Lalu kita harus menggugat siapa? Sang seniman yang pasrah pada budaya massa? Perguruan tinggi yang mencetak seniman kitsch tanpa rasa? Atau sang biduan penggagas frasa cetar membahana? Jangan-jangan tak ada yang salah dalam standarisasi baru kesuksesan seni ini karena toh semua orang nyaman dan baik-baik saja kok. Jangan-jangan saya sendiri yang salah karena enggan berkompromi pada sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan idealisasi saya? Salahkah saya?
Aris Setyawan: Penulis adalah mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan. Bermain drum untuk Aurette and the Polska Seeking Carnival, penggila kucing, penggiat peduli anak jalanan di Save Street Child Jogja, kutu buku poll-poll-an, berharap semoga satu hari Radiohead konser di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H