TANGERANG -Â Ating warga Kampung Pondok Gede Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang. Harus rela menyisakan sisa hidupnya tinggal di gubuk terpal bersama anak bungsunya Muhlis. Jumat, (16/9/2022).
Rumah yang ditempati Ating (60) bersama anaknya Muhlis (15) sangat memprihatinkan, jauh dari kata layak. Ibu bersama anaknya tersebut tinggal di sebuah lahan kosong bersebelahan dengan kali dan sawah.
Ketua RT Basip membenarkan adanya warga yang tinggal di gubuk terpal dekat jalan raya, tepatnya di seberang jalan pinggir kali. Tempat itu tidak jauh dari kantor kecamatan.
"Iya betul ada warga kami yang bernama ibu Ating, tinggal di sebuah gubuk terpal dekat jalan raya" ungkap Basip.
Di lahan itu mereka mendirikan sebuah gubuk, tempat berteduh dari hujan dan panas. Ukurannya kecil, hanya 4x4 meter. Beratap terpal dan berlantai tanah.
"Iya mau gimana lagi emang punyanya begini, disyukuri ajalah. Saya gak punya apa-apa diizinkan tempat tinggal di sini saja sama pemerintah sudah bersyukur," ucap Ating saat ditemui awak media di kediamannya.
Sehari-hari Ating bersama anaknya berkeliling berjalan kaki mengaharapkan uluran tangan atau  mengemis dari pasar ke pasar.
Ating memiliki kelainan tingkah laku, sering lupa (linglung) kondisi ini biasa terjadi dengan orang sudah berusia lanjut. ketika di tanya pun agak sedikit bingung.
Menurut warga sekitar Ating dulu pernah diberikan bantuan renovasi rumahnya, namun Ating menolak dengan alasan yang tidak logis. Katanya kalau dibangun pun percuma karena bukan tanah sendiri.
Sedangkan anaknya Muhlis memiliki keterbatasan fisik (tuna wicara). Ia harus rela menerima keadaan tersebut sejak lahir. Selain itu Muhlis juga belum bisa di sekolahkan karena selain keterbatas fisik juga tidak ada biaya.
Tak banyak keluhan, saat ditanya apakah Ating pernah menempati rumah layak huni, dia dengan jujur menjawab pernah. Namun rumah yang dulunya mereka tempati sudah dijual setelah orang tuanya meninggal. Lokasinya tidak jauh dari gubuknya sekitar 100 meter.
"Dulu kami sempat tinggal di rumah orangtua. Karena rumahnya dijual buat biaya pemakaman orang tua. Kemudian memutuskan untuk tinggal di rumah ini sama anak. Meskipun kondisi seperti ini, Alhamdulillah kami tetap bersyukur," lanjut Ating.
Bagi Ating, gubuk berkuran 4x4 itu adalah istana termegah yang mereka miiliki. Jika malam tiba, gubuk itu hanya diterangi oleh bulan dan lampu jalan, lantaran belum memiliki aliran listrik. Gubuk itu pun dibangun di atas tanah kosong milik pemerintah.
"Alhamdulillah kalau hujan deras kita tidak terkena banjir. Tidur, masak, semuanya di sini karena memang sudah tinggalnya disini kan. Kalau mau ngambil air pergi ke sumur di sebrang jalan, kalo kalinya lagi banjir iya kadang ngambilnya di kali" tuturnya.
Ia mengaku, gubuk itu sudah ia tempati bersama anaknya sekitar 10 tahun lalu. Ating dikaruniai tiga anak, anak pertama dan keduanya sudah menikah dan sudah tidak bersama lagi.
"Ada sekitar 10 tahun saya tinggal disini, sejak dibuatkan sama ketua RT. Terus anak pertama saya sudah menikah tinggal menetap dijakarta dan anak kedua tinggal di kecamatan kresek" jelasnya.
Semenjak ada Covid-19, keluarganya mendapatkan bantuan dari pemerintah uang BLT Rp300 per bulan dan beras sembako. Sementara PKH dan BPNT, Ating mengaku belum pernah mendapatkanya karena KTP dan KK yang ia punya hilang.
"Waktu ada Corona Alhamdulillah dapet bantuan dari pemerintah Rp300 ribu. Ngambilnya juga dianter RT di Tigaraksa," tutup Ating.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI