"
"Jika Anda masih terganggu dengan pujian dan hinaan manusia, Anda masih hamba amatiran," begitu kata-kata yang tertulis di sebuah lukisan bergambar Gus Dur yang tertempel di dinding warung Wedangan Cangkir Blirik yang berlokasi di Jalan Banyuanyar Selatan Nomor 22B, Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari, Solo.Narasi dari Gus Dur yang dituliskan di lukisan tersebut tentu saja menarik perhatian. Siapa tidak mengenal sosok Gus Dur yang memiliki nama lengkap Abdurrahman Wahid?.Â
Beliau adalah Presiden ke-4 Indonesia yang menjabat di awal-awal berdirinya era reformasi pasca peristiwa besar demo dan krisis besar tahun 1998 serta dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia.
Gus Dur dilahirkan pada tanggal 7 September 1940 dan meninggal pada tanggal 30 Desember 2009. Beliau adalah cucu dari pendiri Nahdatul Ulama dan Pahlawan Nasional Indonesia, KH. Hasyim Asy'ari.
Beliau memiliki jasa besar dalam mendamaikan dan menstabilkan keadaaan politik, ras, dan agama pasca peristiwa 1998. Sosoknya begitu diagungkan dan dikenal sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai pribadi yang revolusioner dan mampu menyatukan segala perbedaan yang ada di masyarakat.
Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur menghapuskan larangan terkait kaum minoritas seperti Tionghoa sehingga mereka akhirnya dapat tinggal di Indonesia dengan aman dan tentram berdampingan dengan masyarakat asli Indonesia.
Di samping sosoknya sebagai pribadi yang revolusioner, Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang humoris dan kerap melontarkan guyonan, bahkan kepada petinggi negara lain. Meskipun lucu, humor Gus Dur ternyata memiliki makna mendalam dan masih dikenang masyarakat hingga sekarang, salah satunya seperti yang tertulis di lukisan yang terdapat di Warung Cangkir Blirik tersebut. Â
Kata-katanya mengenai hamba amatiran karena orang tersebut masih terganggu dengan pujian dan hinaan manusia, menunjukkan kedalaman beliau dalam memahami manusia.Â
Di balik kata-katanya yang terkesan lucu tersebut, Gus Dur sepertinya ingin mengingatkan bahwa seseorang sebaiknya bersikap profesional dengan tidak terbuai dengan pujian dan hinaan. Seseorang harus mampu mengetahui makna di balik pujian dan hinaan yang diterimanya. Seseorang jangan mabuk kebayang karena pujian, terlena dengan kejumudan diri, angkuh akibat tak pernah ngaji, kemaruk meski sudah diuji dan lupa diri akibat tak pernah berkaca diri.
Gus Dur juga tampaknya ingin mengatakan bahwa manusia juga seringkali tipis telinga, suka sakit hati, mudah merajuk, pendendam, tak pernah sadar diri. Tak tahan mendengar kritik dan masukan yang ditujukan pada diri kita. Padahal kritik dan saran dapat membuat seseorang sadar dan taubat dari salah dan khilaf.
Meskipun kritikan diperbolehkan, kiranya perlu dilihat jenis kritikan yang disampaikan. Apabila kritikan untuk perbaikan maka itu sesuatu yang mulia. Tapi jika celaan membabi buta karena sentimen pribadi apalagi golongan, karena beda pandangan atau pilihan, maka tak ada kewajiban untuk didengarkan malahan wajib untuk ditegur dan diingatkan.