Kisah Abdul Muluk dikarang oleh Saleha, adik perempuan dari Raja Ali Haji Ibn Raja Achmad Ibn Yang Dipertuan Muda Raja Ali Haji Fi Sabilillah yang bertahta di Negeri Riau pulau Penyengat Indra Sakti pada abad ke-19.
Saat berdagang ke luar negeri, Wan Bakar sering mengadakan acara pembacaan syair Abdul Muluk yang sukses menarik perhatian masyarakat di negara yang ia singgahi.Â
Perlahan, acara pembacaan syair ini mulai menambahkan beberapa orang sebagai pemeran tokoh dengan iringan musik gambus dan terbangan (sejenis musik rebana).
Pada tahun 1919, pembacaan teks syair Abdul Muluk untuk pertama kalinya dibawakan dalam bentuk dialog disertai gerak tubuh sesuai peran masing-masing yang dilakukan di lapangan terbuka.
Pada awalnya, teater Dulmuluk hanya dimainkan oleh laki-laki, termasuk untuk memerankan tokoh perempuan, karena saat itu para perempuan tidak mau ikut pementasan teater. Namun sekarang, para perempuan sudah aktif dan ikut berperan dalam pertunjukan Dulmuluk.
Upaya Melestarikan Teater Kesenian Tradisional Dulmuluk
Tak dapat dipungkiri bahwa teater kesenian tradisional Dulmuluk saat ini mulai tergerus perkembangan zaman.Â
Masyarakat lebih memilih hiburan modern yang lebih beragam dan bisa didapat dengan mudah, sehingga membuat pertunjukan seperti Dulmuluk perlahan ditinggalkan.
Meski begitu, tekad kuat untuk melestarikan kesenian Dulmuluk ini tetap terjaga dalam diri seniman dan Pemerintah Sumatera Selatan.
Penayangan teater Dulmuluk di TVRI Palembang dan media massa lokal lainnya menjadi salah satu upaya yang dilakukan untuk menarik minat lebih banyak penonton, termasuk dari kalangan muda.
Pelestarian teater Dulmuluk juga dilakukan oleh para seniman melalui sanggar-sanggar kesenian di berbagai daerah di Sumatera Selatan yang masih eksis hingga sekarang.
Salah satunya sanggar Harapan Jaya yang didirikan oleh Jonhar Saad sejak tahun 1967. Sanggar Harapan Jaya aktif mengajarkan Dulmuluk kepada generasi muda dan mementaskannya dari panggung ke panggung.