Saya baru saja memulai kuliah ekstensi saya di salah satu universitas swasta di Jakarta. (Kuliah ekstensi = dari D3 ke S1, hanya 4 semester) Pandemi terjadi ketika saya baru saja memulai Semester 2. Hanya sempat 2 kali pertemuan, sampai akhirnya kita diperintahkan untuk #dirumahaja.
Menjadi sebuah kehormatan sebenarnya, untuk bisa menjadi salah satu mahasiswa yang merasakan Kuliah Daring ini. Awalnya yang saya rasakan, dan juga menurut saya mahasiswa lain juga rasakan adalah, kita meremehkan Kuliah Daring ini. Tidak seserius ketika Kuliah Offline.
Toh wajar saja, yang tadinya kita harus di ruang kelas, berhadapan langsung dengan dosen, duduk di salah satu kursi entah di depan, tengah atau belakang, berusaha sehati-hati mungkin untuk melalui kelas tanpa membuat onar.Â
Tiba-tiba harus berubah, dengan ruang kelas hanya menjadi ruang online di perangkat gadget. Tidak harus repot-repot berangkat pagi-pagi, menyusuri jalanan Jakarta, untuk bisa sampai tepat waktu. Tinggal log in, dan mulai.
Dengan perubahan yang sangat cepat, kampus berusaha semaksimal mungkin untuk beradaptasi dengan sistem baru ini. Ada dosen yang dengan sendirinya inisiatif untuk melayani mahasiswa dengan sebagai mana mestinya, namun juga ada dosen yang terlihat masih gaptek dan susah untuk menyesuaikan. Tidak jarang mahasiswa merasa kebingungan sendiri, karena dosennya sendiri juga tidak tegas.
Awalnya, dosen tidak terlalu mewajibkan mahasiswanya untuk menyalakan kamera. Sehingga mahasiswa jadi bisa seenak jidat, seperti misalnya hanya log in saja, tapi dibalik itu ia rebahan, tidur, nonton, main. Sama sekali tidak memperhatikan dosen. (Saya pun juga salah satunya).Â
Kita semua merasa bangga dengan "ke-rebel-an" kita. Namun, setelah 1 semester berlalu dan melihat Kartu Hasil Studi, saya merasa... sangat menyesal.Â
Nilai saya menurun. Dan saya juga merasa tidak "dapat" apa-apa. Saya sempat berencana untuk cuti sampai keadaan sudah membaik. Saya tidak ingin lulus S1, tanpa ada pembelajaran yang diambil.
Namun, siapa yang harus saya salahkan? Memang sulit untuk belajar seperti ini. Saya yakin dosen-dosen, pihak kampus, berusaha untuk beradaptasi dengan situasi yang tidak diinginkan ini. Dan saya juga sadar bahwa uang kuliah saya masih sama seperti ketika saya kuliah offline.Â
Tapi, kenapa saya jadi merasa tidak mendapatkan esensi kuliah, hanya karena berpindah ke layar kaca? Di antara mahasiswa dan dosen, bukan dosen yang rugi kalau kita tidak memperhatikan.Â
Ketika Semester 3 di mulai, saya berultimatum pada diri sendiri, untuk berubah. Untuk tetap memaknai kuliah online sebagaimana saya memaknai kuliah offline.Â
Datang tepat waktu, duduk di kursi, mendengarkan, berinteraksi dengan dosen, dan meminta hak mahasiswa. Bila ada dosen yang tidak memberikan kelas online, saya akan mengejar dosen tersebut. Saya tidak mau uang orang tua saya sia-sia.Â
Lambat laun, saya mulai menyukai kuliah online ini. Biasanya saya harus menyetir jam 6 pagi, sekarang saya bisa bangun jam 6.30 untuk kelas jam 7.00.Â
Saya tidak harus berebut kursi di paling depan. Saya bisa curi-curi mendengarkan ceramah sambil makan. Saya bisa membuat kopi di tengah-tengah ujian, ketika saya mulai mengantuk. Saya bisa mendengarkan lagu, ketika saya mulai tidak fokus. Dan yang terbaik: Saya bisa mendengarkan ulang rekaman kelas setelah kelas berakhir.
Saya merasa saya akan seterusnya kuliah online sampai saya lulus. Jadi, why don't we enjoy the ride?
Good luck untuk semua mahasiswa yang sedang berjuang untuk mendapatkan gelar di dalam keadaan seperti ini. Kuliah online bukanlah alasan untuk tidak belajar. Jangan rugikan dirimu sendiri!
Arissa Purilawanti
Cibubur, 16 November 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H