Saya bersyukur karena berkat kehadiran Tiktok bisa mengenal sosok-sosok seperti Fahruddin Faiz dengan paparan filsafat-filsafatnya yang mudah dipahami ataupun penyair Zawawi Imron dan Joko Pinurbo dengan puisi-puisinya yang mengasyikan. Sosok ketiga orang ini kerap melintas di timeline saya.
Selain Zawawi Imron yang sudah berjumpa langsung dan beberapa kali menyapa dan berkomunikasi lewat whatsapp, saya belum sempat berjumpa Fahruddin Faiz dan Joko Pinurbo hingga akhirnya pagi ini mendengar kabar mengenai wafatnya penyair Joko Pinurbo yang kerap dipanggil Jokpin.
Jokpin yang lahir 11 Mei 1962 itu mengembuskan napas terakhir di usia 61 tahun di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Setelah sebelumnya sempat dirawat.
Di beberapa WAG saya, berita kepergiannya beredar luas bahkan diikuti dengan diskusi ringan yang membahas puisi-puisi almarhum.
Salah seorang teman saya, Budiman Hakim menulis di WAG sebagai berikut "Salah seorang penyair terkenal Indonesia meninggal dunia. Namanya Joko Pinurbo atau biasa dipanggil dengan Jokpin. Dia adalah seorang penulis puisi alumni Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan memiliki banyak karya yang terkenal, seperti Kamus Kecil, Anak Seorang Perempuan dan Pacar Kecilku."
Budiman kemudian menambahkan informasi tentang Jokpin  "Sebagai seorang sastrawan, Jokpin telah meraih berbagai penghargaan seperti Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015), dan South East Asian (SEA) Write Award (2014). Karya2nya juga telah diterjemahkan ke banyak bahasa antara lain, Inggris Jerman, Rusia dan Mandarin."
Sebagai seorang yang tidak mengenal Jokpin, saya tidak tahu kalau ia ternyata pernah menulis puisi tentang hari Paskah dengan narasi yang nyeleneh. Saya baru tahu ketika teman saya tersebut menulis "Sebagai seorang Katolik, dia juga menulis puisi tentang hari Paskah. Karena dia seorang penyair mbeling, puisinya terkesan nakal dan cenderung kontroversial. Akibatnya banyak yang menghujat dia gara-gara puisi yang berjudul 'CELANA IBU' itu."
Berikut adalah puisinya.
Maria sangat sedih
menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian
Yesus bangkit dari mati,
pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa
celana yang dijahitnya sendiri
dan meminta Yesus mencobanya.
"Paskah?" tanya Maria.
"Pas!" jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Dari pendapat para pengamat sastra, puisi tersebut memang terkesan mbeling atau nakal, tetapi sebenarnya memperlihatkan imajinasi dan kreativitas sang penyair yang luar biasa. Jokpin menjadikan celana dalam puisi sebagai sebuah simbol penting, simbol kasih sayang ibu terhadap anaknya.
Menurut para pengamat, penggunaan celana sebagai pakaian yang dikenakan oleh Yesus setelah kebangkitannya juga dapat diartikan sebagai simbol pemulihan dan kelahiran baru. Pemilihan kata-kata yang indah dan gambaran yang kuat memberikan dimensi emosional pada cerita.
Bahwa Jokpin sangat imajinatif dan kreatif juga dapat dilihat dari puisinya tentang "sedih", sedih yang tidak mendakik-dakik, sedih yang ternyata sederhana. Begini puisinya:Â
Sedih itu sederhana, makan sudah siap, kopi sudah cantik, hujan sudah romantis, rokok habis
Selamat jalan Jokpin, semoga tenang di alam sana dan bisa nampang di kuburan serta tidak memikirkan besok akan dikuburkan dimana, seperti dituliskannya di salah satu puisinya:
Celana 1
Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan?
Di Rumah Sakit
Kalender mengucapkan selamat tidur
Kepada mata ngantuk yang masih menyala
Jam dinding mengucapkan selamat tidur
Kepada dokter yang masih terjaga
Obat tidur mengucapkan selamat tidur
Kepada pasien yang masih berdoa
KTP mengucapkan selamat tidur
Kepada calon jenazah yang masih memikirkan besok akan dikuburkan di mana