Sebagai orang yang tinggal di kota kabupaten sangat susah untuk menemukan gedung bioskop namun aku rela menggeber motor selama 3 jam untuk menonton "Dua Garis Biru".Â
Bukan hanya karena rekomendasi dari BKKBN sebuah badan zaman Orde Baru yang dijadikan primadona meski sempat mati suri, namun juga adanya viral petisi "Jangan Loloskan Film yang Menjerumuskan! Cegah Dua Garis Biru di Luar Nikah!" Â di laman change.org pada April 2019 silam.Â
Ada apa dengan film besutan Gina S Noor sang istri dari Salman Risto ini, bukankah dia telah menelurkan berbagai film Box Office? seperti jelangkung 3(2007), Ayat ayat cinta (2008) hingga film biopik Ainun Habibi (2012) yang membawa Reza Rahardian sebagai aktor termahal di Indonesia. Apalagi kali ini proyek sutradara pertama Gina S Noor, tentu dia ingin all out membawa film yang konon naskahnya telah di tuliskan sejak 10 tahun yang lalu.
Pembuka film ini cukup menarik bagaimana dua siswa yang duduk bersebelahan dan menjalin hubungan memiliki kasta IQ yang berbeda, Dara(Zara Jkt 48) menjadi bintang kelas sedangkan Bima(Angga Yunanda) selalu mendapat nilai terendah di kelas. Penggambaran ini cukup smooth dibandingkan film kehamilan remaja yang sejenis, Film MBA(2008) misalnya yang di bintangi Nikita Willy terkesan lebih vulgar atau Drama Korea Jenny Juno(2005) yang langsung hajar di awal tayangan.
Adegan selanjutnya beralih ketika mereka sedang memadu kasih di rumah Dara, kesan teenager dan milenial langsung terlihat. Dara seorang penggemar drama Korea fanatik mendandani Bima dengan lipstik untuk di unggah ke instagram. Disini agak aneh karena premis yang di ciptakan terkesan instan.Â
Pada keseluruhan adegan, rumah Dara tidak pernah sepi dari ayah (Dwi Sasono), ibu(Lulu Tobing) ataupun adiknya(Maisha Kanna) sehingga mereka melakukan hal yang kebablasan, hanya pada scene ini mereka semua hilang, kemana mereka?
Hubungan keduanya sempat renggang karena kecanggungan akibat tindakan tersebut namun semua terobati dengan tindakan romantis Bima menutupi tubuh Dara agar tidak terkena sinar matahari saat pelajaran olahraga. Sebuah romantisme receh yang digemari anak muda ala Dilanisme.
Alur cerita yang dibangun dalam film ini terkesan cepat. Dara mulai muntah-muntah karena makan kerang kemudian dia mulai sadar bahwa siklus menstruasinya tidak normal. Mereka mulai panik dan kebingungan mencari test pack, beli sendiri mereka malu akhirnya sarana ojek online menjadi solusi.Â
Dan seperti kita duga Dara hamil, reaksi yang ditunjukan Bima saat mengetahui Dara hamil sebenarnya sangat representatif perasaan yang bercampur aduk, akan tetapi aku kurang menemukan rasa sedih dari Dara padahal dalam hal ini dia jelas yang paling akan di rugikan karena cita-citanya untuk ke Korea akan tertunda
Film ini sebenarnya penuh metafora yang cerdas. Misalkan saat Dara membayangkan ukuran janinnya sebesar buah stroberi. Kemudian mereka sempat ingin menggugurkan kandungannya, gambaran jus stroberi yang hancur di pedagang kaki lima memberi kita alasan mengapa mereka menghentikan niatan tersebut.Â
Metafora lain yang dipilih adalah ondel-ondel yang hadir di beberapa adegan, dalam budaya Betawi ondel-ondel merupakan simbol kesucian seorang wanita. Awalnya saat ondel-ondel diusir dari lapak penjual kerang menggambarkan kesucian Dara telah hilang saat dia hamil, kemudian saat Bima meminjam uang ke ondel-ondel tanpa kata seperti menunjukan kepasrahan atas apa yang dipilih Bima dan Dara.