Mohon tunggu...
Aris Setyawan
Aris Setyawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan. Bermain drum untuk Aurette and the Polska Seeking Carnival, penggila kucing, penggiat peduli anak jalanan di Save Street Child Jogja, kutu buku poll-poll-an, berharap semoga satu hari Radiohead konser di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Sakit: Tentang Gayus, Bonek, Tawuran, Crop Circle, Sampai Keriuhan Seks Dalam Hegemoni Media Massa

25 Januari 2011   04:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:13 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

tawuran

Subjudul diatas sebenarnya memang lintas tema dan tidak ada korelasinya antara satu pokok permasalahan dengan yang lain, tapi pada dasarnya semua yang jadi subjudul diatas berkaitan dengan satu tema dasar yang disini Saya jadikan judul. Yakni mengenai The Sick Society alias Masyarakat Sakit. Apa itu masyarakat sakit? Masyarakat bisa dikatakan sakit apabila dalam sebuah tatanan masyarakat hanya memiliki satu sudut pandang dan tujuan hidup. Herbert Marcuse menyebut indikasi ini sebagai berikut, bahwa masyarakat modern sebagai masyarakat satu dimensi (One Dimensional Man). Didalam masyarakat satu dimensi ini segala pandangan hidupnya hanya diarahkan pada satu tujuan utama saja, yakni mempertahankan sistem yang telah ada dan bertahan. Dan sistem yang bertahan itu adalah kapitalisme. Karena itulah masyarakat Kita sakit, sebab orientasi utama hidup adalah menikmati hidup dan kenyamanan dalam berbagai cara, memuja hedonisme yang mana paham itu adalah anak emas Kapitalisme. sebagaimana Erich Fromm jelaskan dalam "The Sane Society." (dan juga banyak pakar lain temukan) Kita hidup dalam disfungsi, masyarakat yang sakit. akar permasalahan dari kesakitan masyarakat Kita adalah diasumsikan Kita manusia sudah terpisah dari Tuhan, Alam, dan hubungan horizontal dengan manusia yang lainnya. alih-alih Kita malah mendekat pada materialisme, kapitalisme, dan ideologi ekonomi. Jika Kita kaitkan teori dari kedua teoritisi itu memang benar adanya belakangan Kita adalah manusia yang menjauhkan diri dari Tuhan, Alam, dan kebersamaan sesama manusia. Kita sudah menjadikan diri Kita memiliki satu dimensi primer yakni bagaimana cara mendapatkan hidup yang nikmat ala janji manis kapitalisme.

Hubungan dengan Gayus? Sebenarnya tersangka mafia pajak itu hanya sebuah cerminan bagaimana masyarakat Kita memang sudah sedemikian sakit. Gayus adalah tipikal yang benar-benar meresapi dimensi satu arah menuju kenyamanan kapitalisme ini, jadi Gayus (dan banyak manusia lain di Negeri ini) melupakan dimensi lain seperti agama, moralitas, kemanusiaan, ataupun cinta mungkin. Dimensi primer yang jadi orbit hidupnya adalah bagaimana memperoleh kenyamanan (hedonisme) yang dijanjikan Kapitalisme tadi, maka Gayus yang bergaji kecil harus melakukan segala cara untuk meraih keinginannya tersebut. Jadilah penggemar wig poni dan kacamata itu menjadi mafia pajak. Manalah sempat memikirkan negara dirugikan atau pembangunan tersendat, atau itu uang jatah beras murah Bu Samiyati di desa terpencil Gunungkidul. Manalah mau Gayus (dan banyak manusia lain) ingat perbuatanya harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan kelak, inilah yang Saya maksud dengan masyarakat sakit berdimensi satu. Msayarakat yang mengucapkan selamat tinggal pada moralitas dan Tuhan serta jiwa sosial. Dan selalu mengucapkan selamat datang pada kenyamanan hidup, bagaimanapun cara mendapatkannya.

Yang sedang menjadi sorotan belakangan ini kemudian adalah anarkisme ala Hooligan Bonek, sebuah kelompok supporter sepakbola. Sebelumnya perlu dijelaskan ini bukan tentang Bonek atau klub yang dibelanya. Ini tentang “fanatisme sempit” yang diusungnya yang lagi-lagi menjadi bagian dari masyarakat sakit tersebut. Karena Bonek (dan juga banyak manusia lainnya) adalah masyarakat sakit yang kalah dari kuasa. sementara Gayus (dan banyak manusia Lainnya) adalah masyarakat sakit yang menang dengan meraih apa yang Mereka mau. Michel Foucault dalam "Order of Thing" mengungkapkan "Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan.” Gayus (dan banyak manusia lainnya) yang tergolong menang adalah pemilik pengetahuan, para koruptor itu cerdas dan pintar, para penguasa adalah manusia berpendidikan. Karena itu Mereka lebih tahu banyak cara untuk melegitimasi kekuasaannya. Sedangkan para manusia kalah dalam tatanan masyarakat sakit ini adalah manusia yang kurang berpengetahuan. Tentu saja demikian dimana di negeri ini pendidikan begitu mahal dan tak terjangkau manusia kalah, dengan rendahnya standar pendidikan yang mampu dikecap manusia kalah mengakibatkan Mereka tak mampu menggapai apapun yang diinginkan, bahkan sekedar sebuah pekerjaan. Jadilah berjubel kantong pengangguran diseluruh penjuru negeri. Dalam kebosanan akut akan menganggur dan kurangnya cara mengapresiasikan diri maka para manusia kalah membutuhkan sebuah pelampiasan yang sayangnya kadang pelampiasan akan suramnya hidup itu dilakukan dengan tindakan anarkisme dan brutalnya sebuah tawuran. Bonek dan para manusia kalah lainnya memprotes hidup satu dimensi namun tak tergapai dan kondisi negeri dengan apa yang Mereka bisa. Tawuran dan kekerasan salah satunya. Benarkah demikian? Di negeri yang katanya beradat ketimuran.

Yang lantas patut disayangkan kemudian adalah hegemoni yang dilakukan media massa hingga makin mendorong tumbuh kembang masyarakat sakit ini. Media selaku pemberi informasi tak menghadirkan pendidikan mental dan pribadi pada para konsumen informasi. Apa yang jadi orientasi media massa pun lagi-lagi berdimensi satu menuju kenyamanan kapitalisme. Maka informasi yang dijual lagi-lagi sangat didasarkan pada “kondisi pasar” dimana mana berita yang laku itulah yang dimuat. Kelatahan media patut disayangkan sebab berbagai bumbu penyedap dalam berita itu justru memunculkan histeria massa dan tidak bermuatan pendidikan. Malah berkesan politis. Menurut McQuail (1987), hal. 142-162) media hidup dalam situasi tertekan. Tekanan yang mereka hadapi berasal dari berbagai kekuatan luar, termasuk dari klien (misalnya pemasang iklan), penguasa (khususnya penguasa hukum dan politik), institusi atau organisasi, dan khalayak. Meskipun secara analisis berbeda, tetapi dalam kenyataannya tidak ada satupun kekuatan atau bentuk pengaruh yang terpisah atau terisolasi. Semua kekuatan tersebut berbaur, tumpang tindih dan saling mendesak. akumulasi kekuatan dan pengaruh memberikan kedudukan dominan pada beberapa institusi tertentu dalam komunikasi massa dan masyarakatnya. Dan media besar Indonesia kebanyakan dimiliki elit politik yang menggunakan media miliknya untuk pembentukan opini publik dan penyeragaman pola pikir. Sepertinya sulit diharapkan adanya kebenaran dalam media. Karenanya juga bertebaran seksualitas di konten media massa Kita. lebih lanjut mengenai Seks Foucault mengatakan "Bio-politik penting bagi perkembangan kapitalisme. sebab Kapitalisme membutuhkan tubuh yang dapat dikontrol untuk produksi. Media massa menghidangkan seks dalam kontennya karena seperti dijelaskan McQuail adanya tekanan dari pemasang iklan. Pemasang iklan yang berdimensi kapitalisme sadar bahwa seks bisa dieksploitasi demi keuntungan. Maka seks harus diproduksi agar mampu dijual. Bagaimana cara agar seks bisa ditimbulkan dalam kesadaran masyarakat? Kekuatan media massa harus digunakan. Lagi-lagi dimensi yang digunakan hanya demi kenyamanan dan menyingkirkan moralitas serta sosial. Selama sebuah produk laku tak peduli menimbulkan kegilaan dalam masyarakat. Jadilah Kita dengar kabar ramainya pemerkosaan, beredarnya rekaman video porno dengan telepon seluler, penjualan gadis lewat Facebook, dan banyak lagi problema seksualitas lain. Hegemoni media berperan serta dalam pembentukan masyarakat sakit ini, sadar atau tidak sadar. Lalu apa kaitan Crop Circle? Well, lingkaran ditengah sawah ini sudah menjadi produk seluruh media massa negeri juga. Sama seperti Gayus, Bonek, Tawuran, bahkan skandal seks yang selalu juga menjadi headline dalam media yang latah mengikuti pemberitaan media lain. Mengekor demi rating, oplah, tiras, dan tentu uang. Sebuah kenyamanan yang dijanjikan kapitalisme.

Sedemikian parahkah masyarakat sakit ini? Sebenarnya Kita bisa sembuh dari kondisi sakit ini bila Kita menghapus paradigma satu dimensi Kita dan menerapkan sebuah pepatah jawa bernama Nrimo Ing Pangdum. Ikhlas dan menerima apa yang menjadi jatah Kita, tak usah ngotot mau hidup kayak artis elit yang dicitrakan media. Kalaupun mau ya belajar, berusaha dengan halal. Jangan segala cara dihalalkan. Karena pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan. Kalau mau berkuasa yang belajarlah biar berpengetahuan. Tanpanya Kita hanya jadi manusia kalah yang ditindas penguasa berpengetahuan, dan Kita hanya bisa melampiaskan kekalahan Kita dengan kekerasan dan seksualitas. Sebuah kegiatan yang layaknya makan dan buang hajat sudah bisa Kita lakukan semenjak bayi tanpa perlu dipelajari karena kata Sigmund Freud sejak bayi pun Kita sudah menikmati seks, jadi ketika dewasa tanpa belajar pun Kita sudah bisa melakukannya. Sembuhlah segera wahai masyarakat sakit.

SELESAI

( Catatan ketika sambil tiduran Saya simak riuhnya pemberitaan tentang Super Gayus, Bonek di kereta api, Tawuran massa, Crop Circle di Sleman yang tak sempat Saya sambangi karena malas, hingga seks yang sudah begitu memasyarakat di Indonesia)

ARIS SETYAWAN

Yogyakarta, 25 Januari 2011

( Created and sent from my friend’s PC. For more word and shit log on to http://www.arisgrungies.multiply.com )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun