Bahkan terkadang untuk urusan ruang personal tersebut, manusia modern lagi-lagi perlu merogoh koceknya. Adalah Jepang, Negara di Asia Timur yang pergerakan modernisasinya begitu luar biasa. Setelah dihantam kebangkrutan karena perang, sekarang Jepang menjadi simbol modernisasi. Apapun yang maju dan canggih selalu dari Jepang. Walau sebenarnya modernisasi itu harus dibayar mahal: Penduduk Jepang jadi kehilangan ruang personal. Konon hidup di Jepang sangat berat, mereka yang mau bekerja keras bagai robotlah yang dapat bertahan hidup disana. Modernisasi memaksa setiap orang untuk bergerak mengikuti ritme hidup yang semakin cepat atas nama produktivitas. Maka Jepang membuat segalanya serba cepat, kereta api yang lebih cepat, cara makan yang lebih cepat dan tak bertele-tele duduk sambil ngangkring setelah makan, produk-produk yang harus diselesaikan dengan cepat melalui pabrik-pabrik yang bekerja siang-malam. Mode danfashion yang berganti setiap waktu dengan cepat juga, demi mengejar keindahan rupa para penduduk. Semuanya serba cepat, orang dipaksa cepat-cepat, dan mereka kehilangan ruang personal. Segala sesuatu yang mahal dan cepat di Jepang membuat mereka harus hidup komunal. Untuk berangkat bekerja mereka harus memenuhi kereta cepat, berdesak-desak. Dan pada suatu ketika, mereka tersadar betapa kesepian mereka di tengah keramaian modern Jepang. Akhirnya, satu-satunya cara menemukan ruang personal kembali mereka harus membayar. Membeli seperangkat alat pemutar musik semacam iPod atau MP3 player dan sebuah headset bagus. Mendengarkan musik di perjalanan kereta cepat.
Karena saat itulah manusia Jepang memiliki lagi ruang personalnya. Tempat dimana mereka bisa mendengarkan musik keras-keras dengan playlist lagu kegemaran. Tempat dimana mereka bisa mengenang masa lalu, atau sekadar melamun, merenung, membayangkan. Siapa bilang modernitas selalu berbuah manis? Buah pahitnya adalah kesepian, keterasingan, dan hilangnya ruang personal demi sebuah Tuhan baru yang lebih kasat mata: uang.
Di dalam rongga abdomen manusia, tepat di depan aorta dan belakang perut, terdapat sebuah jaringan saraf bernama solar plexus. Ada beberapa ilmuwan yang berasumsi bahwa sebenarnya solar plexus inilah hati atau perasaan manusia. Saat kita berkata “cinta itu ada di hati” atau “gunakan kata hatimu,”sesungguhnya di solar plexus inilah lokasinya, bukan hati “liver” tempat mengolah racun, atau di jantung organ pemompa darah. Inilahsolar plexus, ruang nurani.
Lalu apa kesimpulannya? Sesungguhnya dunia ini akan indah dan kehidupan manusia akan lebih baik andai setiap orang menyadari adanya ruang yang terakhir, ruang nurani, solar plexus. Dengan adanya ruang nurani, pengelola ruang karaoke tak hanya memikirkan laba sebanyaknya. Ia juga memikirkan hak royalti para pencipta lagu yang karyanya diputar di setiap ruang karaoke. Para pejabat dan pembuat kebijakan tak terlampau sibuk tawar-menawar politik demi kepentingan diri, kroni, atau partai politik. Mereka harus memikirkan dampak kebijakan yang dibuatnya pada rakyat yang diwakilkan. Termasuk kebijakan pendidikan yang lebih baik agar setiap murid yang duduk di ruang kelas tak lagi dicekoki oleh ilmu yang mendisiplinkan, menyeragamkan, alih-alih malah memberi pendidikan yang sesuai karakter setiap murid. Ruang nurani harusnya mampu mengingatkan para penghuni ruang kost mengenai tanggung-jawab moral mereka pada dunia, sekalipun ruang itu adalah milik mereka. Tapi di luar ruang 2 x 3 meter itu ada dunia yang juga terhubung dengan mereka. Setiap keputusan hidup yang mereka buat di ruang kost sempit itu, berpengaruh pada dunia di luar.
Ruang nurani seharusnya membuat mereka yang beragama mengerti, bahwa ruang personal setiap orang berbeda, Tuhan dan pemikiran setiap orang berbeda tergantung interpretasi masing-masing pihak. Jika semua sudah seperti ini, tak akan ada berita pembunuhan dan kekerasan atas nama agama lagi.
Sudahkah anda menengok ruang nurani anda? Sudahkah menilik masih adakah ruang itu dalam diri anda? Belum? Atau jangan-jangan semua orang memang sudah melupakan ruang nurani itu karena terlampau sibuk mengurus ruang-ruang lain yang kasat mata? Selamat menjadi manusia modern yang kesepian walau di tengah keramaian.
Karanganyar, 28 Oktober 2013
Aris Setyawan:
Mahasiswa jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan, Ketua KKM Keilmuan Etnomusikologi, penulis lepas di beberapa media, bermain drum di band folk Aurette and The Polska Seeking Carnival, inisiator gerakan peduli anak jalanan Save Street Child Jogja. Penggila baca, pemuja kucing, berharap semoga suatu hari Radiohead konser di Indonesia. Dapat dihubungi melalui twitter @arissetyawan atau email arisgrungies@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H