Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisa BerPahala tentang Isu yang Tak Pernah BerUjung_Selesai

11 September 2024   08:26 Diperbarui: 11 September 2024   08:33 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penafsiran ayat-ayat poligami di rentang sejarah Indonesia

Membahas pengaruh sosial masyarakat pra-kemerdekaan terhadap penafsiran Hamka mengenai poligami merupakan topik yang jarang dibahas atau diteliti oleh banyak orang. Penulis ingin memulai analisis ini dengan menyoroti gerakan perempuan di Indonesia dari masa ke masa, karena menurutnya, poligami adalah tema tafsir yang sering mendapat perhatian kritis dari perempuan, apapun motif di baliknya.

Penulis ingin memulai dari momen penyatuan gerakan perempuan Indonesia, setelah sebelumnya muncul berbagai organisasi perempuan seperti Jong Java Meiskering, Wanita Oetomo, Aisyiyah, Poetri Indonesia, Young Javanese Girls Circle, Wanito Muljo, dan lain-lain, yang berpuncak pada Kongres Perempuan I yang berlangsung pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini menghasilkan terbentuknya Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), yang kemudian menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia. Dalam kongres tersebut, agenda yang dibahas meliputi pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan anak-anak, reformasi undang-undang perkawinan Islam, pentingnya harga diri perempuan, dan perlawanan terhadap kawin paksa.

Lebih jauh lagi, pada 13 Oktober 1928, dalam sebuah forum yang dihadiri oleh Soekarno, Natsir, yang mewakili Jong Islamieten Bond (JIB), mengkritik Soewarni dari organisasi perempuan yang anti-poligami. Kritik tajam ini membuat Natsir diminta berhenti berbicara sebelum waktu habis, karena dianggap membahas isu agama.  Pada tahun 1928, ketika praktik poligami dikritik oleh kalangan nasionalis dan sekuler, organisasi Aisyiyah tidak tinggal diam. Siti Moentidjah, dalam pidatonya di Kongres Perempuan Indonesia, menyatakan bahwa perempuan Muhammadiyah tidak menganjurkan poligami, tetapi juga menolak penghapusan totalnya, karena poligami dipandang sebagai bagian dari syariat Islam.

Kembali ke pandangan Hamka, menurutnya, masyarakat pada masanya mengetahui dasar hukum kebolehan poligami dalam Islam, tetapi sebagian kecil menyalahgunakannya. Hamka berpendapat bahwa pernikahan yang ideal dan dapat membawa kebahagiaan adalah dengan memiliki satu istri. Beliau juga menafsirkan ayat "Litaskunu ilaiha" (agar kamu merasa tenteram dengannya), yang menurutnya kebahagiaan rumah tangga hanya bisa dicapai dengan mengurus satu istri saja.

Masih membahas pandangan para"penguasa" pemahaman KeIslaman di Indonesia, kami tuliskan pendapat ulama terkenal Abad 20 dan merupakan pemilik pemahaman tentang Al-Qurn, menurut hemat kami saja". M. Quraish Shihab, seorang mufasir Indonesia yang pemikirannya layak dikaji, merupakan penulis *Tafsir Al-Misbah*. Lahir dari keluarga ulama berpengaruh di Makassar, ayahnya, Abdurrahman Shihab, seorang guru besar dalam bidang tafsir, sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian dan keilmuan Quraish.

Lahir di Kabupaten Si Dendeng Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944, Quraish Shihab menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Haditsal Fiqhiyyah, Malang, sebelum melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, di mana ia meraih gelar S1, S2, dan S3 dengan predikat Mumtaz ma'a Martabat al-Syaraf al-Ula. Ia menjadi orang Asia Tenggara pertama yang meraih predikat tersebut.

Pada 1984, setelah kembali ke Indonesia, ia ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta diangkat menjadi rektor pada tahun 1995. Dalam jabatannya, ia mendorong pendekatan multidisipliner dalam tafsir, melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk mengungkap petunjuk Al-Qur'an secara lebih mendalam.

Selain itu, Quraish Shihab juga pernah menjabat sebagai Ketua MUI Pusat (1984), anggota Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur'an (1989), dan Menteri Agama pada akhir pemerintahan Orde Baru. Ia juga menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir pada 1999, dan hingga kini aktif sebagai Guru Besar Pascasarjana UIN serta Direktur Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) Jakarta. Sebagai mufasir kontemporer, Quraish Shihab telah menulis banyak karya penting, di antaranya *Tafsir Al-Manar*, *Filsafat Hukum Islam*, *Membumikan Al-Qur'an*, hingga *Fatwa-fatwa Seputar Al-Qur'an dan Hadis*. Namun, mahakaryanya adalah *Tafsir Al-Misbah*, sebuah tafsir 30 juz yang banyak dirujuk oleh para peneliti dan pembaca Al-Qur'an.

Dalam konteks poligami, menurut Quraish Shihab, Al-Qur'an tidak menganjurkan atau mewajibkan poligami, melainkan hanya memperbolehkannya dengan syarat yang ketat. Syarat utama adalah kemampuan suami untuk berlaku adil, terutama dalam hal material, seperti nafkah, bukan dalam hal cinta atau kasih sayang. Poligami, bagi Quraish Shihab, bukan untuk semua orang, melainkan sebuah "pintu darurat" bagi mereka yang berada dalam situasi tertentu dan memiliki misi kemanusiaan yang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun