Kubur Ibuku
Oleh: AK Basuki
Aku tak pernah mengenal ibuku. Seumur hidup, sejak mataku mulai terbuka. Sekadar potret atau sesuatu yang dapat menjadi penandatentangnya pun tak ada.Tapi setidaknya, aku tahu dan yakin bahwa dia memang pernah ada dari jawaban Ayah yang itu-itu saja.
“Ibumu sudah di langit.”
Itujawabnya selalu, sejak pertanyaan pertamaku. Mungkin benar di langit, tetapi langit yang mana? Bukankah langit berlapis tujuh? Atau benarkah ada langit yang lain, karena tak pernah kutemukan setiap lapisannya biarpun telah sering kupandangi dan kuukur panjang lebarnya dengan jari-jariku. Langit hanya satu dan itulah yang kutahu. Tak ada yang lain, apalagi berlapis.
Karena tahu bahwa Ayah tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentangnya, akhirnya aku hanya bisa membayangkan wajah Ibu yang cantik seperti bulan berbingkai langit malam yang maha luas. Setiap malam aku berdiri di depan jendela kamar untuk mengucapkan selamat malam sebelum tidur, sepertibenar-benar kuucapkan padanya. Hal yang selalu kulakukan dan menjadi kebiasaan bagiku semenjak dahulu sampai sebuah cerita dalam versi yang lain dari bisik-bisik dan ejekan teman-teman sepermainanmampir di telingaku.
“Kau tak punya ibu karena kau dipungut ayahmu dari tong sampah!”
“Ibumu malu melahirkanmu sampai-sampai kau dibuangnya!”
“Anak haram! Anak haram! Anak haram!”
Begitulah macam-macam yang kudengar dari mereka dan membuatku sedikit ragu akan keyakinanku. Walaupun kata-kata ejekan itu akan keluar hanya jika terjadi perseteruan antar anak-anak yang biasa, tapi tetap saja itu tertanam dalam-dalam di hati dan membuatku berpikir bahwa mereka yang mengejekku demikian pastilah pernah mendengar apa yang membuat mereka terilhami untuk mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu. Setidaknya dari orang tua mereka yang pastilah tahu akan sejarah hidup ayah dan ibuku.
“Ibumu sudah di langit,” Ayah menegaskan lagi jika kemudian aku mengadu, seperti mempunyai alasan mengambil hakku untuk mendapatkan jawaban sebenarnya. Kupikir memang ada yang dia sembunyikan, khawatir aku tidak akan mampu menanggungnya. Sesuatu yang beratkah? Jika memang berat, bukankah lebih baik diungkapkannya? Tahukah Ayah, semakin bertambahnya usia membuatku mampu lebih baik dalam berpikir dan tak lagi menghitung lapisan langit?
Apa Ibu memang sudah mati? Atau adakah yang lebih berat selain kematian? Adakah?
*****
Ejekan-ejekan yang memanaskan telinga dari kawan-kawan sepermainanku itu terus terang membuatku malas bergaul dan jadi lebih suka menyendiri. Imbasnya, bermacam-macam benda mati seperti batu, kayu, sepatu sampai plastik pembungkus makanan ringan kuajak bicara dan bermain.
Aku bisa berbicara dengan sebuah batu yang kuanggap sebagai teman sepermainanku yang bermulut paling kotor, mengurapi tanah ke seluruh permukaannya, menuduhnya keras kepalalalu menghantamnya dengan batu yang lain sehingga terbelah dan aku tertawa senang. Pernah pula aku membuat sebuah batang pohon mati yang kupungut dari tepi sungai di belakang rumah menjadi lelaki tua yang berjalan dengan tongkatnya karena rantingnya yang menjuntai hingga ke tanah, mengajaknya bicara, bahkan berlomba lari!
Ayah bukan tidak tahu dengan kelakuanku, tapi kupikir dia memang lebih baik diam saja. Aku tahu, dia sering mengamatiku dari kejauhan sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu dengan tanpa bicara dia hanya akan berlalu begitu saja, berakhir pada tuts-tuts piano memainkan melodi dari kedalaman hatinya.
Kupikir pada saat itulah dia akan menjadi iba denganku dan akan segera menceritakan segala yang ingin kuketahui tentang Ibu, tapi nyatanya tetap saja jawaban tentang langit itulah yang masih terdengar.Aku menjadi muak. Ada di langit berarti mati, bukan? Apa salahnya menceritakan padaku jika memang Ibu telah mati?
Maka, di puncak kemarahan dan kekesalanku pada Ayah, kubuat sebuah gundukan tanah yang besar di belakang rumah lalu meletakkan sebuah batu sebesar kepala orang dewasa di atasnya. Ya, aku kini mempunyai kubur buat ibuku. Jelas dan pasti. Itulah kubur ibuku dan itu jauh lebih baik daripada mengetahuinya sudah berada di langit sementara aku tak mampu menjangkaunya. Di kubur buatanku ini aku seperti bisa mengajaknya berbicara dan mengadukan apapun yang ingin kuadukan tanpa merasa ragu dan malu. Toh ini kubur ibuku, siapa yang mau menyangkalnya?
Setiap hari aku berada di sana, di hadapan gundukan tanah itu, sepulang sekolah hingga senja menjelang. Selalu kusirami permukaannya dengan air teh dan kutebar bunga-bunga. Semua semata-mata sebagai ungkapan perasaanku tentang Ibu biarpun hanya berupa perlambang saja.
Ayah memang belum tergerak, tapi dia jadi banyak bertanya tentang hal-hal yang menurutku tidak perlu lagi ditanyakannya.
“Apa kau sangat merindukannya?” tanyanya suatu kali.
“Bagaimana rindu kalau aku tak mengenalnya sama sekali?” jawabku sedikit menantang.
“Kau memang ingin sekali Ayah bercerita tentangnya?”
“Tidak. Aku tahu Ibu sudah di langit, buat apa lagi ayah menceritakan tentangnya?”
“Hm, kau memang sudah semakin besar.”
“Ayah baru menyadarinya?”
Dia lalu mengakhiri pembicaraan kami itu dengan menggantung seperti biasanya. Aku pun punya unjuk rasa sendiri: saat dia mengusap kepalaku dan akan mencium pipiku, aku mengelak.
Aku sangat menyayangi ayahku, tapi keadaannya yang demikian benar-benar tak bisa kumengerti. Apakah sebuah nyeri yang mencekam akan melandanya jika sedikit saja bercerita tentang Ibu? Apakah ada yang disembunyikannya dan tidak patut untuk kuketahui?
Di umurnya yang baru akan memasuki pertengahan tiga puluh, dia merawatku sendirian. Mungkin tidaklah benar-benar sendiri, karena ada Kakek, Nenek, juga beberapa pengasuh yang datang dan pergi, tapi itu dulu. Di umurku yang hampir sepuluh tahun ini, kami telah benar-benar hidup berdua. Aku telah terbiasa mengerjakan apapun sendiri, sementara Ayah tidak perlu kuatir saat dia harus berkutat dengan kesibukannya. Untunglah, sebagai seorang musisi pencipta lagu, dia tidak perlu bekerja di luar rumah. Cukup dengan beberapa batang rokok dan ketahanan tubuh duduk berjam-jam di depan piano, jadilah partitur-partitur yang akan berubah menjadi uang. Lalu orang-orang akan berbondong-bondong mencarinya, memintanya membuatkan lagu-lagu yang lain.
*****
Suatu hari aku melihat ayahku menerima beberapa orang di serambi rumah. Mereka tampak terlibat dalam pembicaraan yang serius. Aku tidak mengerti apa, tetapibisa menduga bahwa itu adalah sesuatu yang sangat membuat ayahku tak mampu tersenyum, bahkan sampai saat melepas mereka pergi kemudian.
Aku bergegas menghampiri dan menanyakan tentang mereka.
“Marilah, Ayah akan bercerita. Dengarkanlah tanpa menyela. ”
Lalu tidak seperti biasanya, tanpa kutanya terlebih dahulu, berceritalah Ayah tentang apa yang benar-benar disimpannya dariku. Semua tentang ibuku.
Ibu memang di langit, tetapi tidaklah seperti dalam benakku selama ini. Itu hanya jawaban termudah Ayah atas kebingungannya menghadapi pertanyaan-pertanyaanku. Kata Ayah, berada di langit berarti bahagia berhasil mencapai apa yang diimpi-impikan. Itulah yang terjadi pada Ibu karena dia meninggalkan kami berdua demi karirnya sebagai penyanyi!
Betapa menyakitkan, tapi anehnya itu tidak membuatkumembencinya.Cerita kepedihan Ayah justru tertutup oleh kebahagiaanku mengetahui bahwa Ibu ada dan tidak mati seperti yang kuciptakan dalam perlambang yang kubuat dengan kuburnya.
“Kami tak pernah menikah, tapi kelahiranmu tak bisa tertolak. Dia membiarkan Ayah mendapatkanmu, menukarmu dengan impiannya. Kini popularitasnya terancam karena merebak cerita tentang kita dan dia meminta untuk bertemu denganmu.”
Aku melonjak kegirangan. Kontras kulihat, Ayah mendesah sedih.
“Andai saja Ayah tidak mengetahui hasratmu yang demikian besar untuk bertemu ibumu, Ayah pasti menolak orang-orang itu,” katanya lalu duduk tepekur di hadapan pianonya.
Aku berlari ke belakang rumah. Kuhancurkan semua yang telah kuciptakan di sana dengan khayalanku sebelumnya. Aku tak butuh kubur itu lagi! Aku akan bertemu dengan ibuku!
*****
Di hari yang ditentukan, aku dijemput. Ayah sebenarnya hanya setengah hati melepasku, tapi seperti biasa wajahnya tetap tenang dan lurus. Hanya akuyang mengenalnya seumur hidupnya yang mampu merasakan suasana hatinya. Itu tak membuatku heran.
“Aku akan bujuk Ibu untuk pulang ke rumah ini,” kataku penuh keyakinan.
“Sssh ...jaga mulutmu,” bisik Ayah. Setelah merapikan kerah baju dan mencium kepalaku dia berbalik. Lama aku memandangi punggungnya hingga sosoknya hilang sebalik pintu rumah. Seperti ada yang hilang dari sikapnya, membuatku nelangsa.
“Sukses!” kata seorang penjemputku pada temannya yang duduk di belakang saat aku mengikutinya masuk ke dalam mobil. Lagaknya membuatku tak suka. Untunglah saat gelagatnya kemudian akan mengajakku bicara, telepon genggamnya berbunyi.
“Sudah,” katanya menjawab panggilan itu.
“Ada di sebelah. Mbak mau bicara? Tidak? Terserah. Kami sampai beberapa jam lagi.”
Aku gelisah. Dari yang kudengar, itu pasti Ibu. Tapi kenapa tak mau berbicara denganku? Bukankah kata Ayah dia ingin bertemu? Apakah keinginannya itu sangat mampu ditahannya hingga sekadar bicara lewat telepon pun tak mau?
“Kau akan bertemu Ibumu. Senang?” tanya orang di sebelahku itu setelah menutup pembicaraan. Aku diam. Hanya menatap keluar jendela mobil yang bergerak perlahan karena jalan pedesaan tidaklah begitu baik permukaannya.
“Pemalu. Tunggu sampai nanti kau bertemu dengannya. Dia akan mengajarimu,” kata orang yang duduk di belakang. Lalu mereka saling menimpali, “Sekarang, kami dulu yang harus mengajarmu tentang apa yang harus kau lakukan karena pertemuan kalian akan diliput olah banyak media.”
“Kalian harus tampak mesra. Orang-orang sudah tahu dia meninggalkan kau dan ayahmu, tapi mereka tak tahu alasan sebenarnya. Anggap saja dia melakukan itu karena tak mau para pemburu berita mengusik kehidupan pribadi kalian. Tunjukkan bahwa kau tak dicampakkan dan hubungan denganmu tak diputuskannya sama sekali. Mengerti?”
Aku muak seketika.
“Aku ingin bicara dengannya,” kataku tak menghiraukan mereka.
“Ibumu tak bisa.”
Aku berkeras hingga orang yang duduk di belakang menganjurkan temannya untuk menurutiku. Kudengar dia menggerutu saat menghubungi sebuah nomor dan menyerahkan telepon genggamnya. Jantungku berdebar.
“Apa lagi?” terdengar suara seorang perempuan bernada kasar, seperti kesal.
Itukah suara Ibu? Ah, sungguh tak seperti apa yang selama ini kubayangkan karena aku mengharapkan sebuah suara yang meneduhkan kalbu atau serupa segelas air yang mampu menghilangkan hausku. Sebuah kontak pertama yang tak berkesan sama sekali kecuali menambah rasa muakku. Inikah Ibu yang kurindukan dan telah sempat kubuatkan kuburnya di belakang rumah?
“He! Diam saja seperti radio rusak! Ada apa lagi? Aku sibuk! Bawa anak itu kemari dan selesai!”
Sambungan terputus. Hampir menangis saat aku menyerahkan telepon genggam itu kepada pemiliknya dan tak menjawab ketika dia bertanya kenapa aku tak jadi berbicara. Otakku berputar. Aku adalah seorang anak berjiwa pemberontak. Segala yang tak masuk akal di mata dan telinga tak pernah langsung kutelan mentah-mentah. Memang sedih, tapi kini sedikit demi sedikit aku mampu merangkaikan semua. Ibu memang di langit, jumawa dan gelap mata. Kini dia telah hampir jatuh dan aku justru tak sudi dijadikan alat untuk menolongnya kembali ke langitnya. Cukuplah namanya terbaring diam dalam kubur yang kubuat dan bayangan tentangnya adalah yang selama ini kuimpikan.
Saat kemudian mobil yang kami tumpangi berhenti untuk mengantre giliran menyeberang di sebuah jembatan rusak di wilayah desa tetangga, aku sigap membuka pintu dan melompat keluar. Berlari sekencang-kencangnya. Tak kuhiraukan orang-orang di dalam mobil itu yang memanggil-manggilku untuk kembali. Lucu, mereka bahkan tak tahu namaku.
Baru kusadari jawaban Ayah atas pertanyaanku selama ini. Ayah hanya ingin memberikan gambaran yang indah tentang Ibu yang kumau, bukan Ibu yang kini kutahu nyata adanya tetapi tak pernah benar-benar menginginkanku. Aku sadar, Ibu yang kubayangkan dengan keterbatasan otakku dan yang telah kukuburkan di belakang rumah adalah Ibu yang terbaik bagiku. Selama-lamanya.
Sesampai di rumah, kudapatkan Ayah sedang termenung di depan pianonya. Tak ada melodi dimainkan, tapi aku tahu kesepiannya. Aku memeluknya, menangis dan menceritakan semua. Walau terkejut, dia memaklumi yang terjadi dan terlihat begitu lega saat mengetahui bahwa tiada yang buruk terjadi atasku. Diusapnya air mataku dan pipiku diciuminya. Sungguh, aku tak akan pernah lagi meragukannya, hanya ingin memilikinya seumur hidupku.
“Lalu kenapa menangis? Kau menyesali keputusanmu?”
Aku menggeleng.
“Cengeng seperti perempuan!” katanya sambil mendorong bahuku.
Aku cemberut.
“Apa yang harus Ayah jelaskan kepadanya?”
“Tak ada karena aku telah menguburnya.”
“Baiklah, tapi Ayah lihat kubur yang kau buat telah rusak. Kau mau memperbaikinya lagi atau apa?”
Aku tersenyum dan mengangguk. Ayah tertawa. Sambil menggandeng tangan dan menarikku ke belakang rumah, dia berkata, “Mari kita kuburkan Ibumu sekali lagi.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H