( Dimuat di Jakartabeat 03 desember 2012. http://jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/esai/item/1626-the-act-of-killing-the-act-of-questioning )
Setelah menonton film dokumenter karya Joshua Oppenheimer ini 2 kali, tetap saja saya masih belum bisa memahami realitas yang dipaparkannya. Belum bisa memahami bagaimana bisa manusia menjadi reinkarnasi iblis dan membunuh manusia lain saat manusia lain tersebut berbeda keyakinan. Sejak dahulu sejarah memang membuktikan bahwa manusia bisa saling bunuh atas nama ideologi. Dan The Act of Killing (TAoK) memaparkan dengan gamblang pembunuhan atas nama ideologi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965. Pembunuhan dan pembantaian terhadap para penganut paham komunisme (bahkan mereka yang tak mengerti apa itu komunisme namun jadi tertuduh) yang mendapat pembenaran oleh kata sakti nasionalisme dan ideologi pancasila.
Bahkan setelah 2 kali menonton dokumenter ini sekalipun, saya masih bingung harus menulis apa dalam review sok tahu ini. Mungkin saya harus menontonnya ulang 2 atau 3 kali lagi untuk mendapatkan kedalaman makna. Karena memang saya tidak berkompetensi dalam bidang sinematografi jadi ulasan mengenai teknik film disini justru akan membuat saya terkesan sok tahu. Saya juga tak terlalu paham psikoanalisa dan psikologi jadi saya tak akan mampu memahami Congo seperti di ulasan ini yang mengatakan bahwa Anwar Congo dan para pembantai PKI di film ini adalah bagian dari Banality of Evil, dimana mereka yang bisa membunuh tanpa merasa bersalah dan berdosa adalah mereka yang mengganggap perbuatannya itu benar. Meskipun merasa diri tak mampu saya tetap gatal mau menulis tentang TAoK. Jadi dalam review sok tahu ini saya hanya akan menuliskan sedikit kesan dan kegalauan.
TAoK tiba-tiba menampar muka saya dengan keras (dan harusnya menampar muka bangsa ini), bahwa selama berpuluh tahun kita dibohongi orde berkuasa yang menyatakan komunisme itu paham tak bertuhan yang harus dibasmi dengan cara apapun. TAoK memang bukan kajian ilmiah yang memaparkan data-data. Namun TAoK adalah cara jitu memaksa orang menggali lebih dalam. Film jenius ini sukses mengobrak-abrik kemapanan berpikir kita agar bertanya lagi “apa iya realitas yang dihadirkan disitu benar terjadi di Indonesia?” Lalu mau tak mau kita harus membaca data lain, mencari buku John Rossa yang dilarang beredar, atau memburu buku Soe Hok Gie tentang pembantaian yang terjadi di Madiun.
Pertanyaan paling mendasar yang dilontarkan adalah “bagaimana bisa Anwar Congo, Adi Zulkadry, dan para pembantai lainnya mampu bercerita dengan gamblang cara menghabisi nyawa para tertuduh PKI, tanpa rasa bersalah?” pertanyaan itu terjawab dengan dihadirkannya analisis mengenai struktur dan agen. Anwar Congo dan para preman lain (termasuk organisasi PP) hanyalah agen, mereka adalah kelas bawah yang didoktrin untuk menghabisi nyawa orang. Itulah kenapa mereka tak merasa bersalah, sebab mereka meyakini tindakan jagal mereka benar, tidak berdosa, membela kedaulatan dan persatuan bangsa. Keyakinan itu dengan mudah tertanam di benak mereka (dan banyak agen-agen lain misalnya di masa sekarang dalam salah satu Ormas agama yang banyak membuat huru-hara) karena kondisi yang memaksa mereka percaya, kemiskinan, tak ada pekerjaan, orang akan melakukan apa saja termasuk meyakini doktrin saat terdesak kondisi. Agen menjadi alat kuat menghabisi nyawa manusia-manusia tertuduh komunis. Sedangkan struktur adalah sistem kuasa yang memanfaatkan para agen ini demi kepentingan mereka. Struktur adalah penghegemoni, pemaksa, penguasa. Strukturlah sumber dari segala rencana.
Struktur dalam hal ini adalah Negara. TAoK menggambarkan bahwa strukturlah yang sebenarnya bertanggungjawab atas terjadinya pembantaian massal 1965. Penggambaran struktur itu dimanifestasikan dengan adanya Gubernur Sumatera Utara yang dekat dengan Anwar Congo, (Mantan) Wakil presiden Jusuf Kalla yang mengatakan “PP sebagai preman dibutuhkan demi kemajuan bangsa” lalu salah satu anggota DPRD yang membeberkan apa kongkalikong PP dengan para pejabat. Hingga (mantan) menteri pemuda dan olah raga yang ikut syuting adegan pembantaian Kampung Kolam. Hadirnya para aparatur Negara dalam dokumenter ini sedikit banyak sudah menghadirkan fakta bahwa Negara (struktur) lah yang bertanggungjawab dalam pembantaian massal atas nama penumpasan ideologi terlarang komunisme itu, sedangkan Anwar Congo dan para algojo lain hanya alat (agen) yang dimanfaatkan. Analisis struktur dan agen ini juga dapat kita gunakan memecah problema gencarnya premanisme berbagai ormas yang terjadi belakangan ini. Ormas itu hanya agen, ada struktur lebih tinggi di atasnya yang memerintahkan segala hal demi kepentingan politik mereka. Tiba-tiba kepala kita tergetok palu “ternyata selama ini kita tinggal di Negara pemuja premanisme.”
Joshua Oppenheimer tak perlu hadirkan sadisme ala slasher atau thriller dalam dokumenternya. Secara psikologis TAoK ini lumayan sadis hanya dengan hadirnya para penjagal sebagai aktor utama. Jarang-jarang ada dokumenter tentang pembantaian massal yang dibintangi oleh para pembantai aslinya. Dengan begitu saja film ini sudah sedemikian sadis. Josh juga cukup bermain semiotika untuk beberkan ironi dari realita. Dengan memunculkan adegan Anwar Congo dan Herman Koto yang tinggal di rumah kecil tipikal rumah kontrakan perkotaan, sementara itu ada seorang pengusaha kaya pamerkan koleksi berlian dan pulau pribadi untuk kandang burung, serta pimpinan PP yang asyik bermain golf dan menggoda caddy girl. Kita bisa tahu bahwa ada semacam komparasi disini. Perbandingan bahwa para agen seperti Congo tangannya akan selalu kotor oleh debu dan darah, namun kehidupannya tetap berada di bawah.
Sementara struktur tak tersenggol dan hidup nyaman dalam kemewahan karena kepentingan dan tujuannya tercapai. Hal yang harusnya membuat kita berpikir ulang sebelum menghakimi para agen sebagai yang bersalah, karena kadang mereka hanya terdesak kondisi, tak tahu ideologi atau keyakinan apa yang sebenarnya mereka perjuangkan, namun harus dilakukan karena disetir struktur. Bila ada yang harus disalahkan dan digugat adalah struktur teratas.
Bukti dari premis bahwa kadang agen hanyalah alat ditunjukkan saat film mendekati akhir dimana Congo menangis sesenggukan setelah menonton hasil syuting adegan dirinya disiksa sebagai korban pembantaian. Kemudian Congo muntah-muntah saat mencoba menceritakan kembali caranya menghabisi nyawa. Apa yang ada dipikiran Congo barangkali adalah penyesalan “bagaimana kalau ternyata apa yang kulakukan dulu salah?” Josh berhasil hadirnya kemanusiaan Congo kembali disini. Walau memang ada agen yang terlanjur yakin tindakan pembunuhannya benar, seperti Adi yang tetap tak merasa berdosa dan sesumbar “silakan undang saya ke Den Haag untuk diadili.”
Akhirnya saya harus mengikuti gaya bahasa anak jaman sekarang dan cuma bisa bilang wow terkait film The Act of Killing (Jagal). Saya harus menontonnya beberapa kali lagi, lalu mencari literatur pendukung lain agar tahu sejarah kelam bangsa ini. Kenapa kita harus tahu? Agar kita belajar dan tak jatuh ke lubang kelam yang sama. TAoK sukses menyulut pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana mungkin kita senyaman itu dibohongi rezim berkuasa selama berpuluh tahun? Bagaimana bisa kita hidup nyaman dalam hipokrisi premanisme (berkedok free man alias manusia bebas) Negara ini? Dan tiba-tiba saya mempertanyakan kesucian pancasila sebagai ideologi Negara. Sesuatu yang ditanamkan pada saya sebagai ideologi paling mulia semenjak saya duduk di bangku SD, hingga kini di bangku kuliah dimana filsafat pancasila diajarkan oleh seorang dosen jebolan Lemhanas yang sumpah pemikirannya adalah tipikal agen yang didoktrin struktur rezim berkuasa dulu. Karena kemuliaan ideologi yang ditanamkan kepada saya sejak kecil itu mendadak menguap lenyap oleh fakta bahwa untuk mempertahankan kemuliaan itu harus dilakukan segala cara, termasuk mengenyahkan pemikiran yang tidak sejalan dengannya.
Pertanyaan terakhir yang harus dilontarkan pasca menyimak TAoK adalah “apa dibenarkan menghabisi nyawa manusia lain demi mempertahankan keyakinan yang kita anggap paling benar?” silakan jawab sendiri dengan rasa kemanusiaan terdalam masing-masing.
Yogyakarta 21 November 2012.
Aris Setyawan: Penulis adalah mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan. Bermain drum untuk Aurette and the Polska Seeking Carnival, penggila kucing, penggiat peduli anak jalanan di Save Street Child Jogja, kutu buku poll-poll-an, berharap semoga satu hari Radiohead konser di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H