Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Menemukan TITIK yang Sama (Part_2)

28 September 2024   14:47 Diperbarui: 28 September 2024   14:47 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa antara Khalifah Abu Bakar dan Fatimah r.a. setelah wafatnya Rasulullah tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, karena setiap aspek harus diperhatikan. Kita semua mengenal Fatimah az-Zahra r.a., putri kesayangan Rasulullah, yang duka dan penderitaannya sama dengan penderitaan Nabi sendiri. Fatimah adalah salah satu wanita mulia yang dijamin kemuliaannya di surga oleh Nabi Muhammad Saw.

Namun, kita juga mengenal siapa Abu Bakar, salah satu sahabat pertama yang mendukung Islam bersama Nabi, melalui berbagai kesulitan, termasuk saat hijrah malam bersama Nabi untuk melarikan diri dari ancaman pembunuhan. Abu Bakar juga satu-satunya orang yang ditunjuk oleh Nabi untuk memimpin shalat menjelang wafatnya beliau.

Permintaan Fatimah tentang hak atas tanah Fadak yang diberikan oleh Rasulullah tidak diketahui oleh Abu Bakar, yang merasa tidak bisa melanggar aturan yang telah Nabi tetapkan bahwa tidak ada harta warisan dari beliau kecuali untuk umat. Saat Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, Ali bin Abu Thalib r.a., yang secara nasab memiliki hubungan lebih dekat dengan Nabi, sebenarnya lebih berhak atas posisi tersebut, kecuali jika Hamzah bin Abdul Muthalib masih hidup.

Ali bin Abu Thalib r.a. memiliki kedudukan tinggi di sisi Rasulullah, dan Nabi Muhammad Saw sendiri bersabda bahwa Ali bagi Nabi seperti Harun bagi Musa. Ali juga diterima oleh suku-suku Arab, termasuk Quraisy dan lainnya. Namun, situasi umat Islam pasca wafatnya Nabi menyebabkan Abu Bakar muncul sebagai tokoh penengah untuk menjaga persatuan, sementara Ali sedang sibuk mengurus jenazah Nabi.

Pada akhirnya, Ali mendukung pemerintahan Abu Bakar setelah wafatnya Fatimah, sekitar enam bulan setelah Nabi meninggal. Ali menolak ajakan untuk melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Abu Bakar dan bahkan terlibat dalam pembukuan Al-Qur'an bersama para sahabat lainnya. Setelah Abu Bakar wafat, kekhalifahan dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, dan Ali tetap menunjukkan loyalitasnya, bekerja sama dalam urusan penting.

Konflik mulai timbul setelah Umar bin Khattab terbunuh saat menjadi imam salat Subuh. Beliau dikuburkan di samping Abu Bakar dan Nabi. Sebelumnya, Umar sempat memberi isyarat bahwa Ali layak menjadi khalifah, tetapi menyerahkan pemilihan kepada panitia untuk memilih pemimpin terbaik. Akhirnya, kekhalifahan jatuh ke tangan Bani Umayyah dengan terpilihnya Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Di masa ini, beberapa anggota Bani Umayyah mulai menggunakan trik politik untuk memanfaatkan kedudukan Utsman.

Perlu diingat bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, kejayaan Islam yang telah diwariskan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. mencapai puncaknya. Pada masa itu, wilayah Islam sudah meluas hingga Armenia, Azerbaijan Timur, Tripoli Barat, Suriah, dan Palestina, yang sebelumnya merupakan bagian dari Kekaisaran Bizantium, serta meluas ke Turki, Mesir, Irak, Iran, hingga Persia dan Afrika Utara. Khalifah Umar bin Khattab juga mendirikan Masjidil Aqsa di Yerusalem pada tahun 637 M, yang awalnya berupa bangunan sederhana dengan empat tembok persegi yang dapat menampung sekitar 3.000 jamaah, terletak di area bekas Kuil Raja Herodes dan berdekatan dengan reruntuhan Kuil Nabi Sulaiman as.

Keberadaan sejumlah anggota keluarga Bani Umayyah di pemerintahan tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai kesalahan Utsman bin Affan. Beliau berada dalam posisi sulit, di satu sisi memikul tanggung jawab sebagai pemimpin umat, sementara di sisi lain, menghadapi tekanan dari kerabatnya. Utsman juga merupakan menantu Nabi Muhammad SAW, seperti halnya Ali bin Abu Thalib. Utsman mendapat julukan "Zun Nurain" karena menikahi dua putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kalsum, setelah sebelumnya menikah dengan Ruqayyah hingga wafatnya.

Nabi Muhammad SAW menikahi Khadijah pada usia 25 tahun dan wafat pada usia 63 tahun, dikaruniai dua anak laki-laki, Qasim dan Abdullah at-Tahir, yang meninggal saat masih kecil, serta empat putri: Zainab, Ummu Kalsum, Ruqayyah, dan Fatimah. Putri tertua, Zainab, menikah dengan Abul Ash bin Rabi', namun setelah Zainab mengikuti ajaran Islam yang dibawa ayahnya, suaminya menolak untuk masuk Islam. Setelah perang Badar pada 17 Ramadhan tahun 2 H, Abul Ash memeluk Islam dan kembali menikah dengan Zainab.

Ruqayyah, putri kedua Nabi, sebelumnya menikah dengan 'Utbah bin Abu Lahab, sementara Ummu Kalsum menikah dengan 'Utaibah bin Abu Lahab. Namun, setelah Nabi menerima wahyu, kedua putrinya bercerai dari suami masing-masing. Ruqayyah kemudian menikah dengan Utsman bin Affan, tetapi wafat setelah perang Badar, dan Utsman kemudian menikahi Ummu Kalsum, sehingga mendapat julukan "Zun Nurain."

Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman, Ali bin Abu Thalib r.a. diangkat oleh para sahabat sebagai Khalifah ke-4, yang membuat ketidakpuasan di kalangan Bani Umayyah, mengingat Ali dan Nabi Muhammad SAW berasal dari Bani Hasyim.

Setelah wafatnya Abdu Manaf, ia menyerahkan tanggung jawab pengelolaan Kota Mekkah dan penjagaan Baitullah, peninggalan Nabi Ibrahim dan Ismail, kepada kedua putranya. Namun, Umayyah, putra Abdu Syams, merasa tidak senang karena kekuasaan dibagi dengan pamannya, Hasyim. Umayyah berusaha menyingkirkan Hasyim melalui sidang keluarga, tetapi usahanya tidak didukung oleh banyak pihak.

Perselisihan ini kemudian dibawa ke hadapan seorang hakim yang dipilih bersama dari suku Chuzai't. Sayangnya bagi Umayyah, keputusan hakim justru memenangkan Hasyim. Akibatnya, Umayyah dijatuhi hukuman untuk meninggalkan Mekkah selama 20 tahun dan pergi ke tanah Syam. Dari sinilah permusuhan antara klan Bani Umayyah dan Bani Hasyim bermula.

Pada masa Abdul Muthalib, Bani Hasyim tetap menjadi penjaga Ka'bah dan pengelola Mekkah, hingga masa kenabian Muhammad SAW yang membersihkan Ka'bah dari berhala dan mengembalikan ajaran monoteisme Nabi Ibrahim. Tugas tersebut kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab r.a.

Kemungkinan untuk mempersatukan kembali Bani Umayyah dan Bani Hasyim, Rasulullah menikahkan dua putrinya dengan Utsman bin Affan. Namun, dendam lama tidak hilang di hati sebagian orang dari Bani Umayyah, yang kemudian merasa mendapatkan peluang untuk menyingkirkan Bani Hasyim, dengan menjadikan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya sebagai sasaran. Fitnah pun muncul, menuduh Ali bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman bin Affan.

Keadaan politik yang semakin kacau mendorong Ali memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah. Beberapa sahabat mendesak Ali untuk menghukum para pembunuh Utsman, tetapi Ali menolak karena pelaku sebenarnya belum diketahui. Kekecewaan ini membuat Thalhah dan Zubayr membujuk Ummul Mu'minin 'Aisyah untuk mengangkat senjata melawan Ali dan menarik bai'at mereka.

Perang Jamal pun terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 36 H, dinamakan demikian karena 'Aisyah memimpin pasukan dari atas unta. Ali awalnya mencoba menyelesaikan konflik dengan damai, tetapi setelah perdamaian gagal, pertempuran tak terhindarkan. Pasukan 'Aisyah mengalami kekalahan, namun Ali menunjukkan kebijaksanaannya dengan memastikan 'Aisyah dihormati dan dikembalikan ke Madinah dengan perlindungan penuh.

Setelah konflik dengan 'Aisyah selesai, Ali menghadapi Muawiyah bin Abu Sufyan yang menolak mengakui Ali sebagai khalifah karena dianggap gagal menemukan pembunuh Utsman. Pertempuran antara pasukan Ali dan Muawiyah pun terjadi. Meskipun pasukan Ali sering memenangkan pertempuran, setiap kali Muawiyah mengajukan perdamaian, Ali menerimanya karena tidak ingin terjadi pertumpahan darah.

Kesabaran dan sikap Ali yang menghindari konflik ini membuat beberapa sahabat menarik dukungan mereka, bahkan ada yang memusuhinya. Mereka inilah yang dikenal sebagai kelompok Khawarij, yang memusuhi Ali dan juga Muawiyah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun