Jumat malam 5 Januari 2024 menjadi malam yang berkesan bagi penulis. Inilah untuk pertama kalinya penulis tampil di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang bersejarah untuk membaca puisi dalam pentas seni "Senyawa Seni Sastra Dan Budaya Dalam CelupanNya" yang diinisiasi seniwati Susilawati Susmono dan diselenggarakan oleh ISAQ Center dan Yayasan Riyadhatul Ihsan, di GKJ Jakarta Pusat.
Penulis bersama rekan di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Mohammad Sabri, berduet membacakan puisi karya Susilawati Susmono, seorang seniwati multi talenta yang telah banyak melahirkan karya seni, berjudul "Pancasila dan Kesaktiannya". Â Puisi ini merupakan puisi khusus yang ditulis Susilawati untuk menggambarkan mutiara hikmah nilai-nilai Pancasila.
Dalam pentas seni yang berjalan tanpa jeda dan tanpa pembawa acara, penulis dan rekan tampil berduet di bagian tengah acara. Ada rasa canggung saat akan tampil di GKJ yang megah dan memiliki sejarah panjang.
Dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Jakarta, dinaskebudayaan.jakarta.go.id, sejarah GKJ dimulai dari ide Gubernur Jenderal Belanda, Herman Willem Daendels pada tahun 1808, namun baru dapat direalisasikan oleh Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles pada 27 Oktober 1814. Rafles membangun GKJ di depan Pasar Baru, Jakarta.
Waktu pertama kali masuk ke panggung di GKJ, penulis merasakan adanya sedikit kekhawatiran ketika membayangkan akan menatap penonton yang memenuhi sekitar tiga perempat kapasitas GKJ yang mampu menampung sekitar 475 penonton.
Namun kekhawatiran tersebut sirna ketika berdiri di atas panggung dan menyaksikan bahwa para penonton di hadapan penulis tidak terlihat sama sekali alias gelap karena lampu memang sengaja dimatikan. Seolah di gedung tersebut hanya terdapat penulis dan rekan serta dua orang gitaris yang duduk di sudut panggung untuk mengiringi pembacaan puisi.
Dengan intonasi datar di satu bagian dan variasi tinggi di bagian yang lain serta pengucapan bunyi yang jelas, penulis mencoba membacakan puisi kata demi kata, berharap enak didengar, tidak membosankan dan tidak terdengar rata.
"Pancasila harus dikaji dan digali, kandungannya sangat berarti," begitu lirik awal puisi yang penulis bacakan. Sebuah baris lirik yang kuat dengan pesan bahwa Pancasila harus dikaji dan digali karena memiliki nilai-nilai yang berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Saat membacakan baris lirik pertama ini, penulis teringat akan ucapan Bung Karno dalam pidato di hadapan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945 yaitu "Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah".
Melanjutkan baris lirik pertama yang menekankan mengenai pengkajian dan penggalian Pancasila, baris kedua juga menekankan hal yang senada "Pancasila harus ditelaah dan diteliti, kemurniannya sangat tinggi".  Adanya keterhubungan antara baris pertama dan kedua ini mengingatkan penulis akan perintah Allah SWT dalam Surat Al Alaq ayai 1-5 dan pada ayat pertama berbunyi  "iqra` bismi rabbikalla khalaq (artinya  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan)".
Dalam surat ini Allah menjelaskan tentang proses pendidikan manusia mulai dari membaca, menulis, sampai hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh manusia kecuali karena petunjuk-Nya. Nah dalam kaitannya dengan pengkajian dan penggalian Pancasila, hal tersebut dapat dilakukan bila kita membaca dan terus membaca.
Selanjutnya, di baris ketiga yang berbunyi "Pancasila harus diyakini sepenuh hati, kesaktiannya sudah teruji," penulis dapat memahami pesan yang ingin disampaikan oleh si penulis puisi yaitu Susilawati bahwa Indonesia bisa bertahan sebagai suatu negara kesatuan hingga saat ini, meski memiliki beragam suku, agama dan bahasa, karena adanya Pancasila sebagai pemersatu bangsa yang sudah teruji melewati berbagai cobaan.
Penulis sependapat dengan Susilawati bahwa kesaktian Pancasila sudah teruji. Penulis pun teringat bagaimana saktinya Pancasila dalam menghadapi segala cobaan dan tantangan yang dihadapi, termasuk menghadapi upaya-upaya yang dilakukan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Namun demikian, agar kebesaran Pancasila tetap mengakar di bumi, maka "Pancasila harus dipupuk dan disirami" seperti tertulis di baris-baris selanjutnya. Pancasila harus menyala jangan mati, kebangkitannya terdapat pelita hati.
Ketika rekan penulis, Sabri, usai membacakan baris terakhir yang berbunyi "Pancasila harus klimaks lebur di hati, ketentraman masuk tak kan didustai," penulis pun merasa lega karena akhirnya selesai duet pembacaan puisi ini.
Peenulis pun merasakan klimaks ketika para penonton, yang tidak terlihat wajahnya, memberikan aplaus dan tepuk tangan yang meriah.
Kami berdua pun mengucapkan terima kasih dan sampaikan salam yang biasa kami lakukan di setiap acara BPIP yaitu "Salam Pancasila" kepada para penonton yang memberikan tepuk tangah meriah. Senang rasanya pembacaan puisi berjalan dengan lancar.
Terima kasih juga kepada Susilawati Susmono, ISAQ Cenrter dan dan Yayasan Riyadhatul Ihsan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk membaca puisi di GKJ yang megah dan bersejarah.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H