Ditanya tentang Naning, bapaknya Tarjan cuma ketawa kecil, "Hehehe ... si Naning biar dibahas belakangan, Bu. Ini Tarjan belum selesai ngomongnya. Katamu tadi Siti membingungkan dan mengecewakan. Bagaimana itu maksudnya, Jan?"
Tarjan sebenarnya bingung untuk meneruskan. Sepertinya ibunya senang sekali mendengar bahwa Siti sudah mau menemuinya.
"Maksudnya begini, Pak. Begitu berhadap-hadapan, Siti aku tanya lagi: Begini, Ti ... aku memang sengaja menemui kamu lagi setelah setahun lewat. Menurutku, kamu sudah tahu keinginanku. Yang sudah ya sudah, tidak perlu diharapkan lagi. Dulu kamu pernah bilang masih menunggu Dali, siapa tahu rumah tangga dengan istrinya tidak langgeng. Tapi sekarang kamu pasti dengar kalau Dali sudah punya anak. Sepertinya sia-sia kalau terus menunggu. Bagaimana kalau sekarang kamu terima aku saja. Umur kita semakin tua. Mau menunggu apa lagi?"
"Betul itu, Jan. Ternyata kamu pintar merangkai omongan juga, ya? Si Siti itu memang sepertinya jodohmu. Terus bagaimana?" Sekarang bapaknya Tarjan yang ganti menyalakan rokok.
Tarjan tidak ketinggalan, ikut merokok lagi.
"Siti diam saja. Aku desak lagi: Ti, to the point saja. Kamu jadi istriku, ya?! Aku sudah punya pekerjaan tetap, ada yang bisa diandalkan untuk mencukupi rumah tangga. Lihat, nih. Aku pakai seragam, sudah jadi PNS. Kamu nanti jadi ibu Dharma Wanita, kalau berangkat acara perkumpulan pasti ke kota. Mriyayeni betul, kan? Pokoknya hidupmu bakalan mulia kalau jadi istriku. Gimana, Ti?"
Bapaknya Tarjan merasakan rokoknya jadi nikmat sekali, hatinya lega bukan buatan. "Jian, bisa juga kamu ngomong. Siapa sih orangnya yang nggak mau jadi istri PNS? Terus?"
Seakan-akan sudah tidak nikmat lagi, Tarjan mematikan rokoknya yang masih panjang. "Itulah, Pak. Jawaban Siti membingungkan. Membingungkan dan mengecewakan. Dia ngggak suka jadi istri Satpol PP. Kalau model PNS yang lain, dia mau. Dia bilang, takut sama pentunganku. Katanya: Kamu suka bawa-bawa pentungan. Kalau ada apa-apa nantinya, aku takut pentunganmu itu kamu pakai untuk mukuli aku. Pokoknya begini, Kang. Aku mau jadi istrimu kalau kamu nggak lagi jadi Satpol PP. Kamu mau ya syukur, nggak mau ya aku nggak akan memaksa. Coba, apa nggak membingungkan itu, Pak?"
Bapaknya Tarjan mendadak batuk-batuk. Asap rokok yang belum sempat dihembuskan berhenti di tenggorokan. Perih sekali rasanya. Jengkel juga.
"SASAH BUSAH!!! Kok nggak wajar betul tingkah si Siti itu? Dikiranya gampang apa jadi PNS, kok kamu malah disuruh berhenti jadi Satpol PP? Kalau kamu mau, berarti kamu bodoh. Jangan! Tidak ada Siti-sitian! Masih ada si Naning. Sudah ... besok kamu ikut Bapak ke rumahnya Pak Guru Kardiman!"
"Tapi, Pak ... Siti ...? Pikirku Bapak mau rembuk dulu dengan Man Sadam. Mungkin saja Siti masih bisa dibujuk-bujuk."