Mohon tunggu...
Aristha J. Kusuma
Aristha J. Kusuma Mohon Tunggu... Professional Trainer dan Penulis -

Perkenalkan saya Aristha J. Kusuma. Latar belakang pendidikan saya adalah Psikologi. Saya menggeluti dunia Training dan Consulting. Sejak tahun 2015 saya berkarir sebagai Professional Trainer yang membantu meningkatkan kualitas maupun produktifitas karyawan atau sdm personal maupun dalam perusahaan. Saya juga menulis beberapa buku. Ingin mengenal saya lebih lanjut. Silakan berkunjung ke https://www.linkedin.com/in/aristhajkusuma/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Hati-hati dalam Menghadapi Remaja

20 Oktober 2016   17:18 Diperbarui: 20 Oktober 2016   17:36 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Perlu diketahui bahwa jiwa remaja adalah jiwa yang penuh gejolak dan lingkungan sosial remaja juga ditandai dengan perubahan sosial yang cepat (apalagi di kota-kota besar) yang mengakibatkan kesimpangsiuran norma dan penyimpangan perilaku terhadap remaja.

Kondisi internal dan eksternal yang sama-sama bergejolak inilah yang menyebabkan masa remaja memang lebih rawan daripada tahap-tahap lain dalam perkembangan jiwa manusia. Untuk mengurangi benturan antargejolak itu dan untuk memberi kesempatan agar remaja dapat mengembangkan dirinya secara lebih optimal, perlu diciptakan kondisi lingkungan terdekat yang stabil mungkin, khususnya lingkungan keluarga. Keadaan keluarga yang ditandai dengan hubungan orang tua yang harmonis akan lebih menjamin remaja yang bisa melewati masa transisinya dengan mulus daripada jika hubungan orang tua terganggu. Kondisi di rumah tangga dengan adanya orang tua dan saudara-saudara akan lebih menjamin kesejahteraan jiwa remaja daripada asrama atau lembaga pemasyarakatan lainnya. Karena itu, tindakan pencegahan yang paling utama adalah berusaha menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga sebaik-baiknya.

Selanjutnya, setiap remaja adalah unik. Kebiasaan menyamaratakan remaja dengan saudara-saudaranya sering kali menimbulkan rasa iri hati pada remaja. Sederhana namun efeknya luar biasa! Misalnya, dengan adiknya yang lebih rajin belajar. Seorang ibu terkadang dengan entengnya berpendapat bahwa kalau adiknya bisa rajin, kakaknya pun harus bisa rajin, karena mereka dilahirkan dari satu orang tua, dikasih makan yang sama dan dididik dalam satu keluarga. Namun, sikap ibu seperti ini, justru menimbulkan persepsi pada remaja bahwa ibu lebih memperhatikan adiknya daripada dia sendiri. Bahkan, kebiasaan untuk seluruh keluarga juga bisa menimbulkan rasa iri pada salah satu anak yang mungkin kebetulan tidak menyukai warna atau model yang dipilih orang tua yang barang kali lebih sesuai dengan selera salah satu anak lainnya.

Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa yang perlu dijadikan pegangan utama adalah persepsi dari remaja itu sendiri, bukan pandangan orang tua atau orang dewasa lainnya. Bila remaja memandang sesuatu hal sebagai ketidakadilan, maka ia akan bereaksi sesuai dengan pandangannya itu sendiri, walaupun semua orang mengatakannya sebagai hal yang biasa saja dan adil. Apalagi kalau remaja itu memperoleh dukungan dari teman-teman sebayanya mengenai pandangannya itu. jika dalam hal ini orang tua hanya memaksakan pandangannya sendiri tanpa melakukan pendekatan untuk mencari titik temu dalam pandangan, maka jelas remaja secara diam-diam atau terang-terangan akan melawan dan membangkang.

Di samping faktor keluarga, pengembangan pribadi remaja yang optimal juga perlu diusahakan melalui pendidikan, khususnya sekolah. Pendidikan, yang pada hakikatnya merupakan proses pengalihan norma-norma, jika dilakukan dengan sebaik-baiknya sejak usia dini, akan diserap dan dijadikan tolok ukur yang mapan pada saat anak memasuki remaja. Dengan perkataan lain, remaja yang sejak usia dini sudah dididik sedemikan rupa sehingga ia mempunyai nilai-nilai yang mantap dalam jiwanya, akan berkurang gejolak jiwanya sehingga akan bisa menghadapi gejolak di luar dirinya (di lingkungan) dengan lebih tenang.

Dalam rangka pendidikan, yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa remaja adalah lingkungan sekolah. Sekolah, selain berfungsi sebagai sarana pengajaran (mencerdaskan anak didik) juga pendidikan (transformasi norma). Dalam kaitan fungsi pendidikan ini, peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagai rujukan dan tempat perlindungan anak jika anak didik menghadapi masalah. Oleh karena itulah di setiap sekolah lanjutan ditunjuk wali kelas, yaitu guru-guru yang akan membantu anak didik jika menghadapi kesulitan dalam pelajarannya.

Selain itu juga ada guru-guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan), yaitu guru-guru yang terlatih untuk membantu anak didik yang mempunyai persoalan pribadi, persoalan keluarga, dan sebagainya. Jika para guru itu bersama dengan seluruh korps guru di sekolah dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka anak-anak didik di sekolah itu yang berada dalam usia remaja akan cenderung berkurang kemungkinannya untuk terlibat dalam masalah yang bisa menyebabkan perilaku yang menyimpang.

Yang tidak kalah pentingnya untuk menjaga stabilitas perkembangan jiwa remaja adalah organisasi atau perkumpulan pemuda, baik yang formal misalnya kegiatan pramuka, maupun yang informal seperti kelompok belajar. Namun, perlu diperhatikan jika organisasi atau kelompok itu sendiri tidak stabil, banyak gejolak atau bergabung dengan teman-teman yang juga penuh gejolaknya (misalnya “geng”, atau kumpulan orang perokok, dll), maka remaja yang bergabung dalam kelompok seperti itu justru akan meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang.

Selanjutnya, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang, bisa dilakukan usaha untuk meningkatkan kemampuan remaja dalam bidang-bidang tertentu sesuai dengan kemampuan dan bakatnya masing-masing. Dengan adanya kemampuan khusus ini (misalnya dalam bidang teater, musik, olahraga, baca puisi, dan sebagainya), maka remaja itu bisa mengembangkan kepercayaan dirinya karena ia menjadi terpandang (mendapatkan status di mata kawan-kawannya), ia tidak perlu bergantung kepada orang lain untuk mendapatkan perhatian dari lingkungannya (perlu untuk mengembangkan identitas dirinya).

Tetapi, banyak orang tua atau pendidik yang meremehkan hal ini, karena tolok ukur mereka hanyalah keberhasilan remaja dalam pelajaran (angka rapor bagus, masuk ranking, lulus SMU, masuk universitas, dan sebagainya). Akibatnya, saat remaja itu akan latihan di ekstrakurikuler, misalnya orang tuanya akan bertanya : “Sudah belajar atau belum?” Kalau belum, maka anak tidak diizinkan pergi walaupun latihan itu penting.

Sebaliknya, kalau remaja minta izin untuk belajar bersama kerumah teman, segera diizinkanm walaupun remaja itu nyatanya hanya nongkrong bersama teman-temannya di café atau pusat perbelanjaan. Ini yang menyebabkan remaja tidak bisa berkembang secara optimal pada aspek-aspek di mana ia justru mempunyai kemampuan atau potensi yang tertinggi. Kalaupun remaja akhirnya menjadi rangking pertama dikelasnya atau menjadi sarjana, ia tidak bisa berbuat apa-apa dalam masyarakat dan masih tergantung terus kepada orang tuanya. Dengan perkataan lain, remaja itu tidak menjadi orang dewasa yang mandiri.

~Sebagian dikutip dari buku Psikologi Remaja karya Prof. Sarlito W. Sarwono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun