Mohon tunggu...
Aris Setyawan
Aris Setyawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan. Bermain drum untuk Aurette and the Polska Seeking Carnival, penggila kucing, penggiat peduli anak jalanan di Save Street Child Jogja, kutu buku poll-poll-an, berharap semoga satu hari Radiohead konser di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Timnas, Euforia Media, dan Nasionalisme Latah Kita

24 Desember 2010   04:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:26 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baiklah Kita patut berbangga dengan prestasi Tim nasional sepak bola Kita yang secara luar biasa mampu lolos ke final piala AFF tahun ini, luar biasa karena memang sudah sejak lama sepak bola Kita terpuruk dan tiba-tiba Kita dapat hadiah akhir tahun dari Timnas yang berprestasi. Lalu mendadak kesadaran Kita tergugah dan timbul pula rasa nasionalisme dan cinta negeri di diri Kita. Namun yang perlu sedikit Kita kaji ialah: bagaimana kalau ternyata nasionalisme Kita latah Cuma karena dipicu oleh euforia produksi media massa? Tentu pertama perlu ditegaskan bahwa maksud Kita bukan mendiskreditkan tim nasional maupun pesimistik dan merendahkan Mereka, karena seyogyanya timnas memang perlu dipuji dan di support agar mampu maju lebih jauh lagi, yang perlu Kita ketahui ialah pengaruh media massa yang sedemikian besar dalam membentuk opini publik dan secara alam bawah sadar menimbulkan kepercayaan pada diri Kita sehingga apapun yang dikatakan media langsung Kita percaya tanpa adanya bantahan. Itu yang coba Kita gali maknanya.

Ada sebuah teori yang dikembangkan oleh teoritikus Sandra Ball-Rokeach and Melvin DeFleur yang disebut “The Dependency Theory” alias “Teori Ketergantungan.” Dalam teori ini disebutkan bahwa “semakin seseorang tergantung pada media massa untuk memenuhi kebutuhannya, maka media akan menjadi semakin penting bagi seseorang itu. Kemudian media akan menjadi sangat berkuasa kepada seseorang tersebut, dan lama-kelamaan media akan berkuasa atas hidup seseorang itu.” Begitu tergantung Kita pada sebuah produk media sehingga tanpa sadar Kita memang sudah sampai pada proses dimana media menjadi sangat urgen dalam aspek kehidupan, Kita begitu percaya pada semua yang dikatakan media tanpa mau memilah mana yang benar dan mana yang blunder. Salah satu kasus yang cukup membuat Saya geli sendiri adalah di sebuah akun Twitter seorang bertanya dalam tweet nya “eh lagi dijalan nih menuju Benteng Vrederburg, ada yang tahu enggak jalannya kemana?” apa yang lucu hingga Saya geli sendiri? Sebenarnya pertanyaan itu tidak lucu dan biasa saja, bertanya jalan. Yang lucu dan perlu diperhatikan adalah mental pemilik akun tersebut yang sudah terlalu tergantung pada media (dalam hal ini Twitter) sehingga dia memutuskan bertanya arah jalan pada orang di Twitter.

Coba ditelaah secara logika, bukankah akan lebih efektif bila orang tersebut turun dari motornya sejenak lalu bertanya langsung pada orang di pinggir jalan ketimbang harus bertanya di Twitter dan harus menunggu sekian lama ada orang yang menjawab pertanyaannya tersebut? Namun secara alam bawah sadar memang pola pikir dependensia media itu sudah tertanam jadi pemilik akun itu lebih percaya pada Twitter daripada bertanya orang di jalan, walau tentu itu lebih nonefisien. Contoh lain adalah sebut saja si A yang berasal dari Jakarta yang panas tiba-tiba pindah ke Bogor yang sering turun hujan, karena pindah Kota maka Si A merasa membutuhkan membaca koran, atau melihat TV, maupun di internet tentang ramalan cuaca hari ini agar tahu apa akan hujan. Satu hari tiba-tiba Dia terputus dari media yang dikonsumsi nya tiap hari, internet putus, TV mati, koran tak dikirim. Alih-alih melihat keluar apa hari ini akan hujan atau percaya pada intuisi bahwa mungkin hari ini tak akan hujan, si A memilih tak keluar rumah sebab Dia tak mendapat ramalan cuaca hari ini dari media, sebuah sumber yang paling dipercayanya dalam hidup.

Maka dengan mengacu pada teori ketergantungan media tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: “bagaimana kalau ternyata rasa cinta negeri, nasionalisme, serta dukungan Kita pada timnas sekarang ini hanya karena Media memaksa alam bawah sadar Kita agar percaya hal itu, dan bukan berasal dari lubuk hati Kita yang paling dalam?” karena porsi pemberitaan media massa yang Kita konsumsi tiap hari sangat berlebih dan cenderung bias pula, dan semua Kita telan mentah-mentah. Padahal media tentu membuat berita itu bertendensi pada penaikkan oplah dan rating maka sebuah isu yang sepertinya berpotensi meningkatkan kredibilitas media itu harus di blow up sebanyak mungkin bahkan kalau perlu didramatisir agar lebih menarik minat. Dalam makalahnya “pengantar Komunikasi Massa” Nurudin menyebutkan “Media massa dan budaya massa telah mempromosikan banyak hal yang ikut menjadi sasaran teori kritis. Bahkan ketika media massa tidak melihat sebagai sumber masalah khusus, mereka dikritik untuk memperburuk atau melindungi masalah dari yang diidentifikasi atau disebut dan dipecahkan. Contohnya, seorang teoritikus berpendapat bahwa isi praktik produksi para praktisi media tidak hanya menyebabkan tetapi juga mengabadikan masalah.” Maksudnya ialah media massa seringkali harus menambahkan bumbu-bumbu penyedap dalam sebuah informasi agar para audience berminat mengkonsumsi informasi itu, dan sialnya Kita ini lagi-lagi tanpa sadar ikut termakan propaganda budaya massa itu.

Kita lebih butuh sebuah hiburan ketimbang isi informasi itu, Kita lebih suka kemasannya yang wah daripada esensi informasi yang dikandungnya. Maka porsi pemberitaan luar biasa media lokal akan Timnas Indonesia mau tak mau tak mau memunculkan euforia massal yang melahirkan nasionalisme latah yang muncul tiba-tiba selama Piala AFF terselenggara. Sebuah pertanyaan lantas timbul: seandainya media tidak mengatakan “kemenangan timnas sepakbola Indonesia menimbulkan nasionalisme pada penduduk Indonesia” apakah Kita tetap memiliki rasa nasionalisme itu? Kalo iya kenapa sebelumnya euforia nasionalisme ini tak muncul ke permukaan? Kasus yang sama persis terjadi dimana Kita tahu kalau Kita butuh dan harus makan Burger setelah Kita melihat iklannya di TV, padahal sebelum melihat iklan itu Kita tak butuh makan burger dan hidup Kita baik-baik saja tanpanya.

Sebagai penutup, lagi-lagi ini bukan bentuk pesimis akan timnas, justru harusnya ini jadi perenungan Kita. Apakah dukungan Kita pada timnas sepakbola Indonesia benar-benar dari lubuk hati yang terdalam atau kesadaran ini adalah kesadaran (palsu) yang timbul karena digugah media massa yang orientasi utamanya adalah atas nama rating dan oplah? Agaknya niat baik Kita memberi support dan tekad nasionalisme pada timnas perlu didekonstruksi dan dievaluasi. Agar timnas sepakbola negeri yang memang bermain bagus dan patut berprestasi itu benar-benar dapat membuat prestasi luar biasa di kancah internasional karena mendapat dukungan yang sesungguhnya dari lubuk hati terdalam warga Indonesia.

SELESAI

(sebuah perenungan ketika menanti final piala AFF dimana Indonesia akan melawan Malaysia. Jadi, Kita nonton bola dan support timnas karena memang suka dan sadar, atau karena tanpa sadar media massa membentuk mental Kita?)

ARIS SETYAWAN

Yogyakarta, 24 Desember 2010

( Created and sent from my friend’s computer. For more word and shit log on to http://www.arisgrungies.multiply.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun