Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anakmu Sakit!

20 Februari 2011   15:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:26 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telepon genggamku tiba-tiba bergetar ketika aku sedang menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Rima. Setelah melihat kepada Hardi yang sedang sibuk pula dengan bahan presentasinya dan sepertinya tidak terganggu, aku mengangkat telepon genggamku itu sambil berjalan keluar dari kamar Losmen. Satu suara khas perempuan yang sedang panik langsung menerjang gendang telingaku: "Anakmu sakit!" "Ha?" aku terkejut. "Bayu sakit, malam ini juga harus dioperasi!" teriak Rima sambil menangis. "Hai, hai...tenanglah dulu," kataku mencoba menenangkannya, "ceritakan dengan tenang, aku tidak akan bisa mengerti kalau kau histeris begitu." Aku pun jadi tak tenang ketika kemudian mendengar dia terisak-isak dan bercerita dengan terbata-bata: "Tiba-tiba saja dia hilang kesadaran, aku tidak tahu kenapa. Memang tadi sore dia terjatuh dari sepeda, sedikit memar di dahinya dan mengeluh kepalanya sakit. Aku pikir hanya terantuk biasa. Setelah kumandikan, dia tertidur. Saat dia kubangunkan untuk makan malam, dia..dia tidak bangun-bangun." Jamtungku seperti mau lepas dari tempatnya dan saat itu juga ingin langsung terbang menuju mereka, tapi aku sungguh tak bisa.. "Akan dilakukan operasi segera," kata Rima masih terisak-isak. "Kau sudah membereskan semua?" tanyaku tergagap-gagap dan mulai panik, "sudah siap segalanya? Kau sudah tanda tangani persetujuan operasi?" "Tentu saja sudah! Hanya ada aku, ibunya di sini sekarang. Siapa lagi yang akan mengurus semuanya?" kata Rima sengit. Emosinya naik, mungkin berpikir juga tentang keadaannya saat ini yang tidak sedang didampingi suami. Hardi dan aku memang sedang dalam tugas ke luar kota yang sangat penting. Aku dan sahabat dekatku itu memang berada dalam satuan tugas yang sama sehingga tidak jarang kami harus bepergian ke luar kota bersama-sama. "Hardi ada didekatmu?" tanya Rima kemudian, suaranya sudah terdengar lebih tenang, tapi dia masih menangis. "Kenapa kau belum memberitahunya?" tanyaku bodoh, mungkin karena kebingungan dan panikku. "Tentu saja aku menghubungimu lebih dulu, kau ayahnya!" bentaknya. Emosinya naik lagi. "Ya, ya..setelah ini kau hubungilah dia," kataku. Rima menutup telepon. Ah, Bayu..apa lagi yang bisa terjadi padanya? Memikirkannya pun aku tidak berani. Kini aku justru harus memikirkan cara untuk pulang, bagaimana agar aku dan Hardi bisa kembali bersama dan menunda semua pekerjaan kami. Dengan sedikit gemetar dan kebingungan atas apa yang akan dilakukan, aku kembali ke dalam kamar. Hardi kulihat masih duduk di atas ranjang seperti saat kutinggalkan tadi. Baru saja aku hendak bersuara, telepon genggamku bergetar kembali. Rima. Jantungku semakin kuat debarnya. "Telepon genggammu tidak kau aktifkan?" tanyaku pada Hardi. Dia menoleh dan tanpa berkata apa-apa menggapai telepon genggamnya yang diletakkan di atas meja di samping ranjang. "Sial!" makinya, "baterainya habis." Lalu dia bangkit dan membuka lemari, sepertinya akan mengambil pengisi daya dari tasnya. Kuangkat teleponku. "Telepon Hardi tidak aktif," kata Rima. "Sebentar," sahutku, lalu aku menyodorkan telepon genggamku itu pada Hardi, "Rima mau bicara." Hardi meletakkan pengisi daya yang telah dipegangnya ke atas ranjang dan menyambut telepon genggamku yang kusodorkan itu. "Ya, Rim?" aku hanya memandangi ekspresi wajahnya dengan iba. Hardi, sahabatku. Sudah hampir 8 tahun aku mengenalnya dan selama itu dia adalah seorang sahabat yang sangat baik buatku. Tapi aku membalasnya..... "Bagaimana bisa?!" Hardi menjerit. Ah, sampai kemudian dia mengenalkanku pada Rima..... "Sampai sejauh mana kemungkinannya?" Hardi menjerit lagi, wajahnya berubah pucat. Dulu Rima adalah masih berstatus calon istri Hardi, mereka telah bertunangan. Kami bertiga berkawan akrab dan tanpa dapat dicegah, timbullah benih-benih cinta yang memalukan antara aku dan Rima. Sehingga terjadilah perbuatan bejat antara aku dan dia beberapa minggu sebelum hari pernikahan mereka. Sampai saat ini Hardi tidak pernah tahu bahwa Bayu bukanlah anaknya..... "Aku pulang malam ini juga!" katanya beberapa saat kemudian sebelum menutup pembicaraan. Lalu katanya padaku: "Aku harus pulang malam ini. Bayu mengalami perdarahan di otaknya dan harus dioperasi secepatnya." Dengan tergesa-gesa dia langsung mengemasi semua barang-barangnya. "Tolong kau gantikan aku besok," katanya lagi  sebelum dengan tergesa-gesa berlari menuju pintu. Aku mengeluh dalam hati. Inilah yang kutakutkan. "Baiklah," sahutku kemudian dengan lesu, "semoga Bayu baik-baik saja." Hardi pergi. Pintu terbanting. Hatiku remuk. Cigugur, 20 Februari 2011 gambar dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun