Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisa Penolakan Masyarakat terhadap Pembaruan Part 1

17 September 2024   19:09 Diperbarui: 17 September 2024   19:18 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENDAHULUAN

Perkembangan hukum Islam di seluruh dunia menjadi salah satu isu yang terus dibahas sebagai respons terhadap perkembangan zaman. Hal ini dipicu oleh munculnya berbagai masalah baru dalam kehidupan sosial masyarakat muslim. Ketika membahas hukum Islam, jika merujuk pada Al-Qur'an dan literatur hukum Islam, istilah ini sebenarnya tidak secara langsung disebutkan. Al-Qur'an hanya mengungkapkan istilah seperti syariah, fikih, dan hukum Allah. Istilah "hukum Islam" adalah terjemahan dari *Islamic Law* dalam literatur Barat, yang kemudian menjadi populer. Kata "hukum" secara etimologis berasal dari bahasa Arab "hakama," dengan bentuk mashdar "hukman." Kata *al-hukmu* adalah bentuk tunggal dari istilah *al-ahkam*, dan dari akar kata tersebut muncul istilah *al-hikmah* yang berarti kebijaksanaan. Makna ini mengindikasikan bahwa seseorang yang memahami hukum dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dianggap bijaksana. Salah satu aspek pembaruan hukum Islam yang terus menjadi perbincangan adalah hukum keluarga Islam, karena hukum ini menjadi salah satu sumber aturan yang diterapkan di banyak negara muslim. 

Hukum keluarga dalam pengertian sempit mencakup hukum perkawinan dan perceraian, yang diatur dalam berbagai kitab fikih di setiap negara. Kitab-kitab tersebut umumnya merupakan hasil ijtihad dari para mujtahid di berbagai tingkatan, yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat muslim pada masanya. Hukum keluarga ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai mazhab, seperti empat mazhab dalam Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) serta tiga mazhab dalam Syiah (Itsna Asyari, Ismaili, dan Zaidi). Secara umum, hukum keluarga mencakup aturan tentang hubungan kekeluargaan, baik yang terjadi karena hubungan darah maupun akibat pernikahan. Hubungan kekeluargaan ini sangat penting karena berkaitan dengan hak-hak orang tua dan anak, hukum waris, perwalian, serta pengampuan. Hukum keluarga memiliki peran penting dalam Islam karena dianggap sebagai pintu gerbang untuk memahami agama lebih dalam.

Namun, kehidupan keluarga dalam masyarakat tidak bersifat statis, sehingga berbagai masalah baru terus bermunculan, yang mendorong sejumlah tokoh muslim untuk memperjuangkan pembaruan hukum keluarga Islam. Secara historis, upaya pembaruan hukum keluarga Islam di dunia dimulai sejak abad ke-20, dengan Turki menjadi salah satu negara muslim pertama yang melakukan reformasi ini. Turki memulai pembaruan hukum keluarga dengan munculnya Ottoman Law of Family Rights (Qnn Qarr al-Huqq al-''ilah al-'Usmniyyah) pada tahun 1917, yang kemudian diikuti oleh adopsi Hukum Sipil Swiss sebagai Undang-Undang Islam Turki pada tahun 1926. Ottoman Law of Family Rights juga diadopsi oleh Lebanon pada tahun 1919, Yordania sebelum menerbitkan Undang-Undang Hukum Keluarga No. 92 Tahun 1951, dan Suriah sebelum memiliki Undang-Undang Hukum Keluarga No. 59 Tahun 1953. Usaha reformasi ini diikuti oleh Mesir dengan lahirnya dua undang-undang perkawinan, yaitu Undang-Undang No. 25 Tahun 1920 dan Undang-Undang No. 20 Tahun 1929. Pada tahun 1996, hanya lima negara di Timur Tengah yang belum melakukan reformasi hukum keluarga, sementara beberapa negara seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Bahrain, dan Oman sedang dalam proses legislasi atau legal drafting.

Pembaruan hukum keluarga Islam dibagi menjadi dua bentuk, yaitu Intra Doctrinal Reform dan Extra Doctrinal Reform. Berikut penjelasannya:
a. Intra Doctrinal Reform  
Pembaruan ini masih berlandaskan pada pendapat-pendapat imam mazhab, dengan beberapa model:  
1) Talfiq, yaitu menggabungkan pendapat dari berbagai mazhab dalam perundang-undangan.  
2) Tahayyur, tetap berpegang pada satu mazhab tertentu.

b. Extra Doctrinal Reform  
Pembaruan ini melampaui batas-batas pendapat imam mazhab, contohnya seperti larangan poligami di Mesir dan Tunisia meskipun dalam al-Qur'an poligami tidak dilarang. Pola ini menggunakan beberapa metode:  
1) Metode siyasah syar'iyah  
2) Interpretasi nas  
Pembaruan hukum tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan memiliki beberapa tujuan, seperti unifikasi hukum, peningkatan status perempuan, dan penyesuaian fikih dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, pembaruan hukum keluarga Islam sering kali menimbulkan reaksi yang beragam di kalangan masyarakat muslim, dengan adanya pro dan kontra.

Berdasarkan latar belakang ini, pembahasan lebih lanjut akan menjelaskan alasan-alasan di balik penolakan sebagian masyarakat muslim terhadap pembaruan hukum keluarga Islam.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library research), yang melibatkan penelusuran berbagai karya ilmiah seperti buku, jurnal, artikel, serta referensi lain yang berkaitan dengan pembahasan tentang alasan penolakan terhadap pembaruan hukum keluarga Islam oleh masyarakat muslim. Setelah itu, dilakukan analisis terhadap berbagai bentuk penolakan yang terjadi di setiap negara muslim yang menolak pembaruan tersebut.

PEMBAHASAN

Dalam hukum keluarga Islam, terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh para ulama dan dalam perundang-undangan hukum keluarga kontemporer, seperti *Al-Ahwal Syakhsiyah*, *Nidzam al-Usrah*, *Huquq al-Usrah*, *Ahkam al-Usrah*, dan *Munakahat*. Sementara dalam bahasa Arab, istilah perundang-undangan hukum Islam modern mencakup *Qanun al-Ahwal Syakhsiyah*, *Qanun al-Usrah*, *Qanun Huquq al-'Ailah*, *Ahkam al-Zawaj*, dan *Ihkam al-Izwaj*. Secara umum, hukum keluarga diartikan sebagai aturan yang mengatur hubungan kekeluargaan. Hubungan ini dapat terbentuk baik karena hubungan darah maupun perkawinan. Hubungan keluarga sangat penting karena berkaitan dengan hak dan kewajiban orang tua dan anak, hukum waris, perwalian, dan pengampuan.

Hukum keluarga mencakup keseluruhan aturan yang mengatur hubungan antar anggota keluarga. Hubungan ini terbagi menjadi dua, yaitu hubungan kekeluargaan berdasarkan darah (kekeluargaan sedarah) dan hubungan kekeluargaan yang timbul karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah merujuk pada hubungan yang ada di antara orang-orang yang memiliki leluhur yang sama, sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah hubungan yang terbentuk melalui pernikahan dengan anggota keluarga yang tidak sedarah, seperti hubungan dengan keluarga pasangan. Dalam pengertian sempit, hukum keluarga mencakup hukum perkawinan dan perceraian, yang dijabarkan dalam berbagai kitab fikih di negara-negara Islam. Kitab-kitab ini umumnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat muslim pada zamannya. Aturan hukum keluarga ini dapat ditelusuri dalam kitab-kitab fikih dari berbagai mazhab, baik empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) maupun tiga mazhab Syiah (Itsna Asyari, Ismaili, dan Zaidi).

Oleh karena itu, hukum keluarga dapat dipahami sebagai hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan keluarga, termasuk pernikahan, perceraian, poligami, dan masalah warisan. Pembentukan sebuah hukum dilakukan melalui proses pengkajian terhadap dalil-dalil seperti Al-Qur'an dan Hadis. Dari proses pengkajian ini kemudian dihasilkan fiqh, fatwa, atau aturan perundang-undangan yang disebut dengan istilah qanun. Ada dua konsep utama yang lahir dari penggalian hukum keluarga, yaitu:

Pertama, pernikahan beserta segala konsekuensinya yang tercakup dalam fiqh munakahat. Kata "munakahat" berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata *na-ka-ha*, yang dalam bahasa Indonesia berarti kawin atau perkawinan. Kata "kawin" adalah terjemahan dari kata "nikah" dalam bahasa Indonesia. "Menikahi" berarti mengawini, sedangkan "menikahkan" berarti mengawinkan, yang berarti menjadikan seseorang bersuami. Dengan demikian, istilah pernikahan memiliki arti yang sama dengan perkawinan. Dalam fiqh Islam, kata yang sering digunakan adalah "nikah" atau "zawaj". Kata *na-ka-ha* juga sering dijumpai dalam Al-Qur'an dengan makna kawin.

to be...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun