Mengisi libur Natal 2020, pada Jumat Malam (25/12-20) Kompas TV menayangkan salah satu materi tour Stand Up Comedy Pandji Pragiwaksono saat melakukan tour keliling dunia yang puncaknya digelar di Plenary Hall, JCC, Jakarta pada awal 2019.Â
Di hadapan ribuan penonton, saat itu belum ada Covid sehingga ribuan penonton bebas berkumpul, Pandji menyampaikan salah satu cerita tentang profesi seorang temannya yang alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB).
"Coba kalian terka, profesi apa yang sekarang ini digeluti rekan saya yang alumni FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) ITB tersebut? Coba sebutkan saja beberapa profesi," demikian pertanyaan Pandji kepada para penonton.
Para penonton pun kemudian menyebutkan beberapa profesi yang kemungkinan berkaitan dengan latar belakang pendidikan temannya Pandji tersebut seperti animator, desainer grafis, perancang mode dan sebagainya. Karena memperkirakan Pandji akan melucu, maka ada juga beberapa yang memberikan jawaban yang jauh dari latar belakang pendidikan temannya Panji seperti pengacara.
Mendengar jawaban para penonton yang rata-rata memberikan jawaban terkait profesi-profesi yang umumnya dikenal masyarakat selama ini, Pandji hanya tersenyum dan kemudian menjawab, "Kalian tahu tidak, teman saya tersebut ternyata sekarang berprofesi sebagai atlet yoyo, iya atlet Yoyo."Â
Sambil menjawab, Pandji pun memperagakan cara bermain Yoyo untuk meyakinkan jawabannya. Penonton pun gerrr dan tidak mengira akan jawaban Pandji.
"Terbayang tidak bahwa ada profesi sebagai atlet Yoyo?" tanya Pandji.
Panji pun kemudian menjelaskan bahwa profesi yang digeluti temannya tersebut memang terdengar sangat asing dan tidak berkaitan dengan latar belakang Pendidikan sang teman. Bagaimana mungkin sebuah permainan anak-anak dijadikan profesi. Tapi itulah kenyataannya, temannya yang alumni ITB tersebut justru berprofesi sebagai atlit Yoyo.
Berawal dari kesukaannya bermain yoyo dan kemudian terus berlatih teknik-teknik, dari yang sederhana hingga rumit, sang teman rajin ikut turnamen Yoyo dari tingkat lokal hingga hingga internasional.
Dalam beragam turnamen yang diikutinya tersebut ia kerap menjadi juara. Karena prestasinya, ia pun kemudian sering diundang menjadi juri dalam berbagai turnamen Yoyo tingkat nasional hingga internasional.
Dari cerita di atas, pesan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Pandji? "Jangan remehkan hobi atau kebiasaan yang ditekuni seseorang. Siapa tahu hobi atau kebiasaan tersebut malah menjadi jalan hidup atau profesi bagi yang bersangkutan. Profesi yang bahkan belum pernah kita bayangkan sebelumnya," begitu kira-kira penjelasan Pandji.
Dari cerita Pandji tersebut di atas, saya pun lantas teringat dengan Dr. Zaini Alif M.Ds, Ketua Umum KPOTI (Komite Permainan Rakyat dan Olah raga Tradisional Indonesia).Â
Berawal dari kesukaannya memainkan permainan tradisional, Dr. Zaini bisa mendokumentasikan sekitar 2.600 permainan tradisional Indonesia dan meraih Doktor dari ITB serta menjadi salah seorang pengajar di sana. Ia pun kerap memperkenalkan permainan tradisional Indonesia di mancanegara.
Bahkan bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dr. Zaini ikut mendorong dimasukkannya permainan tradisional Indonesia yang memuat nilai-nilai Pancasila yang disebut "Panca Main" ke dalam kurikulum pendidikan dan kalangan milenial. Panca main atau lima permainan tradisional tersebut adalah gasing, papancakan (dadu), bola lima, balap jajar dan catur Teuku Umar.
"Baiklah... terus apa hubungannya dengan "Sekolah Menteri" yang menjadi judul tulisan ini?" begitu mungkin pertanyaan pembaca
Begini, saya sengaja menjadikan cerita Panji prolog panjang tulisan ini karena ceritanya sangat berkaitan dengan suasana pergantian atau reshuffle kabinet yang baru saja dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 23 Desember 2020 lalu.
Banyak orang yang kaget ketika Budi Gunadi Sadikin (BGS), yang bukan dokter dan bukan peneliti di bidang kesehatan, diangkat menjadi Menteri Kesehatan menggantikan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K).
Yang mengagetkan banyak orang, BGS bukanlah seorang dokter dan selama ini Kementerian Kesehatan selalu dipimpin seorang dokter. BGS yang kelahiran Bogor, 6 Mei 1964 tersebut adalah lulusan pendidikan Strata Satu (S1) Fisika Nuklir Institut Teknologi Bandung (ITB) 1988.
Para netizen pun kemudian ramai-ramai membuat lelucon mengenai hal tersebut. Lucunya, yang jadi tokoh di lelucon justru Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Foto Sri Mulyani sebagai calon Menteri Keuangan pada Oktober 2019 muncul lagi. Pada foto yang memperlihatkan Sri Mulyani sedang melangkah keluar dari Istana Negara dan di tampak belakangnya terdapat tumbuh-tumbuhan ditambahkan keterangan "Kenapa ribut soal Menkes yang bukan berlatar belakang dokter? Tengoklah Bu SMI ini, beliau itu menjadi Menkeu, apa backgroundnya? Yak, tumbuh-tumbuhan."
Sementara di group-group WA juga ramai perbincangan mengenai pengangkatan BGS. Umumnya komentar yang mengemuka adalah "Kok bisa bukan dokter jadi Menkes" atau "untuk apa sekolah tinggi-tinggi, apabila lulusan SMP saja bisa jadi Menteri."
Komentar yang kedua jelas bukan ditujukan ke BGS, tapi tampaknya ke Ibu Susi Pudjiastuti yang tidak menamatkan bangku Pendidikan SMA tetapi sempat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi (2014-2019).
Terlepas dari ramainya perbincangan tentang latar belakang pendidikan seseorang sebelum diangkat menduduki jabatan menteri, pengangkatan BGS sebagai Menteri Kesehatan sekali lagi membuktikan bahwa siapa pun bisa menjadi menteri di bidang apapun tanpa harus lulus sekolah profesi tertentu yang ada di kementerian/Lembaga yang akan dipimpinnya.
Siapapun bisa menjadi menteri kabinet di Indonesia sepanjang Presiden sebagai kepala eksekutif pemerintahan memilihnya. Presiden memiliki hak preogratif untuk memilih dan mengangkat Menteri-menteri dalam kabinetnya.
Di Indonesia tidak ada sekolah khusus menteri yang mendidik seseorang menjadi pimpinan birokrasi di kementerian/lembaga. Kalau pendidikan profesi banyak bertebaran di Indonesia, mulai dari pendidikan profesi dokter, perawat, diplomat, advokat, notaris, jaksa, guru, dosen, polisi, tentara, pilot. pelaut dan sebagainya.
Dalam era kabinet Presiden Jokowi sendiri, pengangkatan seseorang menjadi menteri yang berpendidikan "tidak sesuai dengan profesi tertentu," juga pernah dilakukan sebelumnya.
Di periode pertama, Presiden Jokowi mengangkat Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan meski Susi bukan sarjana perikanan. Susi adalah pengusaha di sektor perikanan dengan pendidikan formal sekolah menengah.
Di periode kedua, Presiden Jokowi mengangkat Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nadiem bukan sarjana pendidikan atau akademisi di perguruan tinggi seperti sebelum-sebelumnya. Nadiem adalah lulusan alumni sekolah bisnis di Harvard dan pendiri Gojek. Masih di periode yang sama, Presiden Jokowi pun memilih Fachrul Razzi sebagai Menteri Agama meski latar belakangnya adalah mantan anggota TNI.
Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto bahkan lebih banyak lagi memilih menteri-menteri yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang dipandang terkait dengan tugasnya di kementerian/Lembaga.Â
Soeharto pernah memilih Adam Malik, seorang wartawan dan politikus, sebagai Menteri Luar Negeri meski beliau bukan sarjana dan hanya berpendidikan sekolah rakyat. Bukan hanya sebagai Menteri, Adam Malik juga diangkat sebagai Wakil Presiden RI. Masih di masa Orde Baru, Presiden Suharto juga mengangkat para jenderal TNI menjadi menteri di banyak bidang seperti Menteri Agama dan Menteri Perhubungan.
Dari riwayat pengangkatan para Menteri tersebut, tampak bahwa seseorang tidak perlu mengikuti dan lulus sekolah khusus menjadi menteri karena memang tidak ada sekolahnya. Yang dibutuhkan adalah bekerja sungguh-sungguh sesuai dengan minat dan keahliannya. Biarlah masyarakat dan waktu yang membuktikan hasil kerjanya.
Latar belakang pendidikan memang penting, tetapi bukan satu-satunya yang berpengaruh dalam penunjukkan Menteri. Karena fungsi pendidikan pada dasarnya adalah untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, kepribadian agar peserta didik dapat menjadi pribadi yang lebih baik.
Mengenai latar belakang pendidikan dan profesi yang akhirnya digeluti, saya kemudian teringat akan banyaknya lulusan sekolah teknik atau pertanian yang justru bekerja di sektor perbankan, salah satunya adalah BGS yang pernah menjadi Direktur Utama Bank Mandiri.
Saya pernah bertanya kepada teman-teman yang bekerja di HRD perbankan mengenai alasan diterimanya lulusan non-ekonomi/manajemen/akuntansi untuk bekerja di bank.Â
Menurut teman saya tersebut, bank menerima lulusan teknik atau pertanian karena yang dicari bukan kemampuan teknis mengenai ekonomi dan keuangan, tetapi yang dicari adalah kemampuan berpikir, watak, dan kepribadian yang baik. Kemampuan teknis mengelola ekonomi dan keuangan serta perbankan bisa diajarkan setelah diterima menjadi pegawai.
"Jadi jangan heran apabila banyak sekali lulusan perguruan tinggi pertanian di Bogor tidak bekerja sebagai petani atau ahli pertanian tetapi justru menjadi bankir, wartawan atau profesi non pertanian lainnya. Karena yang dicari adalah kemampuan berpikir, watak dan kepribadiannya," begitu komentar salah seorang teman saya.
Saya pun mengamini apa yang dikatakan teman saya tersebut. Dan dari membaca riwayat pengangkatan para menteri, saya mencatat bahwa dengan bekerja sungguh-sungguh dan ikhlas sesuai minat dan keahliannya, maka suatu pekerjaan akan terlihat hasilnya.Â
Selain yang bersangkutan, maka orang lain pun akan dapat melihat dan menilai track record kinerja atau prestasi seseorang. Track record inilah yang kemudian bisa menjadi pertimbangan untuk menduduki suatu jabatan tertentu, termasuk jabatan menteri. Untuk jabatan menteri, tentu saja yang menilai adalah Presiden yang akan menjadi atasannya.
Susi Pudjiastuti kiranya bisa menjadi salah satu contoh yang baik. Meski ia bukan sarjana perikanan, namun track record-nya sebagai pengusaha perikanan yang gigih dan berhasil telah menginspirasi Presiden Jokowi untuk mengangkatnya menjadi seorang Menteri KKP.
Begitu pun dengan BGS. Meski bukan seorang dokter, ia sesungguhnya memiliki track record yang bisa dikaitkan dengan dunia kesehatan. Sebelum menjadi Menteri Kesehatan, BGS adalah Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. BGS bertanggung jawab membantu Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Doni Monardo, di bidang Kesehatan.
Susi, BGS dan banyak tokoh lain yang pernah dan sedang menjabat membuktikan bahwa meski tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan profesi di suatu kementerian/lembaga, namun dengan track record pekerjaan yang baik maka bisa saja terpilih menjadi menteri dan memimpin suatu kementerian/lembaga.
"Dan jangan lupa berdoa yang khusyu agar cita-cita atau keinginan (menjadi menteri) tercapai. Jangan cuma mimpi ikutan Sekolah Menteri karena memang tidak ada sekolahnya," begitu nasihat teman saya.
Bekasi, 27 Desember 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI