Penelitian tentang Hubungan Masyarakat sebagaian besar  ialah penelitian dikaitkan dengan gender. Beberapa studi kasus dan peran perempuan telah dilakukan di sejumlah negara. Hasilnya dari profesi Hubungan Masyarakat ini dipersepsi female concentrated atau female dominated yang artinya lebih pada konsentrasi terhadap perempuan dan didominasi perempuan. Terkait dengan adanya analisis lainnya dengan katakter perempuan adalah fleksibel, ramah, dan lebih mampu membujuk yang sangat diperlukan oleh peran Hubungan Masyarakat dengan karakter perempuan yang seperti ini dapat mencuri perhatian atau mengambil hati massa atau banyak orang.
      Menurut penelitian humas pemerintah cenderung menerapkan model informasi publik, sedangkan organisasi komersial cenderung menerapkan model komunikasi dua arah dalam praktik kehumasan. Di Indonesia, dengan berkembangnya demokrasi, komunikasi dua arah antara humas pemerintah dan dunia usaha telah tercapai. Komunikasi dua arah adalah model yang dicirikan oleh peran manajerial dan merupakan indikator praktik hubungan masyarakat yang efektif.
Temuan-temuan penelitian-penelitian terdahulu di atas perlu diperluas dengan mengkaji secara khusus aktivitas kehumasan yang berkaitan dengan isu gender. Tujuannya untuk memperkaya penelitian kehumasan dalam konteks Indonesia yang masih didominasi penelitian Barat. Peran alat kehumasan juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan secara komprehensif temuan-temuan terkait isu gender dalam praktik kehumasan. Alasan lain perlunya penelitian pendahuluan adalah ketika penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1984, Indonesia belum memasuki era demokrasi. Era reformasi baru yang terjadi pada tahun 1998 membuka pintu demokratisasi di Indonesia, dan demokrasi diyakini akan mendorong para praktisi humas untuk memberikan informasi secara terbuka karena demokrasi mendorong masyarakat untuk aktif mencari informasi dibandingkan hanya menerima informasi secara pasif.
Berbagai penelitian menemukan bahwa perempuan mendominasi tenaga humas namun tidak diterapkan secara optimal dalam peran manajerial. Misalnya di Amerika, status dan peran perempuan masih berada di bawah laki-laki, yakni praktisi laki-laki masih mendominasi posisi puncak di departemen humas. Hal serupa juga terjadi di Asia, Australia, dan Eropa yang selama ini laki-laki berada di posisi teratas. ditemukan lebih dapat dipercaya. Jumlah orang yang menempati posisi manajemen lebih banyak dibandingkan perempuan. Mempelajari buku teks menemukan bahwa buku teks yang ditulis oleh perempuan berkontribusi lebih besar pada pekerjaan teknis, sementara laki-laki berkontribusi lebih besar pada peran manajerial seperti konsultasi, pengambilan keputusan, dan menjadi bagian dari kelompok koalisi dalam organisasi.
Beberapa penelitian di atas menyimpulkan bahwa humas sebagai profesi yang gender seringkali mempunyai konotasi negatif bagi praktisi perempuan. Tampaknya praktik humas juga mencakup hal ini.
Relasi kekuasaan terkait dengan gender, dan di sebagian besar perusahaan, praktisi laki-laki memegang kekuasaan dalam koalisi dominan, sementara perempuan dipandang mewakili kelemahan, irasionalitas, ketidakberdayaan, dan lebih emosional. Perbedaan gender dan perbedaan peran yang menimbulkan ketidaksetaraan gender menimbulkan stereotip terhadap perempuan dan laki-laki, domestikasi, marginalisasi dan subordinasi perempuan, beban berat terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual.
Dapat dikatakan bahwa peran antara praktisi laki-laki dan perempuan dibentuk oleh sudut pandang laki-laki yang dominan dalam organisasi karena menurut mereka, maskulinitas dan feminitas dikonstruksi melalui komunikasi dalam organisasi. Misalnya, nyatakan bahwa "manajer yang baik adalah manajer yang agresif, berwibawa, tegas, dan adil dia tidak feminim". Di Indonesia, praktik humas merupakan industri feminis yang menekankan keindahan (penampilan) dan kekuasaan. Ketertarikan adalah inti dari praktik hubungan masyarakat. Namun kenyataannya, peran dalam praktik humas bisa saja dilakukan baik oleh praktisi laki-laki maupun perempuan. Salah satu dari sepuluh prinsip humas yang baik, yaitu keberagaman peran, diperkenalkan dengan menekankan pada penghindaran diskriminasi gender, ras, dan etnis dalam praktik humas. Praktik humas tidak boleh ditentukan oleh daya tarik fisik tetapi juga harus menonjolkan pengetahuan, keahlian dan etika.
Selain itu, di Indonesia, peraturan mengenai kehumasan juga tidak membeda-bedakan manajemen hubungan masyarakat berbasis gender. Hal ini diatur dalam Peraturan Permenpan-RB Nomor 30 Tahun 2011 tentang Manajemen Hubungan Masyarakat Pada Instansi Pemerintah. Hal ini juga tertuang dalam kesepakatan bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Lembaga Berwenang Nomor 41 Tahun 2007, Nomor 373/M.Kominfo/8/2007, Nomor KB/ 01/M.PAN/8/2007 Terkait dengan revitalisasi fungsi kehumasan pada instansi pemerintah, seluruh instansi tersebut tidak membeda-bedakan praktisi berdasarkan gender. Pernyataan di atas berkaitan dengan penelitian yang menemukan bahwa perempuan mempunyai peran ganda, baik di ranah publik maupun di ranah domestik sehingga perempuan dianggap memiliki kepemilikan. Kemampuannya sama dengan laki-laki.
Lebih lanjut, era demokrasi di Indonesia harus mampu mengurangi diskriminasi gender karena demokrasi merupakan sistem yang membangun peran dan partisipasi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, demokrasi mendorong aktivitas komunikasi dengan masyarakat yang semakin bersifat kritis. Komunikasi dengan masyarakat merupakan tanggung jawab praktisi humas, sebagai suatu kegiatan pengelolaan komunikasi internal maka dapat dikatakan bahwa "humas adalah manajemen kredibilitas".
Situasi ini menuntut praktisi humas untuk memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Meskipun praktisi laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan yang sama untuk memiliki kemampuan ini, praktisi perempuan dipandang lebih mampu berbicara, lebih menarik, lebih mampu membangun hubungan, melakukan banyak tugas, dan lebih mampu bernegosiasi.
2. METODE PENELITIAN