Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makan Gratis dalam Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia

4 Juni 2024   07:51 Diperbarui: 4 Juni 2024   09:36 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makan gratis, sumber gambar: Dokpri Aris Heru Utomo

Munggah sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa artinya naik. Sehingga munggahan dapat dimaknai sebagai naik ke bulan suci yang derajatnya lebih tinggi.

Aktivitas munggahan umumnya dilakukan dengan berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama, saling bermaafan, dan berdoa bersama. Terkait makanan yang disantap bersama, tidak ada aturan khusus mengenai menu makan bersama tersebut. Namun makanan yang biasanya disantap adalah nasi kuning atau nasi liwet lengkap dengan lauk pauknya seperti ayam bakar, ikan bakar, tahu dan tempe serta sambal.

Sementara di Sumatera Utara yang mayoritas masyarakatnya berasal dari Suku Batak, terdapat tradisi "mangupa upa" yaitu tradisi syukuran yang biasanya dilakukan masyarakat Batak. Tradisi tersebut dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur saat pernikahan, kelahiran, kenaikan pangkat, menempati rumah baru dan lain sebagainya. Layaknya di Pulau Jawa tradisi mangupa upa juga dilengkapi dengan sajian makan gratis.

Adapun di Kalimantan, terdapat istilah "warung gratis atau dapur gratis" yang dilakukan  masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan bersamaan dengan haul tokoh kharismatik Banjar yaitu Alm. Guru Zaini (dikenal sebagai Guru Sekumpul Martapura), dimana masyarakat secara gotong royong menyiapkan jamuan makanan untuk para tamu yang hadir di acara tersebut.

Dari beberapa contoh tradisi makan gratis di masyarakat Indonesia seperti tersebut di atas, tampak bahwa tradisi pemberian makan gratis biasanya melibatkan berbagai komponen masyarakat secara bersama dan gotong royong. Caranya antara lain dengan menyumbang bahan makanan seperti beras, telur, ayam, ikan mie kenduri, bahkan daging serta lainnya, dan tidak sedikit juga yang menyumbang tenaga. Dengan kebersamaan dan gotong royong tersebut maka alokasi penyiapan hidangan makanan gratis menjadi minim.

Dengan semangat gotong royong, masyarakat saling bekerja sama, saling membantu dan saling menghormati sesama. Oleh karena itu, sejalan dengan semangat dan jiwa gotong royong yang merupakan identitas bangsa Indonesia, implementasi gotong royong di tengah masyarakat perlu diapresiasi, dihidupkan, serta menjadi pembiasaan positif berdasarkan Pancasila.

Melalui sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, gotong royong dapat dimaknai sebagai  ibadah yang harus dijalankan oleh seluruh umat manusia. Sila yang kedua yakni Kemanusiaan yang Adil dan Berada, semangat gotong royong selalu diyakini berlandaskan atas azas kemanusiaan. Dalam sila ketiga tidak ada gotong rotong tanpa persatuan yang kokoh. Sila keempat menegaskan bahwa di dalam gotong royong pasti terdapat musyawarah untuk mencapai kata sepakat. Sedangkan yang terakhir, sila kelima merefleksikan tujuan akhir gotong-royong adalah untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa tebang pilih.

Akhirnya, dengan semangat seperti tersebut di atas, maka istilah tidak ada makan siang gratis tidak akan terjadi di Indonesia. Tradisi dan kearifan lokal masyarakata Indobesia di berbagai daerah memperlihatkan bahwa dengan semangat gotong royong maka pemberian makan gratis dapat dilakukan dan bisa dimulai dari lingkungan sekitar.

Ngomong-ngomong, apa nama tradisi pemberian makan gratis di daerah asal Kompasianers?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun