Mohon tunggu...
Aris Perdana Panggabean
Aris Perdana Panggabean Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Light of the world, salt of the earth | @arisperd

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Istirahatlah, Habib!

30 Januari 2017   01:52 Diperbarui: 30 Januari 2017   04:18 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belasan tahun sejak ia dihilangkan, puisi-puisi Thukul tidaklah lekang. Kata-katanya berlipat ganda dalam film-film, diskusi-diskusi, lagu-lagu dan kicauan-kicauan di media sosial.

Thukul berjuang bukan untuk diri sendiri dan kelompoknya saja. Sebagaimana dalam puisi Tentang Sebuah Gerakan, Thukul mengganti kalimat ‘aku butuh rumah’ menjadi ‘setiap orang butuh tanah.’ Ingat: Setiap orang!

Kini, Wiji Thukul tak diketahui rimbanya. Thukul melawan, Thukul dihilangkan. Mungkin dia sudah tersenyum di taman surga, tempat yang selalu diucapkan dalam bait doa kerabat dan sahabat untuk dirinya: sang idola. Wajah Thukul, lengkap dengan rambut keriting dan perban di mata kanannya, senantiasa menghiasi poster dan kaos-kaos hasil kreasi mereka yang melawan. Wajah yang diharapkan mampu menularkan keberanian.

Cukup sampai di situ perkenalan singkat dengan Wiji Thukul. Tak cukup waktu untuk menjelaskan perih perjuangan panjangnya. Kini Indonesia punya idola baru. Rizieq Shihab, sang pengawal fatwa. Ia semakin banyak diperbincangkan, sebanyak kata-kata yang ia utarakan.

Rizieq, sebagaimana Thukul, juga dikagumi oleh banyak orang, termasuk di antaranya kaum muda. Keduanya sama-sama tampil berani melawan rezim yang tengah berkuasa. Agitasi dan orasi dari mereka (Thukul dan Rizieq) bisa meluncur mulus melewati telinga hingga mendarat sempurna di dinding hati masing-masing pengagumnya.

Thukul melawan, Rizieq melawan. Thukul berani, Rizieq berani. Thukul dikagumi sekaligus dibenci sebagian orang, pun demikian dengan Rizieq. Ada banyak lagi kesamaan di antara mereka, atau beberapa lagi, kalau tak mau disebut banyak ... sampai kita membahas landasan serta gaya perlawanan keduanya.

Rizieq berjuang untuk seluruh kelompoknya, kelompok yang dalam setiap kalimatnya disebut dengan ‘seluruh umat muslim Indonesia’. Mudah bagi kita untuk mengidentifikasi musuh Rizieq. Selain rezim yang tengah berkuasa, non muslim dan (keturunan) PKI, adalah kelompok yang sangat Rizieq benci. Kebencian tersebut dimanifestasikan secara nyata dalam orasi dan ceramahnya.

Lain Rizieq, lain Thukul. Thukul berpuisi untuk buruh, petani, nelayan, seniman, anak jalanan dan mereka yang tertindas, apapun agamanya. Kata-katanya menggaung ke pelosok negeri lintas generasi. Ke telinga orang cina, orang ambon, orang papua, penganut khilafah, liberal, komunis dan berbagai latar belakang lainnya.

Thukul dan mereka yang tertindas, adalah bunga-bunga yang menyebar di tembok istana penguasa. Keyakinannya selalu sama, tirani harus tumbang. Bagi mereka yang sudah ‘mengenal’ Thukul lebih dulu, tentu tak butuh penjabaran berlebih untuk sekedar membedakan idealisme ala Rizieq Shihab dan Wiji Thukul.

Andai Wiji Thukul masih hidup. Bisa jadi ia akan membacakan beberapa syair lamanya atau mungkin puisi-puisi baru, di Petamburan. Di mana Rizieq adalah imam besarnya.

Andai benar Kanjeng Wiji Thukul masih hidup, saya sangat ingin bertemu. Menitip puisi untuk beliau bacakan di Petamburan. Puisi yang sudah ia bacakan sendiri di pertemuan kami semalam. Dalam mimpi yang terasa nyata itu, Thukul bilang:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun