Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Menculikku Tadi Pagi

21 Desember 2012   09:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:15 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

IBU MENCULIKKU TADI PAGI
Cerpenisasi Puisi Naim Ali oleh AK Basuki

sebangun aku dan mataku, ketika jari-jari ini akan berbunyi puisi: sepagi helai kertas kosong yang merindu larik menjadi bait, pada kicau burung-burung yang pipit, tentang aksara di pintu jendela. sekusam selimutku berwarna tinta, sebelum kering oleh mentari yang memanasi pena.

Aku melihat sekawanan burung-burung hilang sayap berlarian di atas pemukaan air telaga, ikan-ikan bertebaran serupa jala yang memerangkap bayangan zuhrah jadi keping-keping kecil cahaya yang menyilaukan mata. Lalu sekejap pusaran air muncul, menghembalangkan semua hingga pasir dan batu di dasar telaga tersingkap.

Anakku nampak tengah memunguti ganggang, menyunting yang terbaik untuk membentuknya jadi tiara tanpa mutiara dan berlomba dengan waktu melingkarkan itu pada kepalaku.

Ibu, ibu, ibu... dia menghambur dalam kehangatan susuku yang belia dan gembur.

“Pena!” teriakku setelah mataku terbuka. Keringat sebesar biji-biji wijen seakan seturut kemauanku; menahan inspirasi sekuat tenaga agar tak lenyap dengan segera.

Memang selalu ada kerinduan melonjak-lonjak namun tak pernah mau pergi. Sebuah rasa yang paling berharga bagiku saat ini, selain berusaha untuk hidup melawan rasa penyesalan. Selalu kusembunyikan ia jika aroma tubuh Ibu mulai beredar di sekitar kamar, agar tak segera diberantas habis dengan kata-katanya yang selalu menyakitkan.

Aku tak pernah membalas, tapi kulampiaskan itu pada puisi.

Setiap dia memasuki kamarku ini, bagiku adalah kewajibannya untuk mencerna puisi-puisiku. Puisi, puisi dan puisi hingga terpancing kemarahannya.

Pernah lembaran-lembaran kertas seakan jadi haram untuk berada di manapun di tiap jengkal lantai kamarku dikarenakan keperkasaan tangan besinya. Tapi itu tak lama, tanpa lembaran-lembaran kertas itu, tak pernah dia dapatkan pertanda apapun dariku. Aku menjadi seorang yang sangat betah untuk tidak berkata-kata. Bahkan jika perlu, kujahit mulutku.

Ibu mengerti. Setelah kenyang dia dengan diamku, atau mungkin memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, dalam beberapa hari saja telah kudapatkan kembali lembaran-lembaran kertas kosong untuk puisiku.Mengenai visi dari kedalaman tidurku semalam, ia akan menjadi puisi dengan segera. Karena kutahu betapa berharganya sebuah mimpi membahagiakan tentang yang tercinta dan yang didambakan.

Kutuliskan semuanya, menuntaskan dahaga kertas kosong dari keseluruhan inspirasiku.

Akan kubuat Ibu mengerti lebih lagi.

*****

oleh ibu, disekaplah aku waktu itu. tak berkutiklah dadaku. pengap. belum aku kalap namun bungkam ibu pada mulutku mengutukku bisu.

Dahulu sering timbul iba pada Ibu. Kebanggaannya atasku buta, sampai-sampai aku merasa bahwa aku yang ada dalam pikiran dan harapannya adalah aku yang bukan diriku sendiri. Di usiaku yang 17, belum pernah sepatah pun kata pujian yang jujur dan benar-benar keluar dari mulutnya untukku. Terlalu dia memanjakan aku. Segala yang kulakukan atas kemauannya, selalu mendapat pujian berlebih, bahkan ketika aku merasa diri tak patut atau tidak melakukan segalanya dengan sempurna. Dipikirnya itu adalah cara yang baik untuk membahagiakanku ataupun membenarkan apa-apa yang dipilihkannya untuk kulakukan. Tapi aku bukanlah gadis manja. Mungkin bodoh, tapi tidak manja. Aku tetap bisa melihat semua ketidakpuasan pada sorot matanya walaupun bibirnya akan berkata lain. Dan itu semua terasa sangat menekanku.

Palsu. Aku jadi tahu apa itu kepalsuan justru dari Ibu. Aku belajar darinya. Kesenangan menganggap aku adalah keberhasilannya dalam kehidupan sebagai seorang ibu, dengan semua kasih sayang butanya terhadapku, kupikir justru merupakan kelemahan dirinya yang paling utama. Aku bisa menerimanya, tapi tidak hendak selalu termakan kasih sayangnya yang berlebihan.

Aku lalu merasa ingin melakukan semua hal yang dibencinya untuk kulakukan.

Sampai ketika dia tahu akan kehamilanku, dunia serasa benar-benar pecah seperti pot bunga yang dihantamkannya ke tembok bagaikan tembok itu telah menjelma menjadi kepala kekasihku. Tapi aku selalu bungkam atas pertanyaannya, tidak hendak mengungkapkan tentang apa atau siapa yang ingin diketahuinya.

Segera aku ditariknya dari kehidupan nyata, disembunyikan seperti sebuah tambang emas milik orang serakah, dipisahkan dari kekasihku yang tak pernah akan dapat diketemukannya sampai kapanpun. Aku bungkam. Sebait puisi pun tak pernah terpikir hendak kusebut nama kekasihku di sana jika nantinya hanya untuk mendapatkan tuntutan dari Ibu seumur hidupnya.

Ibu gelap mata. Diaturnya dengan telaten skenario untuk membunikan aib baik dengan atau tanpa harus membunuh anakku karena aku menentangnya mati-matian. Bolehlah aku diasingkan, tapi janin dalam perutku tak hendak kubiarkan terbunuh.

Sayang, keinginanku tak terwujud. Janin itu mati sebelum perutku sempat bertambah lebih besar lagi.

“Baguslah dia mati,” kata Ibu selalu terngiang di telingaku. Penuh kemenangan. Memang dia tidak pernah mengakui membunuhnya, tapi aku benar-benar jadi membencinya sepenuh-penuh dayaku.

Pastilah karena doanya. Pastilah karena doa-doanya.

*****

“tidak ada lagi puisi untukku! engkau tahu apa?” serak bisik ibu amat tegas menggores telinga. serupa kuku tajam mencakar dengan pelan di kaku tubuhku yang berkarat, menyuara pekik dan bising, tanpa mampu kutahan.

ganas tatap ibu menguliti puisiku sampai mati.

“Ini! Ini!” kataku tertawa puas ketika pada akhirnya Ibu muncul di pintu kamarku. “Puisiku hari ini. Semalam kulihat anakku muncul di dasar telaga yang pejal, disematkannya tiara dari ganggang pada kepalaku yang bebal!”

Kulihat ekspresi murka mulai merayap sedikit demi sedikit pada wajahnya. Tapi entah kenapa, aku semakin merasa puas.

“Jangan ada puisi lagi!” serunya. Baki berisi makanan untukku diletakkannya di atas meja. Segera dibereskannya seisi kamarku yang berantakan, tapi terus saja kusorongkan puisi itu padanya.

“Baca! Baca! Anakku ada di mimpiku semalam! Dia mengulum dan mengunyah susuku. Andai dia lahir, aku yakin tidak ada kata yang bisa menggambarkan kebahagiaanku. Sayang dia mati… eh, ibu tidak membunuhnya, bukan? Ah, ibu membunuhnya dengan doa-doa penolak cucu!” kulihat sekejap bibirnya gigil.

“Setelah ini kau akan menelan obatmu lalu tidur seperti biasanya. Karena itu cepat habiskan makanmu.”

“Bacalah puisiku dulu.”

“Diam!” Ibu hampir meledak. Aku menandak-nandak. Lembaran-lembaran kertas di tanganku kulemparkan dan jatuh berserak.

Sepertinya Ibu jadi benar-benar murka. Sepasang matanya yang dahulu selalu diliputi kebanggaan yang berlebihan untukku tidak menyisakan apapun selain kobar yang ganas. Kekecewaan yang mendalam atasku dan rasa benci yang parah pada kekasihku, orang yang baginya menjadi penyebab semua ini, orang yang kulindungi dari kemurkaannya dengan kebungkamanku menyebabkannya begitu.

Kau hanya sedang sakit. Setelah pulih tentu kehidupan akan berjalan normal lagi untukmu. Dan sampai saat itu tiba, jadilah anak yang manis, ” katanya menahan kemarahan tetap di paru-paru. “Jangan buat Ibu lebih menderita lagi.”

Ibu menderita? Itu bukan tanggung jawabku. Akulah yang menderita di sini dan itu adalah tanggung jawabnya!

“Kau tidak akan pernah selesai membenciku jika pikiran tentang kematian anak yang kau kandung adalah kesalahanku. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu untuk melindungi anaknya. Kau masih terlalu muda, kehidupanmu haruslah terlidungi dari noda dan cerca. Tahu apa kau tentang perasaan seorang ibu pada anaknya?”

“Aku tahu jika saja Ibu tidak menentangku! Karena itu bacalah puisiku, semalam aku memeluk anakku dan dia melingkarkan tiara di kepalaku!”

Ibu diam sejenak. Kemarahannya terlihat sedikit reda berganti kesedihan yang sesak. Ditatapnya aku seperti akan merumrumku sebagaimana dulu selalu dilakukannya. Tapi aku tidak tersentuh. Sungguh-sungguh tidak tersentuh.

“Tulislah puisi-puisi sesuka hatimu, tapi tolong jangan selalu menyalahkanku. Ya, aku memang berdoa untuk anak yang kau kandung itu seperti yang kau tuduhkan selama ini. Tapi doa-doa yang baik. Sungguh doa-doa yang baik.”

Lalu dia berbalik dan keluar. Aku berusaha mengejarnya, tapi rantai yang membelenggu dua pergelangan kaki dengan tiang ranjang menahanku.

Saat kembali nanti, dia pasti akan membawa sesuatu untuk meredakan amukku. Membuatku hilang daya dan lesu seperti balon karet yang dibiarkan kempis pelan-pelan kehabisan angin. Membuatku hanya bermimpi dan bermimpi yang lalu akan kutuangkan semua isinya ke dalam puisi. Puisi-puisi yang selalu enggan dibacanya oleh karena rasa takut dan bersalah.

Sebelum sampai waktu itu, aku harus menyakiti hatinya lebih lagi. Sepuas-puasnya, “Jika memang doa-doa baik tidak didengar Tuhan, panjatkan saja doa-doa buruk untukku, pembunuh!”

Cigugur, 21 Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun