Ideologi demokrasi identik dengan istilah kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Ya, istilah tersebutlah yang mewajibkan rakyat di suatu negara dengan ideologi demokrasi untuk memilih subjek-subjek yang mereka rasa pantas untuk menduduki posisi-posisi dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Subjek-subjek yang terpilihlah yang membawa amanat dari rakyat untuk membangun negara. Pemilihan subjek-subjek inilah yang menjadi suatu ciri khas suatu bangsa demokrasi, yang kemudian dikenal dengan istilah pemilihan umum atau pemilu.
Di Indonesia, pemilihan umum pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 yang bertujuan untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Walaupun sempat terhenti, pemilu kembali berjalan pada tahun 5 Juli 1971. Diadakan kembali pada tahun 1975 melalui UU Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politi dan Golkar kemudian dilanjutkan dengan rutin tiap lima tahun sekali. Di Indonesia, pemilihan umum dilaksanakan tidak hanya untuk memilih pempinan negara namun juga untuk pimpinan daerah. Istilah pemilihan umum untuk daerah dikenal dengan pemilihan kepala daerah atau pilkada. Pemilu dengan sistem yang biasanya dilaksanakan di kalangan masyarakat dapat kita jumpai terakhir kalinya yaitu pada 9 Juli 2014, ketika rakyat Indonesia memilih presiden dan wakil presiden Indonesia untuk menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mengapa penulis mengatakan bahwa pemilu tersebut merupakan yang terakhir kalinya? Hal ini berdasarkan berita yang tersebar hangat di media elektronik pada awal tahun 2015 bahwa pemerintah menyajikan suatu inovasi menarik untuk masa depan pemilihan umum di Indonesia yaitu pilkada serentak pada tahun 2015 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sebuah inovasi baik oleh pemerintah yang sanggup menghibur dan juga membuat resah masyarakat Indonesia setelah dimentahkannya penerapan kurikulum 2013 terhitung pada tanggal 5 Desember 2014.
Namun, masyarakat tidak sepenuhnya mengerti sebenarnya apa itu pilkada serentak dan apakah tanah air Indonesia sangat membutuhkan terlaksanaya praktik demokrasi yang baru demi berkembangnya demokrasi di kalangan mayarakat Indonesia?
Setelah penulis melakukan berbagai riset di berbagai macam media elektronik, penulis menemukan bahwa terselenggaranya pilkada serentak ini merupakan inovasi terbaru yang diberikan oleh pemerintah untuk rakyat Indonesia dengan KPU sebagai penyelenggaranya. Peserta dalam pilkada serentak ini adalah calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati, calon Walikota dan Wakil Walikota. Rumahpemilu.com mengatakan bahwa 272 daerah yang akan mengikuti pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015. Tak hanya itu, pilkada serentak ternyat dibagi dalam tiga gelombang, yaitu gelombang pertama akan diadakan pada 9 Desember 2015 meliputi 269 pilkada untuk kepala aerah yang masa jabatannya berakhir pada Januari hingga Juli 2016. Gelombang kedua akan berlangsung pada Februari 2017 untuk kepala kaerah yang masa jabatannya berakhir pada Juli sampai Desember 2015. Sedangkan kepala derah yang masa jabatannya berakhir pada 2017 akan diadakan pilkada serentak gelombang ketiga pada tahun 2018. Tak hanya itu, pemerintah juga telah merencanakan tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan sebelum terlaksananya pilkada serentak pada 9 Desember 2015, antara lain:
1. Februari-Maret 2015 penyusunan PKPU.
2. April - Mei 2015 pembentukan PPS dan PPK.
3. Juni 2015 penyerahan dukungan calon pasangan perseorangan.
4. 22-24 Juli 2015 pendaftaran pasangan calon dan penetapan pasangan calon tanggal 24 Agustus 2015.
5. April 2015 mulai sosialisasi bimbingan teknis.
6. Masa kampanye dimulai setelah penetapan calon selesai atau sampai desember jelang pemilihan.
7. Oktober 2015 penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
8. Pilkada serentak digelar 9 Desember 2015.
KPU RI menyebutkan bahwa tujuan dari dilaksanakannya pilkada serentak adalah supaya terciptanya efektifitas dan efisiensi anggaran. Berbicara mengenai anggaran “Pemilu Serentak”, penulis menemukan fakta yang unik dalam penganggaran “Pemilu Serentak” yaitu anggaran “Pemilu Serentak” yang sejumlah tujuh triliun rupiah berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang didukung dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, hal ini dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Pasal 166 ayat (1). Ketua KPU RI, Husni Kamil Manik, juga mengatakan bahwa aspek pembiayaan tersebut diperuntukkan empat aktivitas kampanye, yaitu debat antar kandidat, penyediaan bahan kampanye, alat peraga kampanye dan iklan di media massa cetak dan elektronik yang menjadi beban APBD. Menurut pandangan penulis, ketetapan tersebut sangatlah membuang-buang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah maupun Negara, memang mereka adalah calon pemimpin daerah namun merekalah yang memiliki inisiatif sendiri, seharusnya melalui pemilu-lah seorang calon politisi bisa membuktikan dirinya, terutama dari pengeluaran untuk kampanye, dsb. karena itulah yang dinilai oleh masyarakat sebelum mereka memilih. Kampanye adalah wadah untuk calon politisi menunjukkan kharisma, wibawa, dan cara mereka mengayomi masyarakat, bukan ajang untuk menghabiskan uang yang ada. Anggaran untuk “Pilkada Serentak “ ini akan jauh lebih berharga apabila untuk mensosialisasikan program pilkada yang terbaru ini ke seluruh lapisan masyarakat. Apabila pemerintah sebenarnya ingin menekan biaya kampanye ketika adanya pilkada serentak sehingga tidak terjadi inflasi di Indonesia, sebenarnya pemerintah bisa mencantumkan maksimum pengeluaran tiap calonnya di undang-undang untuk pilkada serentak. ‘Mereka akan berbuat curang, tidak mungkin mereka akan berbuat seperti yang ditetapkan, apalagi uang yang bermain’, jika itu yang dipikirkan pemerintah, berarti pemerintah tidak percaya dengan para calon politisi tersebut, padahal kepercayaan itu harus ada dan apabila ada pun yang melanggar, masyarakat bisa melihat tingkat integritas yang dimiliki calon politisi tersebut. Serta, anggaran yang terbilang jauh lebih besar daripada pilkada yang biasanya, akan lebih baik apabila pemerintah bisa mengkaji ulang dan menyortir dana yang tidak diperlukan untuk pilkada serentak sehingga tidak membuang uang karena dengan nilai sebesar itu, para koruptor yang belum terungkap bisa melaksanakan aksinya.
Satu hal yang patut dibanggakan dalam pilkada serentak adalah ketika Husni Kamil Manik juga menyebutkan bahwa dalam pilkada serentak tidak akan diberlakukan adanya nepotisme. Mengingat yang telah terjadi saat masa kepemimpinan Ratu Atut saat ia menjabat sebagai bupati. Serta Untuk penetapan calon terpilih berubah dari sistem bersyarat minimal menjadi sistem simple mayority. Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai pemenang sehingga tidak dikenal lagi istilah putaran kedua. Sistem ini akan berdampak pada efisiensi anggaran, baik anggaran penyelenggaraan pilkada maupun biaya politik para calon.
Mengenai hal kampanye melalui media sosial, Husni Kamil Manik juga menyebutkan bahwa hal tersebut sudah atur dalam rancangan PKPU tentang Kampanye. Di mana, setiap pasangan calon yang akan berkampanye di media sosial wajib mendaftarkan akun resminya ke KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/kota sesuai tingkatannya paling lambat 1 hari sebelum pelaksanaan kampanye. Sanksi itu terkait dengan jenis pelanggarannya. Jika akun media sosial itu digunakan untuk menghina seseorang, suku, ras, golongan, pasangan calon, menghasut, memfitnah, mengadu domba maka dapat dikenai sanksi pidana. Untuk pelanggaran yang masuk jenis pidana, penanganannya menjadi kewenangan kepolisian. Untuk itu pemilih, pemantau dan peserta pemilihan kami harapkan juga partisipasinya untuk melaporkan setiap dugaan adanya pelanggaran ketentuan kampanye. Laporan dapat disampaikan ke Bawaslu dan jajarannya, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Tulisan di atas merupakan jawaban dari pertanyaan pertama dari penulis sendiri. Untuk menjawab pertanyaan kedua, penulis akan mengambil jawaban dari sudaut pandang penulis setelah membaca berbagai sumber media elektronik, diskusi dan survei yang telah dilaksanakan.
Menurut pandangan penulis, inovasi itu memang perlu demi berkembangnya suatu negara, tidak ada negara yang tetap ingin berada dalam kondisi yang sama dari tahun ke tahun. Akan tetapi, suatu inovasi yang krusial, yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke haruslah membuat suatu perencanaan yang matang. Membaca dari UU No. 8 Tahun 2015 dan UU No. 1 tahun 2015, tercantum dengan jelas dan rinci mengenai pilkada serentak dan hal tersebut merupakan inovasi yang sangat luar biasa yang telah disajikan oleh pemerintah.
“Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ...“
Abraham Lincoln
Seperti yang telah dikatakan oleh Abraham Lincoln, akan lebih baik apabila pemerintah juga meminta pendapat dari rakyat sendiri, DPRD di setiap daerah bisa membantu pemerintah untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat kemudian mengkajinya lalu membuat keputusan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Sebelum mengumpulkan aspirasi rakyat, baiklah pemerintah memberikan sosialisasi yang jelas ke seluruh masyarakat Indonesia sehingga masyarakat bisa paham dan tahu bagaimana mereka harus bertindak guna berpartisipasi dalam menyukseskan inovasi demokrasi dalam bidang politik yang disajikan oleh pemerintah walaupun hal tersebut telah disebutkan pada UU No. 8 Tahun 2015 Pasal 20 ayat (s) mengenai sosialisasi pilkada serentak, hingga saat ini tidak semua mengetahui pilkada serentak tersebut. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei yang dilakukan oleh penulis, 11 dari 15 responden penulis mengatakan tidak tahu mengenai adanya pilkada serentak, dua di antaranya mengatakan hanya tahu apabila itu dilaksanakan secara serentak se-Indonesia, tetapi tak tahu prosedurnya dan dua lainya sangat mengerti. Biarlah inovasi ini dimulai dengan matang, terkendali dan terarah, sehingga inovasi besar untuk bangsa ini tidak gagal namun apabila ada suatu kesalahan dapat langsung terselesaikan dengan cantik, sehingga anggaran untuk terlaksananya pilkada serentak tidak terbuang dengan sia-sia. Saran ini disampaikan oleh penulis agar inovasi baru ini tidak akan bernasib yang sama seperti inovasi pemerintah di bidang pendidikan yaitu implementasi kurikulum 2103.
Refrensi :
- http://vivinnagi.blogspot.com/p/sejarah-pemilu.html?m=1
- Harian Padang Ekspress
- viva.co.id
- SINDOnews
- Covesia.com
- Hukumonline.com
- UU Nomor 8 Tahun 2015
- Rumah Pemilu
- MediaIndonesia.com
- Liputan6.com
- JPNN.com
- Merahputih.com
- Suaramerdeka.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H