Kebetulan saja tadi malam perutku merasa lapar, di rumah kehabisan makanan. Maklum satu minggu ini disibukkan dengan berbagai macam aktifitas yang cukup melelahkan. Sehingga tidak 'ngeh' kalo ternyata tinggal biskuit Roma Kelapa yang hanya tersisa di 'Surga Dunia' ku itu. Surga Dunia adalah istilah tempat dimana biasanya aku menaruh berbagai macam makanan yang biasa dimakan kala sedang menulis seperti ini, mengerjakan tugas atau saat kedatangan tamu. Bagiku masih diberi kesehatan dan nikmat bisa makan apa saja adalah karunia yang sungguh patut di syukuri. Karena banyak sekali rekan seumuranku yang sudah tidak boleh makan ini, makan itu. Takut kambuh sakitnya atau takut alergi. Beruntungnya aku merdeka kalo soal makan memakan.
Akhirnya semalam aku memutuskan keluar rumah untuk melangsungkan kewajiban mengisi perutku yang nantinya akan menambah energiku beraktifitas. Kali ini aku memilih berjalan saja sekaligus bisa menyapa para tetangga yang masih asyik menikmati malam di halaman rumah mereka, jangan salah! Jam 9 malam di daerah rumahku ini masih banyak orang yang lalu-lalang. Bahkan tidak terjadi penurunan jumlah kendaraan. Selalu ramai! Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena jalur utama untuk menuju Jakarta dari Depok dan sebaliknya.
Sepuluh menit berjalan kaki akhirnya mataku tertuju di warung pecel lele yang selalu ramai itu. Bagi generasi milenial makan di warung pecel lele jauh dari kata keren. Jelas tidak keren. Lha, wong generasi milenial sekarang saat makan malah sibuk Selfie dan motoin makanan bukan menikmati makanan itu sendiri. Tidak lama kemudian aku duduk, datanglah segerombolan lelaki yang terlihat garang dan lelah mungkin karena habis kerja seharian.
Mereka duduk, menghidupkan handphone dan rokoknya itu. Aku yang tidak kuat dengan asap rokok, akhirnya memutuskan diri untuk agak menghindar dari mereka.
"Ahhhh gila ya! Sebulan ini gue narik kok sepi ya. Apa karena terlalu banyak Driver?"
Ya betul... Mereka adalah pasukan abang-abang Go-j*k yang biasa mangkal disini.
"Sama... gue juga. Parah banget ya. Biasanya satu hari gue tembus lho dua ratus lima puluh ribu. Sekarang cuman seratus delapan puluh ribuan"
Ada satu Driver yang sedari tadi diam akhirnya menimpali.
"Kalian ini untung masih dapat duit. Masih bisa makan, masih bisa beli rokok, masih bisa kasih istri 'sangu' dapur. Bersyukur dong, coba kalo nggak narik. Lu pada mau makan apa?"
Terkadang di dunia ini memang ada saja segelintir orang yang tidak tahu diri, pikirku. Sebab, beberapa hari lalupun aku menjumpai seorang kakek tua yang dengan semangat masih menerima upah 'jahitan' dari atas sepeda motornya. Ia berkeliling di daerah rumahku dengan senyum dan semangat tanpa pernah padam. Toh penghasilan kakek tua itu setahuku jarang menembus angka dua ratus ribu rupiah. Ya paling satu hari mendapat lima puluh ribu sampai seratus ribu. Tapi yang membedakan adalah rasa bersyukur itu sendiri.
Banya orang yang sulit bersyukur, akhirnya menjadi tidak tahu diri dan selalu merasa kekurangan. Seandainya saja, mereka tidak diberi kesempatan untuk menjadi Driver, mereka mendapat uang dari mana? Mau makan apa? Memang bersyukur atas nikmat yang telah diberi terkadang suatu hal yang sulit terlebih lagi dibayang-bayang oleh tagihan listrik, tagihan air, tagihan anak sekolah, tagihan kredit motor dan berbagai macam tagihan lainnya. Namun, seringkali kita tidak mempercayai suatu hal yang sering kita lupakan. Dimana Tuhan telah menjajikan kepada mahluknya bahwa, "Semakin engkau bersyukur, maka nikmatmu akan kutambah".
Kejadian semalam kembali menyadarkanku akan pentingnya syukur itu sendiri. Sebuah kata yang butuh keikhlasan praktek yang mendalam. Maka sebelum beraktifitas pagi tadi. Aku menyadari apa-apa saja yang patut kusyukuri. Ternyata gila! Banyak banget, bahkan tidak terhitung. Sungguh Tuhan ini maha baik.