Mohon tunggu...
Ihsan Ariswanto
Ihsan Ariswanto Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Orang desa. Pekerja serabutan. Ingin jadi peternak kelak. https://ariswanto.github.io

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ruang Publik 2.0 untuk Perkotaan Yogyakarta

30 September 2015   10:26 Diperbarui: 30 September 2015   11:08 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Permasalahan ruang publik adalah khas perkotaan. Sebagai seorang yang tinggal di sebuah desa di Bantul, saya tidak pernah merasakan kekurangan ruang publik. Kami memiliki lapangan untuk bermain voli atau sepak bola. Kami bisa duduk-duduk di pinggir jalan tanpa perlu terganggu asap dan bising kendaraan. Berolah raga di tengah hari sekalipun, Anda tidak perlu takut terserempet mobil saat menyusuri jalanan di dusun kami.

Tentunya “kemewahan” tersebut sulit dirasakan oleh warga yang tinggal di perkotaan. Tidak perlu terlalu jauh, saya akan mengambil contoh area perkotaan Yogyakarta yang merupakan kota besar terdekat dari tempat tinggal saya. Kota Yogyakarta tidak memiliki luasan yang besar dibandingkan ibu kota provinsi lain seperti Bandung, Surabaya, atau Medan. Tidak heran, kegiatan yang bersifat perkotaan melebar hingga melebihi batas administratifnya. Adanya kampus-kampus besar yang sebenarnya lebih banyak berada di wilayah Sleman, juga pertumbuhan kawasan komersial seperti Jalan Magelang dan Jalan Laksa Adi Sucipto, menjadi salah satu faktor yang membuat kabur batas-batas administratif tersebut. Kawasan perkotaan inilah yang dikenal sebagai Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta yang dalam tulisan ini akan saya sebut sebagai Perkotaan Yogyakarta.(1)

Persebaran Ruang Publik di Perkotaan Yogyakarta

UN Habitat mendefinisikan ruang publik (public space) sebagai tempat-tempat yang bisa diakses dan bisa dinikmati oleh semua orang tanpa adanya motif mencari keuntungan dan bisa mewujud dalam berbagai bentuk ruang termasuk pertamanan, jalan, trotoar, pasar, dan tempat bermain.(2)

Perlu sedikit disinggung di sini, ruang publik dan ruang terbuka hijau (RTH) adalah dua fungsi yang berbeda. RTH tidak selalu merupakan ruang publik, demikian juga sebaliknya. RTH menyangkut keberlanjutan ekologis kota, sedangkan ruang publik menyangkut aktivitas dan interaksi sosial warganya. Untuk efisiensi pemanfaatan lahan, memang keduanya bisa disatukan dalam satu lokasi seperti pertamanan.

Perkotaan Yogyakarta memiliki ruang-ruang publik yang tersebar di berbagai titik. Di pusat kota, mulai dari Tugu Jogja hingga alun-alun selatan, tersedia ruang-ruang yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja (termasuk para pelancong) untuk melakukan aktivitas publiknya. Kawasan ini adalah surga ruang publik yang selalu ramai selama 24 jam.

Sedikit menjauh dari pusat kota, di kawasan Timoho, terdapat balai kota yang menyediakan masjid dan lapangan yang bisa dimanfaatkan oleh warga. Tidak jauh dari situ, ada Stadion Mandala Krida yang merupakan lokasi surga olahraga di Kota Yogyakarta. Bisa dikatakan, ini adalah ruang publik yang paling mendekati sempurna di dalam wilayah administrasi Kota Yogyakarta. Fasilitas olah raga yang cukup lengkap, parkir yang telah diperbaiki sejak 2014, trotoar lebar yang bisa menampung pedagang tanpa mengganggu pejalan kaki membuat Mandala Krida menjadi lokasi favorit untuk berolah raga.

Di kawasan utara, UGM menawarkan area Grha Sabha Pramana, Masjid Kampus, dan area Lembah UGM dengan akses terbuka bagi siapa saja. Sama seperti Mandala Krida, tempat ini juga menjadi favorit untuk berolah raga maupun sebagai tempat komunitas-komunitas untuk berkumpul di sore hari.

Di beberapa titik lain juga telah tersedia ruang publik. Kawasan timur memiliki Jogja Expo Center dengan halaman luas yang juga dimanfaatkan untuk olah raga. Sementara di selatan, Pasar Aneka Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY) serta Terminal Penumpang Yogyakarta (TPY) di Giwangan menyediakan ruang publik yang berpadu dengan fungsi lain. PASTY selain sebagai tempat jual beli peliharaan dan tanaman hias, juga bisa dinikmati selayaknya taman. Sementara TPY di Giwangan menawarkan taman di dalamnya, meski pemanfaatannya masih kurang.

Selain ruang-ruang publik yang bersifat massal seperti di atas, terdapat pula fasilitas kota yang bisa menjadi tempat publik yang nyaman, misalnya Perpustakaan Kota. Juga keberadaan lapangan-lapangan olah raga di kampung-kampung menjadi ruang publik dengan cakupan yang lebih sempit.

Tantangan Ruang Publik di Perkotaan Yogyakarta

Perkotaan Yogyakarta memiliki setidaknya tiga fungsi. Pertama, fungsi lokal, Perkotaan Yogyakarta melayani warga yang bertempat tinggal di dalamnya. Kedua, fungsi regional, Perkotaan Yogyakarta menjadi pusat ekonomi yang melayani Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Setiap harinya akan dijumpai arus komuter dari luar area perkotaan yang datang untuk mencari penghidupan di Perkotaan Yogyakarta. Ketiga, fungsi nasional, sebagai daerah tujuan wisata dan juga daerah tujuan pendidikan, Perkotaan Yogyakarta didatangi oleh pendatang dari berbagai provinsi di Indonesia, bahkan juga dari luar negeri.

Ketiga fungsi tersebut memberikan tantangan masing-masing bagi ketercukupan ruang publik di Perkotaan Yogyakarta. Untuk fungsi lokal, tantangan yang dihadapi antara lain adalah sedikitnya ruang publik pada area-area yang tergolong padat seperti permukiman di sepanjang Sungai Code dan Sungai Gajah Wong. Tentunya permasalahan ini lebih rumit karena bersinggungan dengan aspek yang lebih luas, seperti legalitas, penyediaan perumahan layak, dan lainnya yang melampaui bahasan dalam tulisan ini.

Dalam fungsi regional, Perkotaan Yogyakarta menjadi pusat perekonomian bagi warga di luar wilayahnya. Tantangan yang mungkin datang dari fungsi ini antara lain adalah terjadinya privatisasi ruang publik di kawasan-kawasan ramai. Dulu, terdapat beberapa ruas trotoar yang digunakan sebagai tempat berjualan namun saat ini sudah banyak yang berhasil diatasi dengan penyediaan tempat berdagang yang layak. Beberapa persoalan yang masih tersisa misalnya penggunaan trotoar sebagai tempat parkir toko, yang membuat pejalan kaki terhalangi.

Untuk fungsi nasional, banyaknya pendatang, baik yang berwisata maupun menetap, telah memunculkan bangunan-bangunan baru berupa tempat kos, hotel, dan pusat perbelanjaan (mal). Kekhawatiran yang umumnya muncul dengan adanya pembangunan seperti ini adalah makin padatnya Perkotaan Yogyakarta yang dikhawatirkan akan menggerus ruang publiknya. Terdapat beberapa bukti yang membuat kekhawatiran ini beralasan, misalnya terdapat salah satu hotel yang bagian bangunannya menjorok hingga ke jalan raya.

Ruang Publik 2.0: Mengatasi Tantangan

Web 2.0 adalah istilah dalam dunia internet yang dipopulerkan oleh Tim O'Reilly. Web 2.0 digambarkan memiliki karakteristik seperti: konten dihasilkan oleh pengguna, kemudahan penggunaan oleh siapa saja, adanya interaksi dan kolaborasi antarpengguna, serta adanya keterkaitan (interoperability) antara satu web dengan web lain (3) . Kompasiana ini, bisa dikatakan adalah salah satu contoh penerapan web 2.0.

Karakteristik web 2.0 bisa dipinjam sebagai model dalam pengembangan ruang publik, sesuai dengan tema Hari Habitat Sedunia tahun ini yaitu “Public Space for All”. Ruang publik 2.0 adalah ruang publik yang bisa diakses oleh siapa saja (termasuk penyandang cacat, misalnya), adanya sumbangsih dari penggunanya, serta adanya interkoneksi antara ruang publik dengan fasilitas perkotaan lainnya.

Ruang publik 2.0 untuk Perkotaan Yogyakarta harus bisa diakses dengan kendaraan umum. Selain memudahkan warga untuk mendatangi, juga akan mengurangi beban ruang publik untuk menyediakan arena parkir. Ruang publik 2.0 juga diarahkan untuk bisa memancing warga untuk turut berkontribusi dalam memajukan ruang publik yang telah ada. Beberapa karakteristik ruang publik 2.0 sebenarnya telah muncul di Perkotaan Yogyakarta. Area Malioboro dan titik nol misalnya, sering diisi dengan karya-karya seniman di Yogyakarta.

Yang perlu ditingkatkan lagi adalah, kesadaran warga untuk menjaga ruang publik agar tetap bersih, aman, dan nyaman bagi semua. Pemerintah bisa bekerja sama dengan komunitas yang sering berkumpul di ruang publik agar bisa menjadi “duta ruang publik”. Dengan pelibatan tersebut, rasa memiliki akan tumbuh di kalangan warga.

Selanjutnya, pemerintah diharapkan bisa tegas untuk tidak mengeluarkan izin serta menindak pelanggar tata ruang (baik warga, developer, atau siapa saja) yang dalam melakukan kegiatan telah melanggar hak-hak publik. Ruang publik ideal seperti yang digambarkan oleh UN Habitat hanya akan bisa terwujud dengan kerjasama antara warga dengan pemerintah. Pemerintah yang tegas serta warga yang berpartisipasi dan merasa memiliki fasilitas kotanya.

---------------------

Referensi:

(1) http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=138

(2) http://unhabitat.org/public-spaces-for-all-2/

(3) http://www.oreilly.com/pub/a/web2/archive/what-is-web-20.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun