Melalui surat-suratnya dari Ende, yang kemudian dimuat di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi dengan judul Surat-Surat Islam dari Endeh (ejaan yang benar saat ini Ende), Sukarno mengungkapkan pemikirannya tentang agama Islam dan umat Islam di Indonesia yang pada waktu itu diliputi kebekuan dan kekolotan. Di usianya yang masih sekitar 31 tahun, Sukarno berani bersuara kepada penjajah dan anak-anak negeri sendiri. Pemikiran yang bila kita baca kembali saat ini maka kita seperti membaca reportase keadaan Indonesia hari-hari ini.
Kembali ke jasa dan perjuangan RA Kartini, melalui surat-suratnya ke Rose Abendanon, RA Kartini juga rela memberikan beasiswa yang diterimanya pada 1903 untuk belajar ke Belanda kepada orang lain yang tidak dikenalnya. RA Kartini mengusulkan agar beasiswanya dapat dialihkan kepada pemuda Agus Salim yang dikenal karena kecerdasannya. RA Kartini sendiri tak saling kenal dengan Agus Salim.
Dalam suratnya, RA Kartini menulis "Bila tak mungkin, kami akan berterima kasih, seandaianya Salim dapat menerima jumlah 4800 gulden yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain."
Permintaan RA Kartini tersebut disetujui Pemerintah Belanda, namun Agus Salim menolak.Â
"Kalau pemerintah mengirim saya karena anjuran Kartini, bukan karena kemauan pemerintah sendiri, lebih baik tidak," ujar Agus Salim,Â
Meski pengalihan beasiswa tersebut kemudian ditolak sendiri oleh Agus Salim, namun langkah RA Kartini untuk mengalihkan beasiswa yang didapatnya bahkan mengupayakan dana tambahan, menunjukkan keluasan jiwa dan pemikirannya  terhadap arti penting pendidikan, bahwa pendidikan bukan sekedar bisa menulis dan membaca. Â
Sebagai bangsawan Jawa, RA Kartini sendiri beruntung berkesempatan membaca buku-buku, salah satunya adalah buku karya Multatuli berjudul Minnebrieven, sebuah buku mengenai penindasan dan pemerasan Pemerintah Belanda terhadap Indonesia.
RA Kartini juga membaca buku lain ialah karangan NY. C. Goekoop yang menguraikan perjuangan Hylda van Suylenderb membela hak-hak wanita di Negeri Belanda, salah satu  buku yang mengilhami Kartini untuk memperjuangkan emansipasi bagi kaum wanita Indonesia.
Akhirnya, dari RA Kartini kita belajar, bukan hanya tentang memperjuangkan hak-hak dan emansipasi wanita, tetapi juga tentang pentingnya menulis dan belajar sepanjang hayat. Dari RA Kartini (juga Sukarno) kita belajar bahwa dengan menulis (antara lain lewat surat-surat), maka namanya abadi melewati jamannya.
Merujuk perkataan salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, Â "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (AHU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H