Mohon tunggu...
Aris Setyawan
Aris Setyawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan. Bermain drum untuk Aurette and the Polska Seeking Carnival, penggila kucing, penggiat peduli anak jalanan di Save Street Child Jogja, kutu buku poll-poll-an, berharap semoga satu hari Radiohead konser di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Musik Pagi Televisi: Representasi Kondisi Masyarakat Indonesia?

17 Maret 2011   06:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:43 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih dalam rangka riuhnya perayaan hari musik nasional yang baru saja Kita peringati beberapa hari yang lalu. Alangkah baiknya bila Kita bersyukur oleh karena dalam peringatan hari musik sekarang ini Kita benar-benar bisa merayakan musik Indonesia yang sedang menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Masyarakat Indonesia kembali mencintai musik lokal, hal ini terbukti diantaranya dengan meningkatnya airtime lagu-lagu musisi Indonesia di berbagai radio. Serta menjamurnya acara-acara musik di televisi yang menayangkan penampilan para musisi lokal yang semuanya selalu ramai dipenuhi audiens. Namun alangkah baiknya dalam suasana merayakan musik negeri ini bila dibarengi dengan sebuah kontemplasi dan pertanyaan: kenapa kebanyakan acara musik di televisi ini ditayangkan pada pagi hari? Mengapa acara musik ini harus tayang di jam produktif dimana kebanyakan masyarakat harusnya melakukan aktivitas seperti bekerja, mencari nafkah, atau bersekolah?

Pelampiasan Semu

Bila Kita cermati kebanyakan acara-acara musik pagi yang ditayangkan televisi tersebut selalu ramai dipenuhi penonton yang berjubel mencari hiburan. Tentu hal ini memunculkan pertanyaan “apa Mereka semua tidak bekerja atau bersekolah?” sebab di jam produktif pagi hari ini memiliki waktu luang untuk menghadiri sebuah pagelaran musik pagi. Lalu sebagai sebentuk asumsi dapat Kita buat sebuah monolog fantasi sebagai berikut “Saya seorang muda Indonesia yang tidak bersekolah dan menganggur. Karena kurang kegiatan dan cara mengapresiasi diri, maka Saya butuh pelampiasan yang mudah dan praktis untuk melupakan segala permasalahan hidup yang Saya dapatkan. Maka hadirlah Saya ke acara musik pagi di stasiun televisi untuk menghibur diri dengan lagu-lagu pop masa kini, ketimbang diam dalam frustasi karena menganggur dan tidak bersekolah.” Meminjam istilah Theodor Adorno “Budak Irama” dimana para masyarakat penikmat musik pop yang dikomoditaskan sebuah industri adalah korban banalitas budaya massa. Dimana musik adalah salah satu produknya, yang dipoles sedemikian rupa sehingga mudah dicerna dan bersifat semu semata. Alangkah sedihnya bila asumsi ini ternyata benar, bahwa Mereka begitu banyak para anggota masyarakat yang hadir di acara televisi pagi itu adalah para penganggur yang tidak bekerja atau bersekolah, dan sedang mencari sebuah pelampiasan semu dengan menghibur diri di acara musik pagi televisi. Karena musik tersebut sudah dibuat sedemikian rupa sebagai pelarian dan pelampiasan semu.

Menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menjelaskan mengenai tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual. Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007: 73). Karena sudah dibuat sedemikian rupa, maka para pendengarnya terkecoh dan enggan mempertanyakan estetika seni musik yang didengarnya. Selama musik itu dapat menjadi pelampiasan semu, manalah sempat para pendengar mempertanyakan kenapa semua musik populer diacara televisi pagi ini ber-pattern nyaris sama baik dalam segi nada, pemilihan sound, style pemusiknya, dan lain sebagainya. Atau kenapa kebanyakan musisi melakukan Lip-sync dan minus one dalam penampilan panggung Mereka. Padahal di luar negeri tindakan lip-sync dapat dianggap sebagai bentuk kebohongan publik dan pelakunya dapat dituntut di meja hijau. Namun rupanya masyarakat Indonesia sudah mendapat pelampiasan semu yang sempurna untuk melupakan kerasnya tantangan hidup di negeri ini dalam musik populer ini, walau penampilan musisinya lip-sync dan berakting belaka.

Masyarakat Modern Yang Mengalami Kemunduran

Ada sebuah konsep yang menyatakan “musik yang beredar di masyarakat adalah representasi dari kondisi sosio kultural masyarakat pemilik musik tersebut.” Jika pada masyarakat primitif mempunyai jenis musik yang monoton dan bebas itu adalah representasi masyarakatnya yang hidupnya juga bebas dan monoton. Maka musik Mereka berciri tidak rumit dan belum mengenal berbagai pakem dan instrumen musik seperti jaman sekarang. Sementara pada masyarakat yang agak maju, pada era kerajaan-kerajaan jawa misalnya. Musiknya dibuat dengan berbagai pakem dan aturan-aturan yang tak boleh dilanggar. Misalnya dalam gamelan jawa keseluruhan instrumennya harus dimainkan sesuai aturan yang dibuat, sebagai representasi sistem hirarki dan feodalisme kerajaan jawa. Selalu ada sebuah instrumen otoriter yang berperan paling vital (Kendang) sebagai simbol raja atau penguasa dalam sistem kerajaan ini. Sedangkan dalam masyarakat modern, Menurut Chris Baker (2005), struktur perasaan post modern adalah a) Pengertian akan ciri hidup yang fragmentaris, ambigu, dan tak pasti; b) Kesadaran akan sentralisasi hal-hal yang mungkin terjadi; c) Pengakuan terhadap perbedaan; d) Percepatan laju kehidupan. Seniman baik dalam arti semua orang atau orang yang menghasilkan karya seni pada hakekatnya melakukan kegiatan berkesenian sebagai aktualisasi situasi masa kini yang dihadapi oleh masyarakat. Karya seni adalah pujian, protes dan aktualisasi terhadap/dari situasi dan kondisi masyarakat. Padahal tema-tema musik populer belakangan ini sudah dibuat semu dan dihidangkan dalam sengkarut lip-sync dan minus one yang berbohong pada audiens, Jadi seperti inikah kondisi paling aktual masyarakat Indonesia? Sedang mencari pelampiasan diri semu, dan terbiasa dibohongi. Sebab masyarakat diam saja ketika dibohongi penampilan lip-sync musik populer ini. Terbiasa dibohongi dalam sektor hiburan ini membuat Mereka diam saja ketika juga dibohongi dalam tataran politik atau ekonomi. kebudayaan pop lebih suka memilih estetika-resepsi daripada estetika-kreatif. Di mana produk kebudayaan yang ada direncanakan dan dibuat tidak lagi menurut dorongan kreatif dari dalam diri lubuk hati seniman, melainkan didorong menurut cita-rasa dan kemauan publik. Mengesampingkan estetika-kreatif. Di mana keindahan tidak lain dipandang dari sejauh mana kemampuan karya seni tersebut mampu untuk memenuhi secara memadai permintaan massa akan kepuasan kultural. Keindahan bukanlah sesuatu yang berhadapan dengan kriteria formal para kritikus, melainkan dengan kebutuhan nyata dari publik. Dalam hubungannya dengan struktur sosial, budaya pop bisa digolongkan sebagai kebudayaan kota dan industri. Sebagai gejala masyarakat industri ia mempunya dua ciri: pada satu pihak ia cenderung menjadi kebudayaan massa, di lain pihak ia cenderung menjadi kebudayaan sesaat. (Kleden, 1987) itulah kenapa musisi-musisi Indonesia sekarang mengalami regenerasi yang sangat cepat dimana sebuah band atau seorang musisi bisa dengan begitu cepat muncul ke permukaan namun bisa menghilang secepat kemunculannya pula. Itu pula kenapa di acara musik pagi televisi para musisi pendukungnya terus menerus berganti sedemikian cepat, walau semuanya berciri musik dan gaya musisi nyaris sama. Hanya berganti band, dengan ciri nyaris sama, dibedakan sedikit dengan tambahan tertentu dalam musiknya sebagai kesan pembeda. Para penikmat musik ini diam saja mengiyakan dan menikmati sebab  industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu.

Maka dari itu industri budaya berusaha mengaburkan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat. Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan hal tersebut hingga orang tidak menyadari apa yang tengah terjadi (Strinati, 2007: 69). Masyarakat penikmat musik populer merasa amat membutuhkan musik ini sebagai pelampiasan semu, dan Mereka tidak menyadari kejanggalan dalam musik ini: keseragaman pola, lip-sync, minus-one, kualitas rekaman, dll.  Kemudian dari konsep musik adalah representasi masyarakat pemiliknya tadi Kita dapat berkaca: jika musik populer yang digemari berpola sama dalam tiap lagu dan monoton, apakah kemudian dapat disimpulkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat modern yang sedang mengalami kemunduran?

Evaluasi Diri

Alangkah baiknya Kita segera mengevaluasi diri. Agar dalam riuhnya perayaan hari musik Indonesia ini Kita tak hanya terjebak dalam lingkaran musik budaya populer yang semu. Sebab meskipun apresiasi musik masyarakat akhir-akhir ini menunjukkan adanya perkembangan menarik, tapi ia masih belum menunjukkan indikasi yang memberikan sumbangan mendasar terhadap kehidupan bangsa ini. Untuk itu memang perlu melahirkan seniman-seniman yang dapat menciptakan modus berkesenian dan karya-karya mampu yang mengangkat masalah sosial-budaya yang mendasar dan aktual dalam kehidupan masyarakat kita untuk menjadi isu penting yang bisa menarik perhatian segala kalangan masyarakat dalam lingkup nasional. (Raden, 1995) agar musik populer Indonesia naik setingkat ke taraf yang lebih baik sebagai pemicu dan motivator bagi pendengarnya untuk berusaha dan bekerja membuat sesuatu yang lebih baik, bukan hanya sebagai sebuah ajang pelampiasan semu masyarakat.

Semoga ini dapat menjadi bahan evaluasi diri Kita bersama, untuk mulai lebih menghargai musik dari segi estetika seninya dan tidak terseret arus komodifikasi musik populer, semoga perayaan hari musik kedepannya benar-benar merayakan musik Indonesia yang lebih baik. Dan harapan Kita juga para audiens yang sering setiap hari muncul menjadi penonton di acara musik pagi televisi ikut merenungkan hal ini. Hingga Mereka tidak tiap hari hanya bisa jadi penonton musik tersebut dan bertahan dalam kepasrahan hanya bisa menikmati semu hiburan, barangkali berusaha bekerja membuat karya sendiri misalnya. Karena bila masyarakat Kita tetap bertahan berdiam diri dalam keriuhan hiburan semu budaya populer ini tanpa mau berusaha bekerja, maka rupanya benar satire lirik lagu band Inggris Manic Street Preachers yang berjudul All We Make Is Entertainment yang berbunyi sebagai berikut:

““And we discovered was even more despair But we learned how to cope, we learnt now not to care…All we make is entertainment, A sad indictment of what we're good at, We're all part of the grand delusion.” bahwa Kita adalah bagian dari masyarakat modern yang terus membuat hiburan untuk melupakan segala problema hidup, tanpa mau berusaha bagaimana membuat jalan keluar.

SELESAI

Aris Setyawan

Yogyakarta, 17 Maret 2011

( created and sent from my friend's computer. for more word and shit log on to http://www.arisgrungies.multiply.com/ )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun