Gerakan mahasiswa kerap dicurigai sebagai sekelompok pemuda yang dianggap merasa paling memahami kondisi masyarakat. Dalam pergolakan yang terjadi di Aceh, apakah mahasiswa akan terjebak saat mencoba merumuskan apa yang disebut sebagai "kepentingan rakyat"?
Habibie hanya bisa mengernyitkan dahi ketika kunjungannya ke Aceh disambut dingin dan permintaan maafnya ditolak mentah-mentah. Dia juga terkejut dengan tuntutan rakyat Aceh yang meminta referendum. Namun, anehnya, dia tidak terkejut ketika aparat keamanan melepaskan tembakan atau menggunakan kekerasan terhadap para demonstran. "Ah, tidak perlu dipikirkan," ujarnya sambil melambaikan tangan.
Namun, terlepas dari sikap Habibie, yang penting dicatat adalah tindakan brutal aparat keamanan hanya menambah daftar panjang dosa mereka dan semakin memperkuat sikap skeptis masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia yang dianggap sering berjanji tetapi tidak menepati. Pemerintah sempat berjanji untuk meminta maaf atas operasi "Jaring Merah" atau Daerah Operasi Militer di Aceh, termasuk menghukum pelaku kekerasan. Tapi, janji tersebut hanya dianggap sebagai omong kosong, karena hingga kini tidak ada pelaku yang dihukum, melainkan malah mendapatkan penghargaan seperti di Timor Timur.
Peristiwa bentrokan antara militer dan warga sipil di Simpang KKA, yang menewaskan 65 orang, dianggap sebagai bukti bahwa permintaan maaf Habibie hanyalah kebohongan belaka. Nyawa manusia begitu murah hanya karena kecurigaan bahwa massa ingin mencuri rudal TNI, padahal mereka hanya ingin menyampaikan aspirasi bahwa mereka ingin didengarkan. Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) malah menjadi teroris berseragam.
Selain itu, demonstrasi yang ditujukan kepada Habibie dianggap digerakkan oleh sekelompok kecil pemuda, mungkin mahasiswa, yang ingin memerdekakan Aceh dan dianggap sebagai kaki tangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro. Tuduhan ini tentu tidak menyenangkan, tetapi apakah benar?
"Tidak benar kami memiliki hubungan dengan GAM. Kami menuntut referendum, bukan kemerdekaan," tegas Tarmizi, aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), yang terpaksa meninggalkan kuliahnya akibat aktivitasnya yang tidak didukung birokrasi kampus. Menurutnya, meski jumlah anggota GAM sedikit, mereka mendapat simpati dari rakyat Aceh karena harus menghadapi tentara yang sering bertindak sewenang-wenang. Jika referendum digelar, rakyat mungkin akan menuntut kemerdekaan, dan itulah yang ditakuti pemerintah. Pemerintah tidak hanya menuduh GAM sebagai Gerakan Pengacau Keamanan, tetapi juga menuduh mahasiswa yang menuntut referendum sebagai kaki tangan GAM. Namun, taktik ini gagal karena rakyat Aceh sudah mengetahui kebusukan militer.
Faktanya, rakyat Aceh yang terus ditekan oleh militer malah mendukung gerakan mahasiswa. Masyarakat kini lebih berani menceritakan kekerasan yang mereka alami, dan hubungan yang erat antara mahasiswa dan masyarakat semakin memperkuat perjuangan untuk kepentingan Aceh. Tarmizi pun menyatakan, "Sebagai bagian dari rakyat, kami tidak bisa dan tidak boleh menggurui mereka tentang masa depan yang mereka inginkan. Jika rakyat memutuskan merdeka melalui referendum, kami siap memperjuangkannya. Jika mereka memilih tetap dengan Indonesia, kami juga siap mendukung. Rakyatlah yang menentukan arah perjuangan kami."
Dukungan masyarakat terhadap gerakan mahasiswa tidak muncul begitu saja. Mahasiswa telah lama melakukan penyadaran kepada masyarakat, yang mayoritas sulit berbahasa Indonesia. Mereka menyadari bahwa kekerasan militer bisa dihentikan, eksploitasi sumber daya alam Aceh dapat dikurangi, dan jika mendapatkan bagian yang lebih besar, Aceh akan maju. Namun, semua itu membutuhkan kemauan rakyat Aceh untuk memperjuangkan otonomi dan masa depan mereka sendiri.
Contoh hasil dari gerakan penyadaran ini adalah aksi 5.000 orang yang digerakkan oleh SMUR. SMUR tidak bergerak sendirian; ada kelompok lain seperti Farmida, Faikada, KARMA, Mapra, KAMMI, Kagempar, dan Wakampas. Namun, SMUR paling dikenal karena dianggap sebagai komite aksi mahasiswa Aceh yang paling radikal. Mereka secara terang-terangan, hanya 10 meter dari Habibie, menyerukan kepada rakyat Aceh untuk menolak pemilu dan menegaskan bahwa musuh utama rakyat Aceh adalah militer. Tidak heran mereka sering disebut sebagai "komunis muda" atau "musuh negara."
Di sisi lain, komite aksi mahasiswa lain lebih moderat. KAMMI, misalnya, menyambut baik permintaan maaf Habibie, tetapi kurang mendapat tempat di hati masyarakat yang menginginkan perubahan. Sementara KARMA bersikap netral terhadap pemilu dan lebih fokus pada referendum, dengan menyerahkan pilihan kepada rakyat Aceh.