Indonesia adalah sebuah negara yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, agama, bahasa, Â latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi, hingga pola pikir. Tidak mengherankan apabila semboyan bangsa Indonesia juga berkaitan dengan keberagaman, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika inilah, secara tidak langsung terbentuk kesadaran di masyarakat Indonesia mengenai perlunya bersikap toleran yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, perbedaan adalah keniscayaan atau sesuatu yang tidak bisa tidak. Oleh karena itu toleransi dibutuhkan untuk menghadapi keberagaman atau perbedaan. Bukan hanya toleransi dalam hal agama, namun bisa toleransi dalam berbagai hal, antara lain suku, ras, golongan, kemampuan, ketertarikan dan sebagainya.
Oleh karena itu pula, ketika kita bercerita tentang toleransi maka bukan cerita tentang mayoritas - minoritas. Toleransi juga bukan cerita tentang membenarkan keyakinan yang berbeda-beda. Toleransi merupakan cerita tentang keberanian untuk menghormati dan menghargai perbedaan di antara kita, agar hidup tetap rukun dan damai.
Keberanian untuk menghormati dan menghargai perbedaan ini lah yang saya lihat di  Pondok Pesantren Walisongo di kaki Gunung Meja, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari pondok pesantren yang sangat bersahaja ini terdapat benih-benih toleransi yang terus dijaga dan dipelihara menjadi pohon rindang yang menghembuskan angin kedamaian dan membawa kesejukan bagi Indonesia.
Hembusan angin kedamaian dan semangat menjunjung toleransi sangat nyata terlihat setiap kali memasuki area pondok Pesantren Walisongo.
Saya teringat saat pertama kali berkunjung ke Pesantren Walisongo pada sekitar tahun 2019, saya disambut santri-santri berbaju koko dan satriwati berhijab. Mereka didampingi dua orang Frater (calon imam/pastor) bergamis putih menyambut kedatangan rombongan kami di halaman masjid As-Syukur.
Masjid tersebut merupakan salah satu bangunan, selain asrama santri dan sekolah, yang berada di komplek pesantren yang dipimpin oleh Siti Halimatus Sadiyah, putri dari pendiri pesantren, Alm K.H Mahmud EK.
Awalnya saya kaget dengan kehadiran kedua frater tersebut di pondok pesantren. Saya masih ingat pertanyaan saya pertama ke mereka, "Maaf, kalau tidak salah anda dari seminari Santo Yosef kan?". Saya bertanya seperti itu karena sebelumnya pernah melihat keberadaan mereka berdua saat berkunjung ke Seminari Santo Yosef di Ende.
"Benar sekali bapak, kami berdua memang dari sana," jawab salah seorang Frater.
Dari perbincangan selanjutnya dengan Siti Halimatus Saidayah atau oleh para santri biasa dipanggil Ibu Nona, barulah saya tahu bahwa keberadaan 2 orang Frater tersebut bukan sekedar bagian dari tim penyambutan.
Menurut Ibu Nona, mereka berdua berada di pondok pesantren sebagai bagian dari kerjasama antara Pondok Pesantren Walisongo dan  konggregasi Serikat Sabda Allah - Societas Verbi Devini (SVD) yang sudah berlangsung sejak masa awal pendirian pondok pesantren. Mereka mengajar musik, bahasa Inggris dan komputer.
Bukan hanya itu, di tengah tugasnya melakukan pelayanan jemaahnya, kedua Frater tersebut diberi tanggung jawab untuk mengurus asrama di pondok pesantren dan mendampingi anak-anak belajar, membangunkan santri untuk sholat Subuh dan belanja ke pasar untuk membeli bahan makanan pokok untuk konsumsi di pondok.
Ketika saat itu saya konfirmasi ke pimpinan SVD Ende, Romo Lukas Aja, diketahui bahwa pemagangan para calon Pastor di pondok pesantren adalah agar mereka bisa belajar mengenai Islam yang sesungguhnya, Islam yang rahmatan lil alamin. Bukan Islam yang penuh kekerasan seperti yang sering dihadirkan di media sosial.
Dari penuturan di atas, terlihat bahwa kehidupan beragama di masyarakat Ende sejatinya telah terjalin dengan baik sejak lama karena adanya toleransi yang kuat antar warga Muslim dan Katholik. Sikap yang hingga saat ini terus hidup dan dipelihara oleh masyarakat di Ende. (AHU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H