Cerita sebelumnya: Kompor Tenaga Jin (Bagian 1)
----
Seminggu berlalu sejak Pak Sudrajat memulai pembuatan tabung dekomposer itu. Siang tadi aku ditelepon Pak Sudrajat. Dia memintaku datang ke rumahnya. Sore sepulang kerja, aku menggenjot vespaku, melaju ke rumah Pak Sudrajat.
Sesampainya di sana, kudapati tabung tersebut telah selesai dibuat. Pak Sudrajat siap untuk melanjutkan proyek kompor tenaga jin ke tahap berikutnya.
“Coba baca berita ini, Mas,” Pak Sudrajat menyodorkan selembar koran.
Aku membacanya. Tertulis berita mengenai kemunculan bola api misterius di Gunung Kidul.
“Menurutku, bola api itu adalah sisa-sisa jasad jin yang terbakar,” Pak Sudrajat menjelaskan, “kita akan ke lokasi tersebut untuk mencari sumbernya. Nanti kita ajak teman-teman semua agar pencarian bisa lebih cepat.”
“Naik motor ke sana, Pak?” aku bertanya. “Sambil bawa tabung dan kompor ini?”
“Ora, ora. Aku berencana meminjam mobil temanku. Nanti malam tolong sampeyan antar aku ke rumah temanku itu.”
----
Begitulah. Malamnya aku memboncengkan Pak Sudrajat menuju ke rumah temannya. Sepanjang perjalanan, Pak Sudrajat menceritakan tentang temannya itu. Namanya Pak Prawiro. Dia adalah kakak seperguruan Pak Sudrajat.
Cukup jauh rumahnya, hampir mendekati Kali Progo. Perlu waktu empat puluh lima menit sebelum kami masuk ke satu jalan kecil yang mengarah ke rumah Pak Prawiro. Setelah melintas sekitar lima ratus meter di jalan kecil ini, akhirnya sampai juga kami di tujuan.
“Pengobatan Tradisional Prawiro / Besar dan Panjangkan Seketika / Khusus Pria”. Entah mengapa, perasaanku tidak enak membaca spanduk yang terbentang di depan rumah Pak Prawiro ini. Di pelataran terlihat sebuah mobil dan tiga sepeda motor parkir di sana. Sepertinya pasien-pasien Pak Prawiro.
Kami tidak masuk melalui pintu depan, melainkan di sebuah pintu samping. Pak Sudrajat sepertinya sudah hafal bahwa keluarga Pak Prawiro menempati bagian ini, terpisah dari ruang utama yang digunakan untuk menerima pasien.
Istri Pak Prawiro menyambut kami. Orangnya kelihatan ramah. Setelah beberapa saat, kami disuguhi kopi. Pak Prawiro berbincang dengan Istri Pak Prawiro (sebut saja Bu Prawiro), sementara aku sesekali menimpali ketika ditanya oleh Bu Prawiro.
Kami berbincang sekitar satu jam. Aku dengar satu persatu kendaraan yang tadi diparkir telah meninggalkan tempat. Bu Prawiro beranjak ke ruang praktik untuk memberitahu Pak Prawiro mengenai kedatangan kami.
“Woh, kowe to Jat, wis awit mau?” Pak Prawiro muncul sambil menyalami kami berdua. Orangnya terlihat sudah berumur namun masih gagah. Bersarung dan mengenakan kaos warna hitam berlengan panjang. Bu Prawiro muncul kemudian, lalu pamitan pada kami untuk istirahat.
Setelah saling menanyakan kabar, Pak Sudrajat mengungkapkan maksud kedatangannya. “Kang, kalau mobil sampeyan tidak dipakai, aku mau pinjam besok Sabtu, mau ngajak bocah-bocah ke Gunung Kidul.”
Pak Prawiro malah tertawa mendengar permintaan Pak Sudrajat. “Jat, Jat, kamu itu. Coba kalau kamu dari dulu mau buka praktik seperti aku, pasti sekarang sudah bisa beli mobil sendiri. Ora nyilih wae. Sudah susah-susah belajar kok tidak dimanfaatkan.”
Aku baru tahu, ternyata Pak Sudrajat juga menguasai ilmu besar dan panjangkan. Sepertinya beliau punya alasan tersendiri tidak mau membuka praktik seperti ini.
Belum sempat Pak Sudrajat menimpali, Pak Prawiro melanjutkan perkataannya. “Ya wis, begini saja, kalian boleh pinjam mobilku tapi tidak gratis.”
“Walah Kang, sampeyan itu sama saudara sendiri kok ya itungan,” Pak Sudrajat menimpali.
“Ora Jat, aku tidak minta bayaran uang,” Pak Prawiro memelankan suaranya. “Emm, ngene. Aku wis suwe tidak menemui gendhuk yang di Sleman. Kalau ke sana malam hari mbakyumu pasti marah. Kalau ke sana siang, aku eman nutup praktik. Nah, kebetulan kalian datang. Besok aku mau libur, kalian berdua menggantikan aku praktik. Sebagai imbalannya, kalian boleh pinjam mobil sepuasnya.”
Pak Sudrajat tampak terkejut. Namun kemudian dia melirikku sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa maksudnya.
“Ya wis, Kang. Aku setuju.”
----
Keesokan harinya, Pak Prawiro pamit pada istrinya. Dia bilang kalau diundang ke acara seminar pengobatan tradisional. Sepertinya istrinya percaya.
Pukul delapan pagi pengobatan buka. Para pasien sudah berdatangan. Ada beberapa yang kecewa karena bukan Pak Prawiro yang menangani, namun yang lainnya tampaknya oke-oke saja.
Di sini, kami berbagi tugas. Pak Sudrajat menyiapkan ramuannya, sementara aku ditugasi untuk mengoleskan. Setelah melayani tiga pasien, barulah aku tahu mengapa Pak Sudrajat enggan membuka praktek seperti ini.
Ternyata sebagian pasien datang bukan semata karena ingin besar dan panjang. Ada maksud terselubung. Apalagi melihat aku yang masih cukup muda, mereka minta berlama-lama. Jadilah seharian itu aku... ah sudahlah, tak perlu kuceritakan.
Malam hari saat pengobatan tutup, baru kusadari, sepertinya tangan dan mulutku ikut jadi panjang dan besar. Mungkin efek dari ramuan.
----
Sumber gambar: Jerry Daykin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H