Karena hari ini saya melihat berita dari kompas terkait penghapusan aturan mewajibkan penggunaan jilbab di SMKN 2 Padang. Pemberitaan itu didasari karena adanya kasus seorang siswi non muslim yang dipaksa untuk mengenakan jilbab. Kasus ini mengingatkan saya terhadap tulisan yang pernah saya buat kurang lebih 5 tahun yang lalu. Dan berikut ini adalah tulisannya. Dimohon untuk dibaca sampai tuntas ya agar tidak terjadi salah paham
Islam merupakan sebuah agama yang mempercayai paham monoteisme yang artinya adalah percaya hanya ada satu tuhan yang patut untuk dipuja, sedangkan agama sendiri dalam perspektif antropologi adalah sistem gagasan yang mengajarkan pemikiran manusia untuk taat kepada tuhan, sistem gagasan ini dibentuk oleh manusia terdahulu yang akhirnya saat ini banyak terdapat gerakan yang "bersimbol" agama, karena memang mereka menganggap bahwa sistem gagasan sudah tidak relevan untuk keadaan saat ini. Dan dalam sosiologis pun dijelaskan bahwa agama itu merupakan sistem kepercayaan yang akhirnya diwujudkan dalam perilaku manusia karena memang dengan kitab suci yang ada bagi seluruh agama tersebut pada intinya adalah untuk mengatur kehidupan manusia guna memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani (Dadang Kahmad; 2000). Ketika akhirnya agama adalah untuk mengatur perilaku manusia, maka barang tentu seluruh agama itu mengajarkan kebaikan, dan bisa dikatakan bahwa jika manusia itu beragama maka manusia itu akan teratur dalam kehidupannya. Pada intinya agama merupakan kebudayaan dari masyarakat, yang artinya adalah hasil cipta, karya, dan karsa yang diciptakan oleh manusia ( selo soemardjan dan soelaeman soemardi )
Kita juga mengetahui bahwa di Negara Indonesia sendiri ada beberapa agama yang di legalkan oleh negara sendiri yaitu, protestan, katolik, hindu, budha, islam, dan yang terakhir dilegalkan adalah konghucu. Karena memang dalam perumusan dasar serta ideologi negara pun tidak ada secara tersurat bahwa negara Indonesia ini mengedepankan salah satu agama, bahkan dahulu dalam perumusan sila pertama pun dahulu terjadi kontroversi karena dianggap mengedepankan salah satu agama yaitu islam, namun memang secara tersirat negara menganjurkan untuk manusia itu mempunyai agama.
Pada realitasnya agama yang ada saat ini seakan menjadi pengatur dalam pemerintah dan pengambilan kebijakan, karena saat ini para pemangku kebijakan saat ini dikuasai oleh salah satu agama yang seakan menjadi superior, dengan data muslim sebanyak 87,2 %, protestan 6,9 %, katolik 2,9 %, hindu 1,7 %, budha 0,7 %, dan konghucu 0,05% ( sensus pendudukn 2010 ). Bahkan dalam gramsci dikatakan negara itu dibentuk oleh kelas dominan guna melanggengkan kepentingan kelas tersebut, dan akhirnya saat ini berdampak dalam kebijakan yang ada bahwa kebijakan yang saat ini banyak dikeluarkan seakan menyatukan masyarakat seakan dalam satu kelompok yaitu islam. Hal ini dianggap bahwa para pemuat kebijakan masih memandang kebudayaan sebagai parsial, artinya mereka harus menjaga kebudayaan tersebut yang mengesampingkan aspek interaksi antar kelompoknya yang akhirnya akan timbul monisme. kebijakan yang ada dalam ranah terdekat adalah dalam institusi pendidikan seakan menyudutkan pemeluk agama non muslim dengan adanya kebijakan dari Sekolah Negeri untuk mengaji tiap hari senin pagi setelah upacara bendera serta perempuan muslim harus menggunakan jilbab ketika di sekolah. Hal ini tentu tidak etis ketika dalam ranah pendidikan pun yang mengajarkan tentang menghargai perbedaan dan menjauhkan apa yang kitu sebut SARA, namun dalam prakteknya menyudutkan agama lain. Padahal dalam konsep multiklutralisme itu tidak bisa dipandangn sebagai penghalang untuk mengekspresikan budayanya, namun menghargai adanya perbedaan dari identitas tersebut, ketika kita menelisik kasus yang terjadi di Sekolah Negeri tersebut, itu tergambar dengan jelas bagaimana sekolah seakan menjudge bahwa orang yang tidak berkerudung itu non muslim ( padahal dia menjalankan ritual keagamaan muslim ), serta mewajibkan seluruh anak untuk mengaji, ini tentu juga akan berdampak secara psikologis siswa dan berdampak pada pandangan siswa mengenai institusi sekolahnya. Tapi sayangnya adalah agama lain seakan terbuai oleh segala hasil kebijakan yang telah dikeluarkan, hal ini sejalan dengan konsep hegemoni yang dicetuskan oleh gramsci dimana kaum minoritas diserang secara halus melalui kebudayaan yang dikenalkan oleh kaum mayoritas. Institusi pendidikan yang harusnya berperan untuk mencerdaskan manusia serta manusia itu terbuka pemikirannya ketika melihat perbedaan serta untuk mengakomodir segala perbedaan yang ada dalam dunia pendidikan tersebut justru mengedepankan pihak lain. Dengan hal ini maka kaum islam sebagai kaum mayoritas seakan menjadi kaum yang ingin menguasai kaum lainnya dengan budaya yang mereka sebar. Padahal ketika kita melihat sesuatunya itu mempunyai perbedaan kenapa tidak mengucapkan salam dari berbagai agama lain, atau bahkan dengan menggunakan salam yang lebih plural misalnya ( selamat pagi ) itu tidak akan menyulut konflik horizontal dari pihak yang lain. Logikanya adalah ketika dalam dunia pendidikan yang isinya memang kam intelektual saja masih terdapat hal-hal yang menyudutkan salah satu dari unsur SARA, apalagi didalam masyarakat yang memang komposisinya sanat beragam, wajar apabila produk dari pendidikan yang saat ini menjadi para pemangku kebijakan tersebut yang sedikit bias karena memang tidak adanya contoh yang objektif dalam dunia pendidikan tentang pluralisme itu.Â
Maka dari itu bagi kelompok minoritas haruslah memiliki pemahaman mengenai multikulturalisme yang tepat bagi Indonesia, untuk melakukan counter hegemoni pada kelompok dominan dengan mengenalkan budaya yang lebih plural, apalagi dalam institusi pendidikan isinya adalah kaum intelektual yang tentu seharusnya menjadi motor penggerak bagi terjadinya counter hegemoni tersebut. Setidaknya ketika dalam institusi pendidikan sudah tergambarkan secara jelas dalam teori maupun praktek tentang pluralisme, maka produk pendidikan tersebut dapat menggunakanya dalam konteks yang lebih luas yaitu dalam masyarakat. Â Dengan dilakukannya counter hegemoni tersebut barang tentu akan menemui suatu hambatan dari kelompok dominan, yang pada akhirnya dia akan mempersiapkan perlawanan untuk kaum tersebut, namun kelompok minrotas disini mempunyai landasan yang jelas dengan adanya pancasila yang tidak menyudutkan salah satu ideologi. Dan dengan demikian ketika institusi pendidikan sudah mampu mencipatakan kultur yang tidak berpihak pada salah satunya, maka konflik horizontal dapat diminimalisir karena pada nantinya produk pendidikan yang saat ini menjadi penerus pemangku kebijakan kedepannya. Dan untuk mengahadapi kebijakan yang sedang terjadi, maka haruslah kebijakan itu harusnya dihapuskan guna menghargai segala perbedaan yang ada dalam institusi pendidikan tersebut, serta kebijakan yang pada akhirnya menjadi budaya berdoa dengan model budayanya sendiri lebih mengakomodir perbedaan itu sendiri.
Sebagai catatan dari saya: pada intinya saya berbicara tentang bagaimana kebijakan yang keluar dari pemerintah dalam mengatur tingkah laku dan kegiatan di sekolah ini harus bisa lepas dari tindakan diskriminatif bagi setiap kelompok karena sejatinya sekolah adalah inkubator bagi pembentukan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H