Berbicara tentang makan siang gratis seperti yang dijanjikan pasangan calon Presiden Prabowo Subianto dan calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat kampanye pemilihan Presiden/Wakil Presiden, saya teringat akan ungkapan "Tidak ada makan siang yang gratis" atau "No free lunch"?
Ungkapan "Tidak ada makan siang yang gratis" yang muncul sejak awal tahun 1800an merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa hal-hal yang tampak gratis selalu memiliki biaya yang harus dibayar oleh seseorang. Ungkapan ini untuk menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam hidup yang benar-benar gratis.
Tapi apakah memang benar tidak ada sesuatu pun dalam hidup yang benar-benar gratis atau kalau disederhanakan apakah tidak ada makan siang yang benar-benar gratis?
Apabila kita melongok tradisi di sebagian besar daerah di Indonesia, maka kita akan mendapati bahwa ungkapan tidak ada makan siang gratis kurang tepat.
Apapun istilahnya, entah makan siang gratis atau makan gratis sehat, sesungguhnya pemberian makan gratis bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Makan gratis yang dikemas dalam berbagai istilah sudah menjadi tradisi dan kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam tradisi masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya dikenal pemberian makan gratis dalam setiap acara keagamaan. Makanan gratis tersebut disebut dengan nama nasi berkat. Nasi berkat yang juga biasa disebut dengan nasi besek, merupakan satu paket makanan yang biasanya terdiri dari nasi dan lauk pauknya seperti sayur, urap, gorengan, daging ayam, tempe, tahu, air minum dan jajanan yang ditaruh di dalam besek. Â Jika jaman dulu besek terbuat dari bambu, maka sekarang terbuat dari plastik.
Terkait nasi berkat ini, saya jadi teringat peristiwa saat masih kecil. Pada saat itu, seringkali saya menunggu kepulangan Ayah dari acara tahlilan yang diadakan tetangga agar bisa ikut menyantap nasi berkat yang dibawa Ayah.
Menurut sejarahnya, pemberian nasi berkat sendiri sudah ada sejak era Wali Songo, penyebar Islam di Nusantara.
Â
Kata berkat sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ziyadatul khair (bertambahnya kebaikan). Oleh karena itu, nasi berkat memiliki keberkahan atau barokah, yakni sesuatu yang baik ketika dibawa pulang dan dimakan.
Keberkahan selanjutnya, karena di dalam nasi berkat dibacakan doa, shalawat, dan ayat Al-Qur'an. Sehingga sesuatu yang dibacakan bacaan yang baik maka akan menjadi baik.
Selain nasi berkat, terdapat pula tradisi makan gratis yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun menurun untuk menyambut bulan suci Ramadan yang disebut munggahan.
Munggah sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa artinya naik. Sehingga munggahan dapat dimaknai sebagai naik ke bulan suci yang derajatnya lebih tinggi.
Aktivitas munggahan umumnya dilakukan dengan berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama, saling bermaafan, dan berdoa bersama. Terkait makanan yang disantap bersama, tidak ada aturan khusus mengenai menu makan bersama tersebut. Namun makanan yang biasanya disantap adalah nasi kuning atau nasi liwet lengkap dengan lauk pauknya seperti ayam bakar, ikan bakar, tahu dan tempe serta sambal.
Sementara di Sumatera Utara yang mayoritas masyarakatnya berasal dari Suku Batak, terdapat tradisi "mangupa upa" yaitu tradisi syukuran yang biasanya dilakukan masyarakat Batak. Tradisi tersebut dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur saat pernikahan, kelahiran, kenaikan pangkat, menempati rumah baru dan lain sebagainya. Layaknya di Pulau Jawa tradisi mangupa upa juga dilengkapi dengan sajian makan gratis.
Adapun di Kalimantan, terdapat istilah "warung gratis atau dapur gratis" yang dilakukan  masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan bersamaan dengan haul tokoh kharismatik Banjar yaitu Alm. Guru Zaini (dikenal sebagai Guru Sekumpul Martapura), dimana masyarakat secara gotong royong menyiapkan jamuan makanan untuk para tamu yang hadir di acara tersebut.
Dari beberapa contoh tradisi makan gratis di masyarakat Indonesia seperti tersebut di atas, tampak bahwa tradisi pemberian makan gratis biasanya melibatkan berbagai komponen masyarakat secara bersama dan gotong royong. Caranya antara lain dengan menyumbang bahan makanan seperti beras, telur, ayam, ikan mie kenduri, bahkan daging serta lainnya, dan tidak sedikit juga yang menyumbang tenaga. Dengan kebersamaan dan gotong royong tersebut maka alokasi penyiapan hidangan makanan gratis menjadi minim.
Dengan semangat gotong royong, masyarakat saling bekerja sama, saling membantu dan saling menghormati sesama. Oleh karena itu, sejalan dengan semangat dan jiwa gotong royong yang merupakan identitas bangsa Indonesia, implementasi gotong royong di tengah masyarakat perlu diapresiasi, dihidupkan, serta menjadi pembiasaan positif berdasarkan Pancasila.
Melalui sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, gotong royong dapat dimaknai sebagai  ibadah yang harus dijalankan oleh seluruh umat manusia. Sila yang kedua yakni Kemanusiaan yang Adil dan Berada, semangat gotong royong selalu diyakini berlandaskan atas azas kemanusiaan. Dalam sila ketiga tidak ada gotong rotong tanpa persatuan yang kokoh. Sila keempat menegaskan bahwa di dalam gotong royong pasti terdapat musyawarah untuk mencapai kata sepakat. Sedangkan yang terakhir, sila kelima merefleksikan tujuan akhir gotong-royong adalah untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa tebang pilih.
Akhirnya, dengan semangat seperti tersebut di atas, maka istilah tidak ada makan siang gratis tidak akan terjadi di Indonesia. Tradisi dan kearifan lokal masyarakata Indobesia di berbagai daerah memperlihatkan bahwa dengan semangat gotong royong maka pemberian makan gratis dapat dilakukan dan bisa dimulai dari lingkungan sekitar.
Ngomong-ngomong, apa nama tradisi pemberian makan gratis di daerah asal Kompasianers?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H