Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah di Dekat Kos Putri

17 Oktober 2012   08:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:45 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah di Dekat Kos Putri
oleh AK Basuki

“bukan rumahnya, bukan kosnya, bukan putrinya... pokoknya bukan!”

Sudah lama Asna tertarik dengan sebuah rumah di sebelah rumah kosnya. Bukan, bukan tertarik dengan rumah yang sejak dulu selalu terlihat sepi itu, bukan... lebih tepatnya, kini dia tertarik dengan penghuni tunggalnya, seorang cowok keren dan unyu-unyu. Sepintas perawakannya mirip Barry Prima, bintang film aksi bertubuh kekar jaman dahulu kala. Wajahnya ganteng, jantan dengan kecenderungan melankolik tapi bad boy, presisRoy Marten.

Awalnya, Asna tidak terlalu peduli dengan cowok itu yang hampir setiap malam, sejak sekitar dua minggu lalu selalu muncul di balkon rumah, berdiri mematung lama sekali. Biasanya malah sampai dini hari. Asna pun hobi bertengger di balkon rumah kosnya sejak dulu, maka kebiasaan cowok itu tidak luput dari perhatiannya. Apalagi balkon rumah kosnya dengan balkon rumah cowok itu tidak terlalu jauh, hanya terpisah tembok setinggi tiga meteran. Jadilah balkon sana dengan sini hanya seperti berdampingan saja.

Asna menduga-duga, cowok itu sedang depresi berat, paling tidak ada yang sedang mengganggu pikirannya. Seorang cowok ganteng, berdiri di balkon tiap malam tanpa melakukan apa-apa, bagi Asna jika bukan orang stres, pasti hantu. Hantu? Sepertinya bukan.

“Woi!” sapa Asna pertama kali. Cowok itu diam saja. “Woi! Situ yang hobi bengong malem-malem!”

Masih diam saja. Kesal, Asna melemparkan pecahan-pecahan kecil tegel lantai balkon ke arah si cowok. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali... kebangetan, sampai lemparan ke 127 baru itu cowok bereaksi. Tegel lantai balkon padahal sudah hampir habis 9 kotak dipethil-pethil Asna.

Please, jangan ganggu aku!” kata si cowok akhirnya, tapi dia lalu memutar memunggungi Asna.

Slompret, malah mungkur! Situnya pikir saia menakutkan apa?”

“Menakutkan sih nggak. Tapi aku memang sudah nggak mau peduli apapun lagi. Nggak ada yang bisa menakuti aku di dunia ini!”

Sip, pikir Asna. Akhirnya dia punya teman ngobrol. Beda dengan penghuni kos putri ini, kebanyakan tidak cocok dengannya. Tidak ada yang bisa diajaknya mengobrol. Jam segini sudah pada mengkeret semua di dalam selimut. Dia saja sampai sering jengkel sendiri.

Situ kenapa tiap malam berdiri di situ? Cari inspirasi apa cari-cari kesempatan buat loncat kesini?”

“Loncat kesitu mau ngapain, coba?”

“Ngapain aja bisa to? Masuk ke kamar cewek-cewek yang lagi tidur, nyuri clana dalem, daster, beha, jeroan-jeroan yang bentuknya aneh kaya punya si Latif itu atau pasang kamera tersembunyi.”

“Enak aja! Emang saya cowok apaan?” cowok itu berbalik. Masya Alloh nggantengnya, pikir Asna. Benar-benar perpaduan antara Barry Prima dan Roy Marten. Kalau sudah jelas terlihat wajahnya begini, tambah Herman Felani juga masih masuk. Tentu saja dia langsung jatuh cinta.

“Apaan coba?”

Please, jangan ganggu aku.”

Tapi namanya Asna, semakin dilarang dia semakin menjadi. Memang kemudian dari awalnya seperti itu, mereka bisa jadi akrab. Ngobrol ngalor-ngidul. Malahan setiap malam mereka seakan-akan sudah punya schedule tersendiri untuk bertemu. Antar balkon atau dari balkon ke balkon. Asna jadi tahu, Agus, nama cowok itu sedang punya masalah berat dan kompleks. Dari putus dengan pacarnya sampai putus hubungan kerjaan.

“Aku bangkrut,” kata Agus mulai curhat. Itu hari kesekian setelah perkenalannya dengan Asna dan rasa-rasanya mereka memang semakin lengket dan saling cocok. “Sudah bangkrut, Susanti punya cem-ceman lain. Sakit hati aku.”

“Jadi itu yang bikin situ kaya orang gila baru yang suka merenung di balkon padahal sebelumnya tidak pernah?”

“Aku memang sudah gila. Kadang memang aku berpikir untuk loncat saja dari atas balkon.”

“Memang seberat itu dan situ nggak sanggup menanggung? Jadi laki-laki kenapa cengeng begitu? Lemah!”

“Justru lelaki itu adalah mahluk terlemah di dunia tapi mereka tidak tahu. Jika mereka ada di posisiku sekarang, mereka pasti mengerti.”

Asna merasa kasihan juga. Disentuhnya pipi Agus dengan lembut, seolah ingin memberinya kekuatan. Entah kenapa, dengan Agus ini rasa sayangnya langsung jatuh. Seakan ada daya tarik yang membetotnya untuk menjadikan cowok itu sebagai kesayangannya selama-lamanya.

Saat itu Agus berada di balkon rumah kos yang ditempati Asna setelah lebih dulu menyeberang dengan menggunakan tangga yang dilintangkan mirip jembatan antar balkon. Mereka duduk berdampingan dan sesekali bersentuhan lengan. Merasa ada yang peduli padanya, Agus hatinya menjadi besar. Tangannya pun jadi ringan. Dibalasnya sentuhan Asna itu.

Asna mencubit pipi Agus, Agus membalas. Mereka cubit-cubitan jadinya. Tertawa cekikikan berdua. Agus memegang dagu Asna, Asna membalas dengan menarik jenggot Agus. Mesra, seperti Pai Su Chen dan Si Han Wen dari legenda ular putih.

Lama kelamaan, suhu berubah. Entah siapa yang memulai, mereka tiba-tiba saja sudah berpelukan erat. Satu sama lain seakan tidak ingin lepas. Asna merasakan napas Agus yang gemuruh di telinganya, juga debaran jantungnya yang meningkat beberapa kali lipat dari normal. Saat kemudian bibir Agus pelan-pelan merayapi pipi lalu meniup-niup anak rambutnya, dia hanya mendesah, seperti memberikan permit agar Agus melakukan yang lebih dari itu. Leher jenjangnya yang putih mulus dibiarkannya jadi tempat bibir Agus meletakkan kecupan-kecupan penuh birahi.

Bibir mereka lalu berpagutan, lidah mereka saling mencari dalam kehangatan rongga mulut yang basah. Melingkar-lingkar seperti sepasang lintah yang bergumul dalam lumpur. Belaian, sentuhan bahkan remasan-remasan nakal nan lembut di setiap jengkal tubuh Asna membuatnya melayang dalam keindahan tiada tara. Sekejap, Agus mendorong tubuh Asna dan mereka rapat berguling di atas lantai balkon. Tangan Agus liar melucuti pakaian Asna, demikian pula Asna yang sibuk melepaskan pakaian Agus. Telanjang. Mereka berdua telanjang.

Keindahan lekuk tubuh perempuan bagai semua dimiliki Asna. Rambutnya yang panjang terhampar di lantai, wajah ayu dengan tatapan mata yang sayu dalam birahinya, kedua buah dadanya yang penuh tegak menantang, kulitnya yang mulus... lalu farji, yang berhiaskan seribu pesona... Suram cahaya lampu balkon menembak itu semua, lalu memantul seperti menyilaukan mata Agus. Dia sungguh terpesona menatap tubuh indah nan telanjang di hadapannya. Asna mengangkat dagu lalu menarik leher Agus mendekat pada tubuhnya dengan tidak sabar. Pun malu dengan tatapan Agus yang seakan menelan keseluruhan tubuhnya bulat-bulat. Kedua kakinya melingkari pinggang si cowok.

Saat Agus memasukinya, Asna tenggelam dalam keprasrahan.

*****

Sejak kejadian malam itu, rasa-rasanya hubungan mereka berdua malah jadi canggung. Mereka tetap bertemu setiap malam, tapi seperti ada jarak yang memisahkan. Asna merasakannya, Agus sedikit berubah. Mungkinkah karena kejadian malam itu?

Situ berubah,” kata Asna yang tidak tahan. Kali itu giliran dia yang menyeberang ke balkon rumah Agus.

“Berubah apanya?”

“Sedikit lebih diam. Sama seperti waktu pertama kita kenal. Ada yang dipikirkan? Kalau ini tentang kejadian malam itu, saia nggak terlalu pusing kok. Itu kan kita lakukan suka sama suka. Situ nggak usah terbebani begitu, saia tidak akan menuntut apa-apa.”

Agus menghela napas.

“Bukan itu, karena aku merasa apa yang kita lakukan itu indah. Tapi aku tidak bisa....,” Agus menghentikan kata-katanya.Kepalanya menunduk.

“Tidak bisa apa?”

“Tidak bisa lari dari perasaan... mencintai kamu.”

“Situ mencintai saia? Memangnya ada apa dari saia yang bisa bikin situ cinta?”Asna tertawa keras mendengar kata-kata Agus.

Agus menggelengkan kepalanya.

Entahlah. Mungkin kamu datang di saat yang tepat buat aku. Itu saja.”

Asna tertawa lagi. Tertawa dan terus tertawa seakan-akan hal itu sedemikian lucu bagi dirinya. Agus hanya diam, sadar bahwa dengan menyatakan perasaannya kepada Asna tidak membuat segalanya mudah bagi cintanya. Keheningan lalu berlaku begitu lama di antara mereka. Tanpa kata-kata, sedemikian lamanya. Begitu saja hingga Asna berlalu, kembali ke rumah kos putri itu.

Sebenarnya, jika Agus bisa mengerti, tawa Asna dan sikap diamnya adalah untuk menutupi kesedihannya. Dia pun merasa ada benih-benih cinta yang tumbuh, tapi segera harus disingkirkannya karena dia tidak merasa pantas dan mampu untuk itu.

*****

Berminggu-minggu Asna tidak muncul di balkon tempat biasanya dia mengisi malam setelah pengakuan cinta Agus. Dia hanya banyak berdiam dalam kamar di lantai teratas rumah kosnya itu. Rindu pada Agus selalu datang bertubi-tubi, tapi dia tidak ingin menumbuhkannya semakin perkasa. Dia harus segera membunuhnya.Mereka berdua tidaklah ditakdirkan untuk bersama, pikir Asna.

Karena itu, di puncak kejenuhannya, dia lalu turun, turut berkumpul dengan beberapa penghuni kos putri yang sedang ngobrol di ruang tamu lantai bawah. Siapa tahu dengan demikian rasa sepinya akan lenyap.

“Baunya busuk banget. Inget nggak beberapa hari lalu aku sudah mulai mengeluh soal bau busuk itu?” terdengar Latif, mahasiswi paling senior di rumah kos itu. “Kejadian, kan? Baru deh hari ini bisa hilang tuh bau. Ada yang lihat waktu mayatnya dievakuasi tadi pagi?”

Serempak, hampir semua menggeleng.

“Orangnya juga tinggal sendirian sih,” sahut Ajen, “Jadinya nggak ada yang tahu sampai berhari-hari begitu. Padahal orangnya ganteng loh, aku pernah lihat dia. Masih muda, punya rumah besar, tinggal sendirian tapi ternyata hidupnya nggak bahagia. Siapa yang bisa mengira dia punya kecenderungan bunuh diri gitu?”

“Kemungkinan sudah lebih dari seminggu dia tergantung di sana, bahkan lebih. Nggak ada pesan terakhir, tapi dugaan pertama sih motifnya karena putus cinta.”

“Pada ngomongin apa, sih?” tanya Asna penasaran.

“Cerita itu lagi. Jangan mulai lagi deh. Takut nih,” kata Nisa. Tapi Latif cuek saja. Dia malah terkesan ingin menakut-nakuti teman-temannya.

“Tahu nggak, kalau orang bunuh diri karena putus cinta, biasanya arwahnya bakalan nglanglang kemana-mana mencari cinta. Kos putri ini jangan-jangan dijadikan ajang buat arwahnya Agus mencari cinta nantinya!”

“Hiaaaaaaa....!!!” hampir semua yang ada di sana menjerit sementara Latif cekikikan kesenangan.

Asna terkejut bukan buatan. Agus, cowok penghuni rumah sebelah bunuh diri? Agus yang mencintainya dan kini selalu dirindukannya itu kini sudah mati? Benarkah? Sulit menahan perasaan yang kalut, dipukulnya kepala Latif yang sedang menggoda teman-temannya dengan keras.

Plak! Tentu saja Latif langsung terjungkal dari duduknya.

“Jangan bercanda gitu! Ceritamu tadi betul nggak?” tanya Asna. Perasaannya sudah hampir kacau.

Wajah Latif pucat pasi terduduk di lantai, sementara teman-temannya menatapnya dengan heran. Tapi pintar juga dia menutupi keterkejutannya dengan canda lagi.

“Hantu Agus datang! Lihat, buktinya aku dipukul dari belakang sampai njungkel! Hiii...!!” katanya.

“Hiaaaaaaaa...!!!”

Asna tidak peduli lagi dengan mereka. Secepatnya, dia segera berlari menuju lantai teratas, keluar menuju balkon. Di balkon seberang, dilihatnya Agus. Berdiri bersidekap dan tersenyum kepadanya.

“Apa yang situ lakukan?”

“Tidak ada.”

“Bohong!”

“Hanya gantung diri, apa hebatnya?”

“Untuk apa?”

“Kamu kira untuk apa?” dia tertawa lagi. Lalu dengan sekali loncatan, sampai dia di balkon rumah kos putri itu. Asna tidak mampu berkata-kata saking takjubnya. Tapi hanya sebentar, setelahnya dia justru tertawa lepas. Bahagia dan lega rasanya.

“Sejak dulu aku ragu-ragu untuk mengakhiri hidupku biarpun hanya itu yang selalu kupikirkan tiap berdiri di balkon itu. Tapi sejak bertemu lalu mencintai kamu, aku menjadi yakin,” kata Agus. Di kecupnya dahi Asna dengan mesra.“Sebagai orang hidup, aku gagal. Siapa tahu setelah mati aku bisa sukses.”

Untuk Asna, sepertinya tiada akan ada lagi hari-hari sendirian duduk mencangkung di balkon rumah kos putri itu. Tiada lagi pula sepi di kamarnya, kamar yang selalu tertutup dan tidak pernah lagi disewakan sebagai kamar kos oleh Haji Kusnadi sejak dirinya meloncat dari balkon beberapa tahun lalu.

Sekarang hari-harinya akan jadi sempurna. Ada Agus, hantu kesayangan yang mirip Barry Prima, Roy Marten dan Herman Felani sekaligus, menemani dirinya untuk selama-lamanya. THE END.

Cigugur, 17 Oktober 2012

- Meni teu puguh kiyeu cerpen teh...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun