Saya baru saja hendak menghabiskan segelas kopi, ketika teman saya, datang membuyarkan lamunan saya sambil berkata "Permasalahannya sudah ditemukan, ada gangguan di Modul Card T22 nya sehingga panel surya tidak dapat mensupai listrik". Hal yang pertama terlintas di kepala saya adalah Alhamdulillah, mereka bisa mendapatkan listrik kembali.
Terlintas beberapa jam yang lalu waktu kami menepi, ini adalah pertama kali saya dipindahtugaskan ke Belitong, saya melihat betapa masyarakat di sekitar PLTS Bukulimau sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya ini.
Pulau Bukulimau merupakan pulau kecil di sebelah timur Manggar Belitong Timur. Di Pulau yang sarat dengan keindahan alam bawah lautnya, berdiri tegak panel-panel surya yang menjadi satu-satunya tumpuan listrik utama bagi masyarakat nelayan ini.
PLN Belitung memanfaatkannya sebagai "bahan bakar" untuk membangkitkan energi listrik. Semangat untuk menyelamatkan bumi dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil patut diacungi jempol. PLTS dengan kapasitas 80 kilo Watt peak ini mampu menerangi satu desa Bukulimau.
Teringat saat kapal kami menepi di dermaga, melihat keceriaan anak-anak yang bermain di sekitar dermaga kecil itu. Bagaimana bisa mereka hidup dengan keterbatasan seperti ini. Berbeda dengan saya yang lahir dan dibesarkan di kota Jogja, yang sarat dengan fasilitas pendidikan terbaik dengan kualitas pendidik yang mayoritas lulusan luar negeri. Ini Indonesia, mereka juga berhak mendapatkan fasilitas hidup yang sama.
Untuk menjaga ketersediaan listrik ini bukan tanpa perjuangan, butuh semangat yang baja bagi saya dan tim pemeliharan dalam menjaga kehandalan sistem. Pernah suatu hari saat perjalanan pulang dari Manggar Belitung Timur, mobil kami mengalami kecelakaan. Mobil yang kami tumpangi ber-empat terbalik di sekitar hutan badau. Saat itu mobil kami ditemukan oleh polsek badau lewat foto-foto yang beredar dari blackberry messenger.
Rasanya perjuangan ini belum apa-apa dibandingkan perjuangan masyarakat Buku limau dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Semua ini bukan untuk menjadi pegawai teladan, bukan untuk mendapatkan gaji, tapi lebih dari itu semua, ini adalah pengabdian. Pengabdian sebagai punggawa dalam kerja nyata menerangi negeri.
Jika ditanya sampai kapan perjuangan ini berhenti, sampai saya sudah tidak dibutuhkan lagi.
Oleh: Diana Aristiawan Setyo Wibowo
facebook: https://www.facebook.com/aristiawan
twitter: https://twitter.com/aris_sun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H