Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Susu #6 (Derita Tiada Akhir)..

9 April 2011   15:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:58 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Juragan Mamar mendengus. Hidungnya yang besar dengan kedua lubangnya yang lebar itu tampak mengerikan, menambah angker sosoknya yang sedang marah kepada Anisa yang terduduk di hadapannya sambil mendekap dan mencoba menenangkan Sahroni yang menangis keras.

"Apa susahnya bilang iya?! Kau pikir semua tawaranku ini akan berlaku lama?!" katanya keras kepada Anisa.

Anisa gemetaran. Sahroni yang sudah hampir terdiam seperti mengetahui perasaan ibunya dan mulai menangis kembali, kali ini bertambah keras.

"Maaf, Juragan," katanya terbata-bata, "tawaran Juragan hampir tidak mungkin saya penuhi. suami saya baru saja meninggal, belum ada dua minggu, sekarang juragan datang dan tiba-tiba ingin menjadikan saya istri yang keempat, tentu saja saya terkejut. Jadi sepertinya saya tidak akan bisa terima. Maaf."

"Sombong sekali kau! Suamimu itu kalau tidak kutolong dulu, bakalan bawa kalian semua sekeluarga ikut mati kelaparan! Sekarang dia sudah mati, mau dengan apa kau hidupi anak-anakmu yang lima orang itu? Kalau kau jadi istriku yang keempat, anak-anakmu akan terjamin kehidupannya. Aris yang perutnya buncit seperti cacingan, Naim yang ingusan terus menerus, Iin yang kurus kering, Suri yang belum juga bisa berjalan, dan Sahroni yang masih bayi ini tidak akan jadi anak-anak yang penyakitan dan mereka akan bisa bersekolah sampai tinggi!" Anisa menunduk, masih menenangkan Sahroni yang terus menangis.

Inilah yang ditakutkannya. Seorang janda beranak lima yang masih muda dan cantik kinyis-kinyis seperti dia pasti lambat laun akan mendapatkan godaan dan dia sadar, godaan pertamanya telah tiba. Berat sekali bagi hatinya yang masih limbung dengan kematian suaminya.

"Mohon dengan sangat, Juragan, saat ini saya belum bisa berpikir apa-apa. Beberapa bulan lagi mungkin saya akan bisa berpikir jernih."

"Dan sebelum sampai beberapa bulan kemudian, kau akan kelaparan bersama anak-anakmu! Tidak mati saja sudah untung!"

Anisa terdiam lagi. Sahroni yang masih menangis keras itu benar-benar menambah kebingungannya. Refleks, dibukanya kancing bajunya yang teratas. Payudara bagian kanannya menyembul dan langsung dihunjamkannya ke mulut Sahroni yang terbuka. Bayi yang malang itu langsung terdiam, tapi adegan itu tertangkap mata juragan Mamar.

Betapa bagus, pikir juragan Mamar sambil menelan ludah. Pemandangan indah terpampang di depan matanya dan tiba-tiba kekecewaannya beralih menjadi napsu yang membakar akal sehatnya. Tanpa canggung direnggutnya paksa Sahroni yang malang itu dari dekapan ibunya. Anisa yang belum menyadari apa yang terjadi menjadi terkejut setengah mati ketika Sahroni dengan cepat telah berpindah ke tangan juragan Mamar.

Bayi yang kembali menangis meraung-raung karena direnggutkan paksa dari susu ibunya itu, diletakkan begitu saja dengan kasar ke dipan beralaskan tikar pandan yang ada di ruang tamu rumah itu. Kemudian, sebelum Anisa mampu berteriak, juragan Mamar telah menerkam dan menindih tubuhnya ke lantai. Anisa memberontak. Naluri kewanitaannya bereaksi cepat, secepat tangan juragan mamar yang mulai meraba-raba payudaranya yang masih setengah terbuka, lutut kanannya naik dan menyodok tepat ke tengah selangkangan juragan yang gelap mata itu.

Juragan Mamar menjerit keras dan berguling-guling merasakan sakit yang luar biasa di kelelakiannya sambil memaki-maki kasar. Cepat pula Annisa bangkit dan tepat pada saat itu, Reni yang baru saja tiba masuk dan melihat kejadian itu: Anisa dengan gemetar dan napas yang kembang-kempis berdiri mengangkang menghadapi juragan Mamar yang berguling-guling di lantai dengan pakaian yang awut-awutan.

Sekilas saja dia sudah dapat menduga apa yang terjadi atas diri kakaknya itu. Dengan berteriak marah, diraihnya termos air panas yang ada di atas meja dan dihantamkannya langsung ke kepala juragan Mamar.

"Kau mau main kasar, Juragan?!" teriak Reni sambil membanting termos di tangannya.

Juragan Mamar terduduk dengan memegangi kepala dan selangkanganya. Sakitnya dobel.

"Perempuan-perempuan tidak tahu diuntung! Kalian tahu siapa aku? Juragan Mamar! Setelah apa yang terjadi di sini, aku yakin kalian tidak akan bisa hidup dengan tenang!" kata juragan Mamar mengancam dan mencoba bangkit sempoyongan sambil mengusap pelipisnya yang berdarah.

Reni tidak memperdulikannya, segera mengambil Sahroni dari atas dipan dan menggendongnya sambil menenangkan tangisnya. Anisa yang seperti baru lepas dari ketakjuban yang menyihir hatinya tersentak mendengar ancaman juragan Mamar. Mereka telah membuat masalah dengan juragan durjana ini, dia percaya dengan ancaman itu. Tidak akan ada kehidupan yang tenang setelah ini, karena juragan Mamar pastilah akan mencoba membalaskan sakit hatinya dengan mengerahkan semua anak buah yang dipunyainya untuk terus menerornya. Dia yakin itu.

Maka, dengan tanpa pikir panjang Anisa meraih termos yang sudah tergeletak di lantai itu dan langsung mengejar juragan Mamar yang berjalan sempoyongan menuju pintu keluar. Dihantamkannya termos itu ke belakang kepala juragan Mamar dengan sekuat tenaga.

Juragan Mamar sekali lagi mengaduh, tetapi kali ini dia tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk bersuara lagi menebar ancaman karena dengan gelap mata, Nisa kembali memukulkan termos itu bertubi-tubi ke kepalanya hingga pecah berkeping-keping dan air panas di dalamnya tumpah dan melukai tangannya. Ketika termos itu sudah tidak bisa digunakannya lagi, digunakannya kakinya untuk menginjak-nginjak kepala yang berdarah-darah itu sambil berteriak-teriak histeris sampai-sampai dengan histeris pula Reni menarik tangan kakaknya.

"Kak Nisa! Sudah!" teriaknya.

Nisa menatap dengan mata nyalang dan buas. Dilihatnya juragan becak durjana itu tertelungkup dengan darah yang membanjiri kepalanya. Entah mati, entah tidak. Yang diketahuinya kemudian hanyalah dia mengambil Sahroni dari tangan Reni dan terduduk di dipan beralaskan tikar pandan tempat dia biasa menidurkan bayinya itu di sana.

Tatapannya mengendur dan jadi kosong saat dengan tangan gemetar dan bibir yang terus membujuk, dia mengeluarkan lagi payudaranya dan menghunjamkannya ke mulut Sahroni.

Tangisan Sahroni terhenti.

Cigugur, 9 April 2011

Note: kemungkinan apapun bisa terjadi..siapapun, tolong hentikan cerita susu ini,
please..!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun