Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Ulang Tahun Ke-123 Bung Karno

6 Juni 2024   08:10 Diperbarui: 6 Juni 2024   10:58 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ketika aku masih bocah kecil, mungkin berumur 2 tahun Ibu telah memberkatiku. Dia bangun sebelum matahari terbit dan di dalam kegelapan di beranda rumah kami yang kecil, dia duduk tidak bergerak tanpa melakukan apa-apa dan tanpa bicara, hanya memandang ke arah timur dan dengan sabar menantikan datangnya fajar".

"Ketika aku terbangun dan mendekatinya, dia mengulurkan kedua belah tangannya dan meraih badanku ke dalam pelukannya, lalu pelan-pelan mendekap tubuhku ke dadanya. Beberapa saat kemudian dia berkata dengan lembut "Anakku, engkau sedang memandang matahari terbit, dan engkau anakku, kelak akan menjadi orang yang mulia, pemimpin besar dari rakyatmu karena Ibu melahirkan mu disaat fajar".

Demikian cerita Sukarno atau Bung Karno kepada Cindy Adam dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia mengenai kelahirannya di sebuah rumah sederhana tanpa halaman di Gang Pandean IV No. 40, Peneleh, Surabaya. Rumah yang kini oleh Pemerinta Kota Surabaya dijadikan museum menjadi saksi tempat lahir Soekarno atau Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, pada 6 Juni 1901 atau 123 tahun yang lalu.

Tahun lalu Penulis pernah berkunjung ke rumah tempat kelahiran Bung Karno tersebut dan di dinding ruang tamu terdapat tulisan dari pernyataan Bung Karno, "Saya dilahirkan di Surabaya, jadi saya arek Suroboyo".

Tulisan tersebut diambil dari pernyataannya saat menghadiri penerimaan gelar honoris causa (HC) ke-25 untuk di dirinya pada tahun 1964 di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Dalam pidatonya, ia meminta melakukan koreksi mengenai asal-usul tempat kelahirannya, bukan di Kota Blitar, melainkan di Kota Surabaya.

"Satu koreksi kecil kepada rektor yang ditulis dalam piagam yang dibacakan oleh Bung Karno adalah ia mengatakan, 'Saya dilahirkan tanggal 6 Juni 1901 di Blitar, itu salah. Saya dilahirkan di Surabaya, jadi saya arek Suroboyo'," ungkap Bung Karno.

Meskipun demikian, walau Bung Karno telah mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya lahir di Surabaya, namun masih banyak yang mengira bahwa tempat lahir Bung Karno di Blitar, tempat kediaman kedua orang tua. Bahkan seperti pengakuan Sukardi Rinakit, penulis teks pidato Presiden Joko Widodo, situs Tropenmuseum.nl, pun masih menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Blitar:

"Soekarno (ook wel gespeld als Sukarno), geboren als Kusno Sosrodihardjo, Blitar, 6 Juni 1901- Jakarta 21 Juni 1970) was de eerste president van de Republiek Indonesia". (Terjemahan: Soekarno (juga dieja Sukarno), lahir Kusno Sosrodihardjo, Blitar, 6 Juni 1901- Jakarta 21 Juni 1970) adalah presiden pertama Republik Indonesia).  

Terlepas dari polemik tempat kelahirannya, Bung Karno, seperti dikatakan Ben Anderson, pada dasarnya adalah manusia zamannya: masa pergerakan kebangsaan yang penuh lintasan pemikiran dan aksi dari seluruh dunia.

Dengan lahir pada 1901, Bung Karno menjadi salah seorang yang beruntung bisa belajar dari pemikiran para perintis-perintis besar gerakan-gerakan pembebasan di Asia dan di Timur Tengah seperti Jos Rizal, (pahlawan dan martir nasional Filipina lahir pada tahun 1861 dan dieksekusi  penjajah Spanyol pada 1896), Sun Yat-sen (tokoh besar nasionalisme Tionghoa, lahir pada tahun 1866, dan meninggal tahun 1925 atau dua tahun sebelum PNI dibentuk), Mahatma Gandhi (tokoh nasional India yang lahir pada tahun 1869, dan sudah terkenal di seluruh dunia ketika Bung Karno anak-anak) dan Mustafa Kemal Atatrk (Presiden pertama Turki kelahiran 1881 dan menjabat sebagai presiden dari 1923-1938, masa ketika Bung Karno masih kuliah HBS).

Dengan lahir pada 1901 pula, Bung Karno kecil mendengar kemenangan Jepang atas Rusia di tahun 1905, kemenangan yang mampu menginspirasi negara-negara lain untuk bangkit dan percaya diri bahwa bangsa Asia bukan bangsa yang inferior dibandingkan bangsa Eropa. Bahwa bangsa Asia dapat membebaskan diri dari praktik imperialisme dan kolonialisme di kawasan Asia.

Bagi bangsa Indonesia sendiri, yang saat itu dijajah Belanda , kemenangan Jepang atas Rusia mendorong semangat pergerakan nasional Indonesia, memberikan keyakinan kepada tokoh-tokoh nasionalis Indonesia bahwa mereka bisa seperti Jepang, yang berasal dari Asia. Bahwa bangsa Indonesia bisa mengalahkan bangsa Eropa, yaitu Belanda. Bangkitnya semangat nasionalisme di Indonesia dapat dilihat dari lahirnya organisasi-organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo pada 1908

Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di awal abad ke-20 dan belajar dari perjuangan dan pemikiran tokoh-tokoh besar berbagai negara, Bung Karno bukan hanya mengagumi tokoh-tokoh tersebut, tetapi juga belajar bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia harus menjadi satu bagian dari gerakan emansipasi dari seluruh dunia jajahan.

Bukan hanya melihat gerakan kemerdekaan sebagai satun bagian dari gerakan emansipasi, seperti disebutkan dalam pidatonya di hadapan sidang Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan 1 Juni 1945, Bung Karno melihat bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, namun jembatan emas, bahwa di seberangnya jembatan itulah disempurnakan masyarakatnya.

Oleh karena itu, Bung Karno melihat bahwa dalam hal berdirinya negara Indonesia adalah negara yang semua untuk semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun yang kaya, tetapi semua buat semua. Oleh karena itu pula Bung Karno melihat bahwa prinsip pertama yang baik untuk menjadi dasar Indonesia merdeka adalah kebangsaan. Prinsip lainnya adalah kemanusiaan atau internasionalisme, kerakyatan, kesejahteraan sosial dan Indonesia merdeka berdasar ketuhanan yang maha esa. Prinsip-prinsip yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.

Kini, setelah 79 tahun lahirnya Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan RI dan 54 tahun wafatnya Bung Karno pada 21 Juni 1970,  penyempurnaan masyarakat di seberang jembatan emas seperti yang dicita-citakan Bung Karno masih terus berlangsung. Tentu saja jalan panjang masih membentang dan perlu kerja keras dan gotong royong untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dan lazimnya manusia yang selalu ingin dikaruniai umur panjang dan kesehatan, Bung Karno pun ingin berumur panjang, hidup seribu tahun lagi. Seperti dituliskan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1965, "Salah seorang penyair kita menyatakan ingin hidup seribu tahun lagi. Aku pun ingin hidup seribu tahun lagi. Tetapi hal ini tentu tidak mungkin. Tidak ada satu manusia pun yang mencapai umur seribu tahun. Tetapi aku mendoa, ya Allah ya Rabbi, moga-moga gagasan-gagasan dan ajaran-ajaranku itu akan hidup seribu tahun lagi!"

Doa Bung Karno terkabul. Sejauh Bangsa dan Negara Indonesia tetap berdiri maka sepanjang itu pula Bung Karno tetap hidup, bahkan bisa melampauinya. Untuk segala pengabdiannya bagi bangsa Indonesia dan kemanusiaan, semoga Allah SWT menempatkan beliau di tempat terbaik di sisi-Nya. (AHU)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun