Pergulatan Pembaharuan
Perdebatan mengenai pembaruan hukum keluarga Islam di Timur Tengah telah memunculkan berbagai pandangan pro dan kontra di kalangan tokoh Muslim. Salah satu isu kontroversial adalah pembaruan terkait perceraian. Dalam Islam, konsep perceraian yang dikenal luas adalah *khulu'* dan *talq*. *Khulu'*, di mana suami menceraikan istri atas permintaan istri dengan pengembalian sejumlah uang (*'iwa*), sering disalahgunakan. Di beberapa negara, suami menceraikan istrinya hanya untuk mendapatkan *'iwa* yang nantinya digunakan sebagai mahar untuk istri baru.
Begitu pula dengan *talq*, perceraian sepihak oleh suami. Dalam mazhab *anaf*, misalnya, ucapan *talq* yang diucapkan saat mabuk, terpaksa, atau bahkan dalam keadaan bercanda tetap dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini memungkinkan suami menceraikan istri tanpa niat yang kuat. Kondisi ini mendorong banyak istri, khususnya di mazhab *anaf*, untuk menuntut pembaruan hukum keluarga dari pemerintah Ottoman, yang akhirnya melahirkan undang-undang keluarga di Mesir.
Negara-negara lain seperti Sudan, Suriah, Maroko, Yordania, dan Tunisia juga melakukan pembaruan dalam perceraian. Undang-undang Status Perorangan Tunisia tahun 1957 dianggap paling maju karena memperbolehkan istri menuntut cerai dengan alasan apa pun, meskipun pengadilan tetap harus menentukan besaran uang yang terlibat dalam perceraian. Pembaruan ini tidak hanya ditentang oleh golongan konservatif, tetapi juga dari pemikir modern.
Alasan penentangan adalah bahwa pembaruan tersebut dianggap melemahkan ikatan pernikahan, karena suami tidak selalu bersalah meski sering dirugikan. Namun, para suami Muslim tetap memiliki hak menceraikan istri secara sepihak, dan solusi yang lebih baik diperlukan untuk mengatasi ketidakpuasan para istri.
Disisi lain, Salah satu isu pembaruan Hukum Keluarga di Pakistan yang memicu kontroversi adalah poligami. Kelompok reformis berargumen bahwa, berdasarkan pemahaman mereka terhadap poligami dalam al-Qur'an, poligami tidak diperintahkan, tidak diizinkan tanpa syarat, dan tidak dianjurkan. Mereka berpendapat bahwa poligami dapat menimbulkan risiko besar terhadap keadilan sosial dan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga, yang merupakan pilar penting dalam kebudayaan dan peradaban.
Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa poligami tidak boleh dibiarkan menjadi keputusan pribadi semata, melainkan harus diatur secara tegas. Kelompok ini mengusulkan agar seseorang yang ingin berpoligami harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Mahkamah Matrimonial, yang berperan memberikan nasihat serta menyelesaikan masalah dalam perkawinan. Fungsi pengadilan bukan hanya untuk mengatasi ketidakadilan dalam masyarakat, tetapi yang lebih penting adalah mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan perilaku yang tidak adil.
to be....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H