Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rhoma Irama, Begadang dan Sejarah Indonesia

12 Februari 2024   14:09 Diperbarui: 12 Februari 2024   22:27 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rhoma Irama Input sumber gambar: Kompas

Bagi masyarakat Indonesia, lagu "Begadang" yang diciptakan Rhoma Irama pada tahin 1970-an bukanlah lagu yang tidal asing lagi. Bahkan menurut Iwan Fals, seperti disampaikan oleh antropolog dan sosiolog Fachry Ali dalam podcast "Bisikan Rhoma Irama" belum lama ini, Begadang merupakan lagu terpopuler kedua di Indonesia setelah Indonesia Raya.

Bukan hanya menyampaikan fakta bahwa Begadang merupakan lagu terpopuler kedua di Indonesia, Fachry juga menguraikan fakta antropologis dan sosiologis dari lagu-lagu yang diciptakan Rhoma Irama lainnya. 

Menurut Fachry, kalau tidak ada Rhoma Irama maka mungkin sejarah Indonesia akan berbeda. Menurutnya, keberadaan Rhoma Irama tidak terlepas dari sejarah Indonesia. Ketika Rhoma Irama yang lahir pada 1946 (setahun setelah Proklamasi kemerdekaan RI) dan mulai bermusik di usia remaja, masyarakat Indonesia sedang mengalami masa transisi dari periode Soekarno (1959-1967) ke Soeharto (1967-1998).  

Pada tahun 1959-1967 tersebut, apa yang disebut sebagai modernisasi sedang dalam keadaan terkekang atau terhambat karena faktor pandangan politik. Bagi Soekarno yang penting adalah revolusi terlebih dahulu karena bagi pengikut Soekarno revolusi belum selesai.

Sehingga masyarakat agrarisnya bertahan, jadi pandangan mereka bukan melakukan modernisasi ekonomi melainkan modernisasi ideologi atau politik, ekonomi tidak berjalan. Ketika Rhoma Irama remaja, itu adalah transisi dari masa Soekarno ke Soeharto. Ketika masa Soeharto atau Orde Baru inilah mulai dilakukan pembangunan ekonomi besar-besaran tengan datangnya investor asing sehingga muncul keterkejutan massa. Karena selama bertahun-tahun sejak merdeka di tahun 1945 hingga 1967 tidak ada perubahan sedemikian cepat dan investasi ekonomi besar-besaran.

Menurut Fachry, Rhoma Irama yang hadir saat itu, secara instingtif mungkin tidak disadari sebenarnya membawa perasaan atau budaya tradisional bergerak ke modern. Pada saat itu, ketika massa  bergerak dari desa ke perkotaan (urbanisasi) dan tidak mempunyai pedoman dalam konteks budaya, Rhoma Irama hadir lewat lagu-lagunya yang menyapa mereka, salah satunya melalui "Begadang" yang menyangkut masyarakat miskin perkotaan. 

"Begadang, jangan begadang Kalau tiada artinya Begadang boleh saja Kalau ada perlunya," begitu cuplikan lirik lagu Begadang yang diciptakan pedangdut Rhoma Irama pada sekitar tahun 70-an.

Seperti judulnya, lirik lagu Begadang  memiliki sebuah nasihat untuk orang-orang yang memiliki kebiasaan begadang atau tidak tidur pada malam hari. Karena seperti yang diketahui, kalau begadang berdampak buruk untuk kesehatan.

Menurut Fachry, ketika  Begadang dibuat, masyarakat desa yang bergerak ke kota tanpa pendidikan yang memadai, bahkan sampai sekarang, tinggal di lorong-lorong perkampungan perkotaaan tidak ada yang menyapanya, kecuali Rhoma Irama. 

Jadi secara sosiologis atau antropologis, konsolidasi kekosongan perasaan terjadi lewat lagu Begadang.

"Hampir setiap orang tahu lagu itu, jangan-jangan Pak Harto  juga tahu lagu itu," ujar Fachry.

Dengan fakta-fakta sosiologi dan antropologis di atas, Fachry meyakini bahwa tidak salah apabila Rhoma Irama bisa disebut sebagai salah seorang aktor sejarah Indonesia.

Menyikapi penilaian Fachry Ali, Rhoma Irama sendiri bersikap merendah dan mengatakan bahwa ia sendiri tidak memahami tentang hal tersebut sebelum dijelaskan secara antropologis dan sosiologis. (AHU)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun