Kini tradisi-tradisi unik yang sarat dengan kearifan lokal tersebut dapat dikatakan sudah jarang dilakukan, apalagi di era covid. Kebiasaan bermaafan dengan berkumpul dan berjabat tangan sudah tergantikan oleh silahturahmi daring.Â
Apabila menjelang tahun 2000-an silahturahmi daring diawali dengan pengiriman pesan SMS berbayar per pesan yang terkirim, maka kini lewat internet pengiriman pesan bisa dilakukan relatif tanpa batas dan bisa tatap muka lewat video call, baik berdua ataupun bersama-sama (video conference), tanpa biaya berlangganan untuk penggunaan aplikasi.
Karena itu tidak ada yang keliru dengan adanya pergeseran tradisi bermaafan secara daring, terlebih di era covid kita dituntut untuk jaga jarak. Secara prinsip tidak menjadi masalah karena intinya saling memaafkan adalah niat meminta maaf dan memberi maaf.Â
Jika setiap saat orang berkenan menaklukkan gengsi kediriannya untuk meminta maaf saat berbuat salah, dan sebaliknya dengan legawa memberikan maaf, maka tujuan bermaafan dapat tercapai.Â
Dengan bermaafan maka tak akan ada konflik yang bertahan lama, apalagi berujung pada kekerasan.
Namun secara pribadi, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Secara umum tidak ada aura personal dari setiap pesan yang diterima.Â
Kalimat atau kata-kata yang dikirim pun tidak terasa kekhususannya karena sekedar menyalin (copy paste) dari pesan yang sudah ada. Jabatan tangan atau pelukan tidak bisa tergantikan oleh pesan-pesan yang dikirim secara instan karena berpandangan teknologi mempermudah semua urusan.
Saya pun merasa bahwa bertemu secara langsung lebih baik daripada melalui SMS, Whatsapp, dan lainnya, karena media sosial tak bisa membawa mimik wajah, dan emosi tidak ikut.Â
Saat ketemu langsung kita berjabat tangan, berpelukan, ada mimik wajah dan kata-katanya yang bisa didengar dengan penghayatan.
Iya tetapi sekarang kan masih covid dan kita mesti menjaga jarak untuk mencegah penularan virus covid?