin: pertama, setiap sistem politik, seberapa kuat pun, akan mengalami perubahan signifikan; kedua, karena perubahan sulit diprediksi, ketidakpastian adalah hal yang tak terhindarkan dalam kehidupan politik.

Setiap sistem politik, terlepas dari kekuatan atau kelemahannya, mengalami perubahan yang berbeda---beberapa terlihat jelas, sementara yang lain kurang dipahami. Beberapa perubahan disebabkan oleh tindakan disengaja, sedangkan yang lain terjadi secara tidak sengaja, ada yang disebabkan oleh kemajuan, dan ada pula karena kegagalan. Menurut Macridis dan Brown, dinamika politik dibentuk oleh interaksi antara konfigurasi sosial, ideologi, dan pengambilan keputusan pemerintah. Kelompok sosial dan ekonomi, yang dipengaruhi oleh gagasan yang dipegang masyarakat, menekan klaim mereka terhadap pemerintah, dengan partai politik dan kelompok kepentingan berperan sebagai penghubung antara klaim-klaim tersebut dan keputusan pemerintah. Kepemimpinan politik mengubah klaim tersebut menjadi kebijakan dan keputusan, tergantung pada ideologi dan nilai-nilai kekuasaan politik yang dianut.

Huntington membagi perubahan politik menjadi dua kategori: pertama, revolusi yang melibatkan perubahan nilai-nilai dan struktur sosial dengan cepat, menyeluruh, dan penuh kekerasan; kedua, perubahan yang lebih terbatas dalam hal cakupan, yang lebih moderat dalam tempo dan pengaruh pada kepemimpinan, kebijakan, dan institusi politik.

Huntington juga mengamati bahwa dalam proses transisi politik di 35 negara, setiap negara menunjukkan karakteristik yang beragam. Ia membagi proses perubahan besar menjadi tiga: pertama, transformasi terjadi ketika elit penguasa memimpin proses demokratisasi; kedua, pergantian terjadi ketika kelompok oposisi berhasil mewujudkan demokrasi dan menggulingkan rezim otoriter; ketiga, transplacement terjadi ketika demokratisasi adalah hasil dari kerjasama antara pemerintah dan oposisi.

Menurut Terry Lynz Karl, ada empat tipe transisi menuju demokrasi: pertama, transisi dengan perjanjian (pact) terjadi ketika kompromi dicapai karena penguasa lama lebih kuat dari masyarakat, menghasilkan demokrasi korporatis dengan perubahan yang cenderung bertahap; kedua, transisi reformasi terjadi ketika masyarakat lebih kuat dari penguasa, menghasilkan demokrasi kompetitif dengan perubahan yang lebih mendasar namun sulit dicapai; ketiga, transisi yang dipaksakan (imposition) terjadi ketika penguasa lebih kuat dan menggunakan paksaan, menghasilkan demokrasi konservatif; dan keempat, transisi revolusi terjadi ketika masyarakat lebih kuat dan memaksakan perubahan, menghasilkan rezim satu partai dominan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun