Catatan tentang Akuntansi dan Syariah
Akuntansi awalnya muncul sebagai alat pertanggungjawaban kepada publik yang terkait dengan informasi yang disampaikan oleh pihak yang melakukan akuntansi. Pada tahun 1970-an, akuntansi sebagai ilmu yang dianggap bebas nilai (value-free) mulai kehilangan relevansinya, terutama di era globalisasi yang membawa perubahan signifikan dalam seluruh tatanan masyarakat. Dalam konteks ini, informasi akuntansi di era globalisasi harus harmonis dengan praktik-praktik akuntansi yang berlaku.Â
Berdasarkan pemahaman ini dan dengan merenungkan kembali perspektif tradisional tentang akuntansi sebagai serangkaian prosedur rasional untuk pengambilan keputusan dan pengendalian, dapat dikatakan bahwa akuntansi, sebagai teknologi, seharusnya tidak terlepas dari nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, akuntansi dibentuk oleh kultur masyarakat dan sistem nilai sosial, termasuk kepedulian moral (Iwan Triyuwono, 2000).
Perubahan dan pergeseran dalam masyarakat juga mempengaruhi dunia ilmiah, termasuk kajian tentang implementasi Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kajian syariah dalam berbagai bidang, termasuk akuntansi, semakin berkembang mengikuti tuntutan zaman.Â
Akuntansi syariah menarik perhatian karena beberapa alasan: Pertama, akuntansi dikenal sebagai alat komunikasi dalam konteks bisnis, seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah. Kedua, akuntansi sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia diterapkan dan dikembangkan. Ketiga, akuntansi memiliki peran strategis, karena hasilnya bisa menjadi dasar legitimasi keputusan penting.
Menurut Sofyan Syafri Harahap (1997), faktor-faktor pendorong munculnya akuntansi syariah meliputi: a) meningkatnya religiusitas masyarakat; b) tuntutan etika dan tanggung jawab sosial; c) ketidakmampuan akuntansi konvensional dalam menangani isu keadilan, kebenaran, dan kejujuran; d) kebangkitan umat Islam, khususnya kaum terpelajar, untuk mendekonstruksi akuntansi kapitalisme Barat; e) perkembangan akuntansi itu sendiri; f) kebutuhan akan akuntansi bisnis syariah, seperti bank Islam, asuransi Islam, pasar modal, dan trading; g) kebutuhan norma perhitungan zakat menggunakan prinsip akuntansi yang mapan; dan h) kebutuhan akan pencatatan, pertanggungjawaban, dan pengawasan harta umat manusia.
Mengacu pada hal tersebut, akuntansi perlu melakukan introspeksi dan perubahan agar tetap relevan dengan penggunanya. Jika akuntansi konvensional ingin tetap diterima, ia harus mengubah orientasi dan fungsinya. Fungsi akuntansi yang selama ini dikenal sebagai "decision making facilitating function" perlu disesuaikan untuk mencakup aspek akuntabilitas yang lebih tepat.Â
Akuntansi konvensional perlu disempurnakan dengan menambahkan media yang kini sering ditinggalkan oleh penggunanya, seperti penilaian efisiensi manajemen dalam alokasi dan penggunaan dana melalui kontrol yang baik, serta pengungkapan keuntungan manajemen dengan mempertimbangkan pengalokasian zakat terlebih dahulu.
Dalam negara Islam, pembuatan laporan keuangan harus didasarkan pada dokumen-dokumen yang valid untuk memastikan kebenaran data yang digunakan. Negara Islam telah lama mengakui pentingnya kelengkapan dokumen dalam setiap transaksi. Sistem dokumentasi ini merupakan tuntutan syar'i yang mendasar, sesuai dengan Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah 'Azza Wa Jalla: "...dan janganlah kamu bosan menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya..." "...dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan..." (Al-Baqarah: 282).
Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan kelengkapan dokumen sebelum mencatat transaksi keuangan dalam buku. Hal ini didukung oleh temuan di perpustakaan Mesir berupa tanda terima (receipt)Â dari zaman negara Islam, bertanggal 148 H./756 M., yang memenuhi persyaratan pada masa itu dan relevan dengan standar saat ini. Ini menunjukkan kemajuan sistem akuntansi dan dokumentasi pada masa negara Islam yang hampir sebanding dengan praktik modern, bahkan sejak abad pertama Hijriyah.Â
Dijelaskan pula pada masa negara Islam, tanda terima harus memenuhi persyaratan tertentu, termasuk tanggal, jumlah, tempat transaksi, saksi, nama, tanda tangan, dan alasan pembayaran. Persyaratan ini yang berlaku sejak abad II H. atau abad VIII M. masih relevan hingga akhir abad XX M. Namun, sumber-sumber Barat tidak menyebutkan asal data yang digunakan saat ini, sebagaimana Pacioli tidak mengungkapkan sumber tulisannya.
Ketika tanda terima dikeluarkan pada masa negara Islam, salinannya, yang disebut **thiraz**, diberikan kepada pembayar, sementara yang asli tidak digunakan sebagai dasar pencatatan dalam buku akuntansi. Pencatatan bersandar pada dokumen lain yang disebut **syahid**, yang serupa dengan **journal voucher**. Syahid ini dibuat oleh seorang akuntan dan disetujui oleh pimpinan atau menteri, menandakan izin untuk pencatatan dalam buku. Persetujuan ini dicatat dengan kata "yuktab (dicatat)" pada syahid, yang kemudian disimpan sebagai tanggung jawab akuntan untuk pencatatan transaksi.Â
Jika transaksi keuangan terjadi di luar ibu kota wilayah Islam, salinan syahid dikirim ke ibu kota, di mana penguasa memberikan stempel pada salinan tersebut atau menyimpannya untuk pembukuan kantor pusat. Ini menunjukkan adanya pencatatan ganda dalam transaksi keuangan yang terjadi di luar tempat tinggal penguasa. Istilah **Al-Qaidul Muzdawaj** (Pembukuan Ganda/Double Entry) yang dikenal dalam bahasa asing dan dicetuskan oleh Pacioli, mungkin berasal dari praktik ini, meskipun tidak ada bukti langsung yang mendukung penggunaan istilah ini di negara Islam.
Perkembangan akuntansi di negara Islam juga ditunjukkan oleh tuntutan pentingnya penyimpanan dokumen dan buku secara sistematis, serta pembuatan indeks agar mudah diakses setelah pencatatan dan penyimpanan selesai. Membuka kembali buku dan dokumen tersebut setelah tutup buku memerlukan persetujuan dari pegawai senior di kantor. Sistem Pengawasan Intern juga mendapat perhatian besar di negara Islam sebagai bagian yang penting dari sistem akuntansi.Â
Sejak awal, negara Islam telah menerapkan pengawasan ketat terhadap pemasukan dan pengeluaran negara yang berasal dari berbagai sumber dan berjumlah besar. Sistem pengawasan ini dirancang untuk segera mendeteksi kekurangan dalam kas negara melalui ketidakseimbangan buku. Contohnya, sahabat Nabi, 'Amir Ibnul Jarrah, melaporkan kekurangan satu dirham di Baitul Mal kepada Khalifah Umar Ibnul Khaththab. Ini menunjukkan keunggulan dan efektivitas sistem yang digunakan. Al Mazindarani juga menyebutkan pentingnya pengawasan intern di seluruh kantor pada tahun 765 H./1363 M., menegaskan bahwa Pacioli bukanlah yang pertama kali menyoroti pentingnya pengawasan intern. Ada kemungkinan Pacioli mengambil inspirasi dari manuskrip Al Mazindarani.
Bagaimana konsep kalian ???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H