MukaddimahÂ
Manusia dan Jin adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang diberi kebebasan dalam menjalani kehidupan di alam masing-masing. Manusia, selain sebagai makhluk individu, juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesama untuk memenuhi hak dan kebutuhan hidup di dunia. Salah satu bentuk kebaikan adalah bersedekah, yang menjadi syarat penting untuk mencapai kebajikan dalam agama. Hal ini tercermin dalam QS. Ali 'Imran ayat 92 yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan mencapai kebaikan yang sempurna sebelum menafkahkan sebagian harta yang dicintai.Â
Para ulama tafsir menafsirkan bahwa kebaikan di sini bisa merujuk pada Surga atau kebaikan dari Allah SWT secara umum. Interaksi manusia diatur oleh hukum, norma, dan sistem yang disebut agama, yang memainkan peran penting dalam perkembangan peradaban manusia. Dalam agama Islam, interaksi ini sering diwujudkan dalam bentuk tolong-menolong dan saling memberi, yang dikenal sebagai Mu'amalah. Di Indonesia, hukum Islam khususnya digunakan dalam bidang Mu'amalah atau Hukum Perdata Islam, yang meliputi enam tema utama: perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, hibah, dan perwakafan.
Pemberian kepada orang lain yang bertujuan untuk memuliakan dan menunjukkan kasih sayang disebut hadiah. Dalam Syariat Islam, memberikan hadiah dianggap sunnah. Jika pemberian tersebut dilakukan tanpa mengharapkan balasan, melainkan demi mendapatkan pahala, maka itu disebut sedekah. Dalam Islam, sedekah dibagi menjadi dua jenis: sedekah wajib dan sedekah sunnah. Contoh sedekah sunnah adalah wakaf, hibah, dan wasiat, yang masing-masing memiliki definisi dan aturan tersendiri. Wakaf adalah menyedekahkan suatu barang untuk dimanfaatkan sementara barang tersebut tetap ada, hibah adalah memberikan barang kepada orang lain untuk dimiliki, dan wasiat adalah pemberian harta atau perintah mengurus sesuatu setelah seseorang meninggal dunia.Â
Pengelolaan hibah, wakaf, dan wasiat harus mengikuti prosedur dan kaidah Syariat Islam. Hukum Islam dapat diterapkan secara nasional jika diundangkan oleh pemerintah melalui proses taqnin. Menurut teori Reception in complexu, hukum Islam dapat diterapkan di Indonesia untuk umat Islam dengan beberapa syarat: hukum Islam berlaku bagi pemeluknya, umat Islam harus taat pada ajaran Islam, dan hukum Islam diterapkan secara universal dalam berbagai bidang seperti hukum ekonomi, pidana, dan perdata. Dalam konteks krisis ekonomi dan semangat umat Islam untuk bersedekah, perhatian terhadap wakaf, hibah, dan wasiat semakin meningkat. Banyak lembaga resmi yang didirikan untuk membantu umat Islam yang ingin memberikan wakaf, hibah, dan wasiat, meskipun pemahaman tentang ketiga hal ini masih terbatas.
Berangkat dari kebutuhan penjelasan mendetail untuk ketiga kegiatan muamalah tersebut sehingga penulis merasa penting untuk membahas akad-akad mengenai hibah, wakaf dan wasiat yang tujuannya untuk mennndapatkan tambahan pengetahuan dan gambaran yang menyeluruh terhadap bentuk-bentuk pemberian tersebut.
Tujuan Penulisan
- Mendapatkan penjelasan mengenai wakaf, hibah dan wasiat;
- Mengetahui bagaimana pemanfaatannya.
Pembahasan tentang Hibah
a. Definisi
Istilah "hibah" merujuk pada pemberian hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, lebih karena mengharapkan pahala dari Allah SWT. Hibah berbeda dari jual beli atau sewa, karena tidak ada balas jasa atau ganti rugi yang berlaku dalam transaksi ini. Dalam pandangan ulama, hibah berarti pengalihan hak milik atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain semasa hidupnya. Jika terdapat syarat adanya pengganti, maka itu bukan hibah, melainkan jual beli. Hibah, hadiah, dan sedekah adalah bentuk pemberian yang bertujuan agar penerima dapat memanfaatkannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hibah diartikan sebagai pemberian secara sukarela dengan mengalihkan hak kepada orang lain. Dalam terminologi Islam, hibah adalah pemberian hak milik tanpa penggantian. Menurut Syekh Muhammad ibn Qsim al-Ghazzi, hibah adalah pemberian sesuatu yang tetap dimiliki oleh penerima selama hidupnya, tanpa ada ganti, dan berlaku baik secara hukum adat maupun hukum positif.
b. Dasar Hukum, Rukun, dan Syaratnya
Hibah sebagai bentuk pemberian diharapkan dapat digunakan untuk kesejahteraan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat. Oleh karena itu, setiap proses hibah harus sesuai dengan hukum Islam maupun hukum positif. Hibah merupakan salah satu bentuk tolong-menolong yang sangat dianjurkan dalam Islam, seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 4 dan diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasai. Dalam konteks Al-Quran, hibah juga sering digunakan untuk merujuk pada anugerah yang diberikan Allah SWT kepada para nabi dan doa-doa hamba-Nya. Ayat-ayat ini juga menjadi petunjuk umum agar manusia memberikan sebagian rezekinya kepada orang lain, seperti yang tercantum dalam QS Al-Munafiqun ayat 10. Hibah juga ditegaskan dalam hadits sebagai bentuk pemberian yang mempererat tali persaudaraan. Para ulama fiqh sepakat bahwa hibah adalah sunnah, dan memiliki rukun serta syarat tertentu. Rukun hibah meliputi pemberi hibah (al-wahib), penerima hibah (al-mawhub lah), dan benda yang dihibahkan (al-hibah). Syarat hibah termasuk bahwa pemberi harus memiliki barang tersebut secara sah, berakal dan dewasa, serta harus ada ijab dan qabul.
c. Pemanfaatan dan Dinamikanya
Hibah sebaiknya dimanfaatkan untuk berbuat baik kepada sesama, mengasihi, dan mempererat tali persaudaraan. Islam menganjurkan umatnya untuk lebih suka memberi daripada menerima, dengan niat ikhlas semata untuk mencari ridha Allah. Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 262 yang mengingatkan bahwa pemberian harus dilakukan tanpa menyakiti perasaan penerima. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT memuji orang-orang yang berinfak di jalan-Nya tanpa mengingat-ingat pemberian tersebut. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menambahkan bahwa ayat ini menjelaskan pentingnya memberi tanpa menyebut-nyebutnya dan tanpa menyakiti hati penerima, yang merupakan kunci keberhasilan dalam berinfak.
Selain itu, terdapat larangan bahwa barang yang sudah dihibahkan tidak bisa ditarik kembali, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda "bahwa orang yang meminta kembali atau mengambil hibahnya adalah laksana anjing yang muntah lalu menelan kembali muntahnya.23 Seseorang yang telah memberi hibah tidak boleh menarik kembali hibahnya yang telah berlaku, kecuali jika ia seorang ayah.24
Sebagaimana dinamika yang terjadi di Indonesia, bahwa penarikan kembali hibah selalu masuk dalam registrasi Pengadilan Agama untuk kemudian diputuskan. Hibah yang telah berlaku adalah hibah yang telah diterima oleh orang yang diberi. Sedangkan hibah yang belum berlaku adalah hibah yang belum diterima oleh orang yang diberi. Sekiranya ada seseorang mengatakan kepada orang lain: "Aku hibahkan salah satu mobilku kepadamu," lalu orang tersebut menjawab: "Aku terima," namun setelah menghibahkan mobil tersebut, dia menariknya kembali, maka hal itu diperbolehkan. Sebab, hibah tersebut belum diterima oleh orang yang diberi, padahal hibah belum berlaku kecuali setelah adanya qahdh (penerimaan dari orang yang diberi, maka pada kondisi ini, pembatalan dan pencabutan hibah dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama setempat atau wilayah hukum orang yang memberi hibah tersebut bertempat tinggal.
Sekiranya hibah tersebut telah diterima, dan orang yang memberi hendak menarik kembali, maka hal tersebut tidak diperbolehkan karena barang tersebut bukan miliknya lagi, meski masih dalam majelis hibah. Sekiranya seseorang menghibahkan penanya sedangkan mereka dalam satu majelis, lalu ia berkata: "Aku tarik kembali hibah tersebut, hibah tersebut telah diterima orang yang diberi hibah, maka hibah tersebut telah berlaku dan diharamkan baginya untuk menarik kembali hibahnya tersebut. Hal ini sebgaimana tertuang dalam Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam yang sangat tegas menyatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya. Hadist diatas yang menjelaskan tercelanya menarik kembali hibahnya diatas, menunjukan keharaman penarikan kembali hibah. Kebolehan menarik kembali dimaksudkan agar orang tua dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya memperhatikan nilai-nilai keadilan.
Pemanfaatan barang hibah berupa tanah sawah sebagai jaminan hutang oleh pemberi hibah yang digunakan untuk menghilangkan kesulitan yang dialami oleh pemberi hibah. Pemanfaatan barang hibah yang dilakukan oleh pemberi hibah untuk menghilankan kesulitan bagi dirinya dilain sisi mendatangkan madharat bagi anak-anak, karena tanah sawah yang mereka miliki dikelola oleh orang yang memberikan hutang kepada pemberi hibah, sehingga tanah sawah yang dikelola oleh pemilik harta berkurang luasanya dan hasil yang pemilik harta peroleh dari pengelolaan tanah sawah tersebut juga sedikit, akibatnya pemilik harta kesulitan untuk memenuhi biaya kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI