"Bahasa Indonesia itu sebenarnya bahasa yang miskin kosakata dan ini benar banget terutama kalau dibandingkan dengan bahasa Arab atau bahasa Inggris," begitu narasi di siniar (podcast) The Indah Show yang diunggah akun X @korbanreceh_, Jumat (5/4/2024).
Narasi bahwa Bahasa Indonesia miskin kosakata kemudian ramai diperbincangkan netizen atau warga net. Bukan hanya diperbincangkan, muncul pula pertanyaan tentang bagaimana jika ada yang lebih suka menggunakan bahasa asing daripada Bahasa Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu saya informasikan bahwa dalam siniar The Indah Show tersebut, percakapan antara host (Indah) dan tamunya (Cinta Laura) dilakukan dalam bahasa campur-campur, Bahasa Inggris dan Indonesia, yang kita kenal sebagai 'bahasa anak Jaksel (Jakarta Selatan)'.
Walau disebut sebagai bahasa gaul anak Jaksel, pada prakteknya gaya bahasa campur-campur ini tidak hanya digunakan oleh anak Jaksel semata. Begitupun, tidak semua anak Jaksel menggunakan gaya bahasa seperti ini. Â
Percakapan menggunakan bahasa campur-campur dalam pergaulan sekarang ini sebenarnya biasa-biasa saja. Kenapa? Karena sesungguhnya bahasa itu adalah salah satu hal yang sangat dipengaruhi oleh budaya. Ketika suatu budaya masuk ke suatu daerah, maka pengaruh budaya pun ikut masuk, termasuk bahasa yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi bahasa keseharian. Anak sekarang menyebutnya bahasa gaul.
Fenomena hadirnya "bahasa anak jaksel" sebagai bahasa gaul di Jakarta, bukanlah satu-satunya. Di ASEAN sendiri kita mengenal 'Singlish' yang mencampurkan Bahasa Inggris dengan bahasa warga lokal yang multi-budaya, seperti Melayu dan Hokkian. Di Filipina muncul bahasa gaul yang disebut "Taglish" yang mencampurkan Bahasa Inggris dengan bahasa yang digunakan masyarakat Filipina yaitu Bahasa Tagalog.
Terkait dengan kekhawatiran bahwa masyarakat Indonesia akan lebih suka menggunakan bahasa asing daripada Bahasa Indonesia, saya melihatnya berlebihan. Kenapa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sekarang mari kita bahas bersama dengan mengawalinya dari sejarah kelahiran Bahasa Indonesia. Kalau melihat sejarahnya, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang relatif muda jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain.
Bahasa Indonesia lahir dari kesepakatan atau ikrar pemuda dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta atau 96 tahun yang lalu alias belum seratus tahun. Bandingkan dengan bahasa-bahasa lain seperti bahasa Latin, Yunani, Mandarin, Arab, Inggris dan lain sebagainya yang usianya sudah ratusan tahun.
Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam Ikrar Pemuda pun, sebetulnya adalah bahasa Melayu modern yang menjadi Lingua Franca di Nusantara, yang pada saat itu memiliki beragam bahasa. Lingua Franca adalah sebuah bahasa yang secara sistematik digunakan untuk sarana komunikasi antara pihak-pihak yang tidak memiliki kesamaan bahasa.
Seperti dijelaskan oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Prof E Aminudin Aziz di Kompas.com (07/04/2024) "Bahasa Indonesia baru berkembang dan dinamakan sebagai bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928".
Ditambahkan oleh Prof Aminudin bahwa dalam usia yang belum seabad, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring sudah memuat 120.549 kosakata. Jumlah tersebut terdiri dari 55.347 entri dasar (45,91 persen), 28.116 kata turunan (23,32 persen), 33.432 gabungan kata (27,73 persen), 2.103 peribahasa (1,74 persen), 276 idiom (0,23 persen), 1.186 ungkapan (0,98 persen), dan 89 varian (0,07 persen).
"Tahun ini kami sedang berproses dalam penambahan kosakata di KBBI untuk mencapai 200.000 entri," ujar Prof. Aminudin.
Ia pun menambahkan bahwa kendati masih relatif muda, namun bahasa Indonesia berkembang sangat cepat. Jauh lebih cepat daripada perkembangandaripada perkembangan bahasa induknya, yaitu bahasa Melayu.
Selanjutnya, setelah membahas sejarah kelahiran Bahasa Indonesia, sekarang kita kembali ke pembahasan bahwa bahasa dipengaruhi budaya. Hadirnya kosakata dalam Bahasa Indonesia, seperti siniar, cakram keras, perangkat keras, perangkat lunak, tangkapan layar, tetikus, borang, unduh, unggah dan sebagainya, tidak terlepas dari hadirnya budaya modern dan kemajuan teknologi yang berasal dari negara-negara maju yang menggunakan Bahasa Inggris.
Begitupun hadirnya kosakata "sahabat peradilan" yang berasal dari Bahasa Latin "Amicus Ciruae", tidak terlepas dari budaya hukum yang berawal dari jaman Yunani dan Romawi, ratusan tahun lalu, yang menggunakan Bahasa Latin.
Sebaliknya, meskipun Bahasa Inggris sudah berusia ratusan tahun, penutur Bahasa Inggris  pun tidak segan-segan menyerap kosakata Bahasa Indonesia karena mereka tidak punya konsep budayanya. Sebagai contoh, bahasa Inggris tidak memiliki konsep kata untuk "amuk" dan "sarung", atau macam-macam jenis makanan turunan dari beras serta nasi.
Akhirnya, kembali ke narasi bahwa "Bahasa Indonesia itu sebenarnya bahasa yang miskin kosakata", kita tidak perlu baper (bawa perasaan) dan bereaksi berlebihan. Justru kita perlu berterima kasih karena sudah diingatkan secara tidak langsung untuk bersama-sama memperkaya kosakata Bahasa Indonesia dan mempergunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jangan biarkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bekerja sendirian dan setelah berhasil menemukan padanan kata dari bahasa asing, kita justru tidak pernah menggunakannya.
Mari kita tunjukkan atma dan karsa yang kalis untuk mengajarkan Bahasa Indonesia kepada kaum yuwana dan sujana agar mereka paham dan mengerti. Paham artinya? Kalau tidak, begini artinya, atma=jiwa, karsa=niat, kalis=suci, yuwana=muda, anak-anak dan sujana=pandai.
Salam Bahasa Indonesia, Salam Bahasa Persatuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H