Banyak yang mengatakan bahwa Indonesa mestinya sudah cukup puas menjadi juara ke-4 Piala AFC U23 2024 di Qatar. Betapa tidak, berangkat dengan target minimum, lolos babak group alias delapan besar, Timnas U23 Indonesia justru lolos ke babak semi final. Hebatnya, untuk lolos ke babak semi final, timnas Indonesia menggusur tim kuat Korea Selatan lewat adu penalti.
Lolos hingga babak semi final, mimpi berikutnya pun muncul yaitu bisa bermain di Olimpiade Paris dengan dua pilihan. Pertama, setidaknya bisa menjadi juara ke-3 Piala AFC U23 2024; kedua, mengalahkan Guinea, juara ke-4 Piala Afrika U23.
Pilihan pertama telah gagal karena timnas Indonesia tidak berhasil melaju ke babak final setelah di semi final dikalahkan Uzbekistan dengan skor 0-2. Selanjutnya dalam pertandingan perebutan juara ke-3, timnas Indonesia dikalahkan Irak dengan skor 1-2.
Terakhir tinggal pilihan kedua yaitu mengalahkan sang juara ke-4 Piala Afrika yaitu Guinea pada pertandingan hidup mati di babak play-off memperebutkan satu tiket tersisa ke Olimpiade 2024 pada pertandingan Kamis, 9 Mei 2024, siang waktu Paris.
Pertandingan akan dilaksanakan di stadion di Clairefontaine-en-Yvelines sekitar 50 km barat daya Paris, Perancis., dan berlangsung tanpa sorak sorai penonton karena pertandingan digelar tertutup.
Kondisi pertandingan tanpa penonton bisa jadi dapat merugikan permainan timnas Indonesia yang selama pertandingan Piala Asia U23 2024 di Qatar selalu diramaikan dengan sorak sorai penonton masyarakat Indonesia yang hadir di stadion.
Terlepas dari ada atau tidak adanya penonton di stadion, timnas Guinea yang akan dihadapi timnas Indonesia juga bukan tim sembarangan. Kedudukannya sebagai juara ke-4 Piala Afrika U23 saja memperlihatkan bahwa timnas Guinea merupakan tim kuat yang mampu lolos babak penyisihan grup dan delapan besar, mengalahkan timnas kuat dari negara Afrika lainnya.
Belum lagi timnas Guinea ini juga diperkuat oleh para pemain yang biasa merumput di Perancis sehingga akrab dengan iklim dan budaya setempat seperti Saidou Sow (21 tahun) yang main di Ligue 1 Perancis, Strasbourg. Ada pula pemain-pemain Guinea yang bermain di negara-negara Eropa lainnya seperti Ilaix Moriba (21 tahun) yang disebut-sebut sebagai "mantan wonderkid Barcelona" yang sekarang main di Getafe ataupun Aguibou Camara (22) yang kini main di klub Liga 1 Yunani, Olympiacos.
Semua kondisi seperti tersebut di atas membuat impian Timnas Indonesia untuk bisa bermain kembali di Olimpiade, setelah terakhir kali bermain pada tahun 1956, menjadi sulit untuk terealisasi.
"Salah Shin Tae-yong dan Timnas Indonesia sendiri sih, kenapa sampai lolos ke semi final. Jadinya kan muncul mimpi tambahan untuk bisa bermain di Olimpiade 2024 ini dan mesti bertanding hingga babak play-off di Paris," ujar seorang teman
"Ngomong elo receh banget dan terkesan gampang menyerah. Ingat! kita mesti terbiasa mempunyai  mimpi besar yang mustahil (impossible dream), agar negara kita dibangun bukan hanya berdasarkan rutinitas dan "asas menyerah kepada nasib" tetapi juga ditentukan oleh mimpi besar. Ini mimpi besar meski datangnya menyusul alias mimpi tambahan," ujar seorang teman yang lainnya.
"Elo tau enggak? Memiliki mimpi besar yang kata orang mustahil akan membentuk budaya kerja keras, tidak kenal lelah, cinta akan bangsa dan negara. Mimpi besar yang muncul dari diri sendiri itulah modal untuk membangun sebuah bangsa yang besar," tambah rekan tersebut.
Si teman tersebut kemudian menjelaskan sejarah kemerdekaan Indonesia yang dibangun dari sebuah mimpi besar sebagai bangsa dan negara yang merdeka. Ketika di awal tahun 1900-an para pemuda menggagas dan merealisasikan konsep kebangsaan Indonesia melalui pembentukan organisasi kebangsaan seperti Boedi Oetomo, mereka belum tau kapan akan lahir negara Indonesia.
Begitu pun ketika Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tidak banyak yang mengira kemerdekaan Indonesia akan direbut secepat itu, mengingat bahwa kekuatan militer Jepang yang menduduki Indonesia masih sangat kuat. Tidak banyak pula yang mengira bahwa Jepang akhirnya takluk oleh kekuatan militer Sekutu, menyusul jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima.
Secara logika pun tidak ada yang mengira bahwa Amerika Serikat yang menaklukan Jepang justru tidak mencaplok Indonesia. Sebagai pemenang perang dunia kedua, Amerika Serikat memiliki hak atas negara yang dikalahkannya. Yang terjadi, justru Amerika malah terkesan memberikan "waktu" kepada Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Disinilah para pejuang kemerdekaan berupaya keras untuk menentukan nasibnya dengan merebut kemerdekaan dari penjajah. Sebelum tentara Sekutu yang dipimpin Inggris dan diboncengi Belanda menduduki Indonesia, Sukarno dan Muhammad Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
"Wah penjelasan elo kepanjangan, melebar sampai ke sejarah kemerdekaan," ujar si teman yang komentarnya dikritik
"Sekarang menurut elo, Indonesia bisa menang gak lawan Guinea," tanya kemudian
"Bisa lah, asal Erick Thohir gak masuk ke ruang ganti pemain, apalagi sampai kasih ceramah atau motivasi ke pemain," jawab si teman yang ditanya
"Waduh sampai segitunya ... gara-gara kemarin sering kasih nasihat di ruang ganti dan Indonesia kalah ya?"
"Ha ha ha becanda bro ... Enggak usah terlalu serius. Ada yang bilang, gara-gara terlalu serius dukung timnas Indonesia sampai bikin nobar besar-besaran, itu tidak bagus,".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H