Di era globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, masyarakat mengalami perubahan yang ekstrim dalam berbagai aspek kehidupan. Contoh seperti AI (Artifical Intelegence) yang menggantikan mahasiswa dalam menulis skripsi dan berbelanja hanya beberapa kali tap dalam layar gawainya. Disaat yang sama lama-lama manusia semakin tidak tahu malu dan bersyukur terhadap pemberian Tuhan tersebut. Toh buktinya hanya sedikit yang mengucap Alhamdulillah disaat skripsi buatan AI dan cicilan paylater nya lunas. Ya kan? Iyalah zaman sekarang mahasiswa mana yang tidak menggunakan AI? Toh kalau tidak iapun menjiplak format dan latar belakang dari judul skripsi yang sama.
Mungkin para dosen penguji sudah bosan menemukannya.
Seperti yang kita tahu bahwa iman adalah keyakinan terhadap sang Pencipta, dalam hal ini Tuhan atau bagi umat muslim yaitu Allah SWT. Di semua agama iman adalah hal dasar yang harus diyakini sedari lahiriah dan batiniah dimana meyakini bahwa ada Tuhan dibalik kehidupan yang mengatur segala urusan. Dari kita mengimani inilah yang menjadikan kita aman, tentram serta bahagia dalam melakukan sesuatu.
Dikutip dari buku Islamologi karya Maulana Muhammad Ali, akar katanya berasal dari kata amana yang mengandung arti percaya. Jika digunakan menurut wazan transitif artinya menganugerahkan ketentraman atau perdamaian. Sementara itu, iman menurut istilah disebut sebagai keyakinan bulat yang dibenarkan oleh hati, diikrarkan oleh lidah, dan dilaksanakan dengan perbuatan yang penuh keyakinan. Tanpa adanya sedikitpun keraguan mengenai ajaran yang datang dari Allah SWT dan Rasululah SAW.
Sementara menggoyahkan berasal dari kata goyah. Dalam KBBI goyah berarti tidak teguh; tidak tetap (tentang pendirian, keyakinan, kedudukan, dan sebagainya. Jadi iman yang goyah adalah kepercayaan terhadap ajaran yang datang Allah SWT dan Rasulullah SAW tidaklah diyakini dalam hati, diucapkan dalam perkataan dan tidak melaksanannya. Lantas seberapa bahaya ketika iman kita goyah?
Jika kita melihat era sekarang dimana segala hal yang dulunya tabu dan negatif mulai memudar, seolah-olah dibenarkan dalam perbuatan dan menjadi kebiasaan yang umum dalam masyarakat. Banyak contoh dan kasus yang sering kita lihat dalam berita di medsos seperti perzinaan, pembunuhan, korupsi, kolusi dan nepotisme ala rezim yang katanya pro demokrasi itu. Kita seolah-olah membenarkan kejadian yang tidak seharusnya dilakukan oleh (katanya) manusia yang insan kamil atau uswatun khasanah dalam kehidupan.
Barangkali kalau boleh saya berpendapat apa yang mendasari manusia berbuat seperti itu adalah krisis keimanan dan spiritualitas. Dimana teknologi telah membawa habbit atau kebiasaan baru dalam memandang dunia yang menggeser nilai-nilai ketauhidan. Bisa kita lihat bahwa internet telah memperdaya kita dengan konten-konten yang tidak jelas manfaatnya, hanya sekedar joget-joget dan membuat trend yang tidak penting yang kita lihat sehari-hari. Tak jarang konten tersebut meragukan bahkan bertentangan dengan kepercayaan kita.
Jauhnya bagai planet Mars teknologi bisa mengubahnya sedekat kita yang dulu. Begitupun teknologi mengubah pandangan cara beribadah dan menjalankan ajaran agama. Misalnya kemunculan isu-isu seperti kebebasan seksual, pernikahan sesama jenis, dan hak untuk memilih agama atau tidak beragama telah menimbulkan dilema moral dan spiritual bagi banyak orang. Semua itu disebabkan oleh liberasisasi seperti harga beras enak yang mahal.. eeh bukan. Maksud saya liberalisasi yang mana seringkali masyarakat mengartikan kebebasan hak asasinya disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas.
Alhasil kesimpulannya dari ghibah online ini adalah perkembangan teknologi dan pemisahan agama dalam kehidupan membawa perubahan termasuk dalam keimanan manusia. Pengaruh negatif dari konten-konten yang tidak jelas asal-usulnya, konten yang tidak mengingatkan akan azab neraka seperti film Indosiar seta kebiasaan baru masyarakat yang 'persetan' dengan aturan iman karena tidak ingin ketinggalan trend tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang sederhana yang mudah dipahami oleh gen z dan alpha sesuai perkembangan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H