Bulan Ramadan merupakan momen yang sangat penting bagi umat Islam dunia, termasuk Indonesia. Memasuki Bulan Ramadan, terdapat beragam tradisi dan kegiatan unik yang sudah dilakukan secara turun-temurun di Tanah Air, termasuk di Jawa Tengah. Jelang Ramadan, masyarakat Jawa Tengah merayakan dengan beragam tradisi, salah satunya tradisi Nyadran.Â
Momen ini dipenuhi dengan ziarah kubur, membersihkan desa atau makam, selamatan, makan bersama, hingga sedekah bumi. Beberapa wilayah di Jawa Tengah bahkan pernah menggelar selamatan massal untuk merayakan datangnya Ramadan. Nyadran bukan hanya eksklusif untuk Jawa Tengah, tetapi juga dilakukan di Jogjakarta, sejumlah daerah Jawa Timur, hingga Lampung.Â
Tradisi selanjutnya adalah 'subuhan', khususnya anak muda di Banjarnegara. Subuhan merupakan istilah yang biasa digunakan untuk kegiatan jalan-jalan usai salat subuh berjamaah di masjid. Mereka seringkali melakukan kebiasaan ini dengan berkeliling jalan kaki sampai perbatasan desa. Ini dilakukan untuk menghabiskan waktu selama menjalankan ibadah puasa.Â
Kebiasaan berkumpul bersama teman sebaya ini memang sudah menjadi tradisi khas di desa-desa dimana didukung dengan udara dan dinginnya pagi hari menjadi suasana yang pas. Selain subuhan ada tradisi lain yakni membangunkan sahur yang biasa dijumpai ditiap desa atau dusun, bisa dikemas menjadi aksi yang lebih kreatif dan atraktif. Seperti drum band dengan lagu yel-yel dari sepakbola bahkan shalawatan dengan alat ala kadarnya.
Setelah tradisi nyadran dan subuhan, ada juga bermain botol tembak berbahan bakar 'spirtus' yang dirakit dari kaleng dan botol minuman yang menghasilkan suara tembakan jika disemprotkan spirtus didalamnya. Umumnya permainan ini menjadi paket lengkap dalam tradisi subuhan tadi. Dimana mereka jalan-jalan sembari memainkan botol tembak tersebut.Â
Dan tahun ini ada tren baru dimana ada tren war takjil dimana kaum nonis ikut berburu takjil bahkan dengan memborongnya di jam tiga sore. Wah wah ini menandakan bahwa negeri ini sangat kaya akan humor yang positif.Â
Tapi apakah di bulan Ramadan ini semuanya positive vibes? tentu tidak. Bagaimana kita dengan cepat mendengar berita tidak enak seperti banyaknya perang sarung dan anak-anak tertangkap basah makan siang saat puasa. Tentu ini menjadi perhatian khusus bagi masyarakat dimana kontrol sosial belumlah terjadi, apalagi membiarkan anak-anak remaja tanggung begadang sampai pagi dengan acara yang tidak jelas dimana ada kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang bisa merugikan diri-sendiri dan orang lain. Lantas semenjak kapan ada tradisi perang sarung saat ramadan?
Jika ditilik dari sejarah perang sarung dulunya digunakan hanya sebagai sarana hiburan sesama teman sebaya, tetapi kian kemari dimanfaatkan para remaja sebagai ajang pertikaian antarkelompok. Perang sarung saat ini berubah menjadi jenis tawuran yang memakai alat berupa kain sarung yang diikat pada bagian ujungnya yang diisi dengan batu, gir motor atau senjata tajam yang biasanya dilakukan pada bulan Ramadan.Â
Ramai berita di media sosial bahwa polisi mengamankan sejumlah pemuda yang hendak melakukan perang sarung di beberapa daerah. Jika sudah terjadi tentu menimbulkan sejumlah korban yang harus mendapatkan perawatan medis dan itu nyata. Tentu kita tidak ingin terjadi maka dari itu perlu ada asesmen oleh pihak berwenang terhadap anak-anak dan orang tua, untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mendasari perilaku anak dalam terlibat perang sarung.Â
Perang sarung yang telah menjadi tradisi di bulan Ramadan kini menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Perlu adanya langkah konkret untuk mencegah peristiwa ini berulang di masa mendatang, demi menjaga keselamatan dan kesejahteraan anak-anak serta remaja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H