Aku melihat Wishnu Yang Maha Pelindung dalam buah yang lonjong berwarna hijau. Aku meliha Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringan-jaringan yang sudah tua dalam badanku menjadi rontok dan mati di dalam.
Sementara itu seperti dikutip dari buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams, Bung Karno mengatakan bahwa "Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari.
Di sana, dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru nyang tiada batasnya dan mega putih yang menggelembung, di sanalah aku duduk merenung berjam-jam. Aku memandang samudera bergejolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinyan. Pasang surut, namun tetap menggelora secara abadi.
Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada."
"Suatu kekuatan gaib yang menyeretku ke tempat itu (pohon sukun) hari demi hari," begitu benang merah yang dapat saya simpulkan untuk menjelaskan alasan Bung Karno kerap mendatangani pohon sukun dan melakukan permenungan.
Bung Karno memahami arti penting pohon sebagai sumber kehidupan manusia karena memiliki banyak manfaat baik untuk menjaga kelangsungan hidup. Dari pohon kita belajar mencapai ketinggian sebagai simbol dari kesuksesan tetapi pohon tidak pernah lupa melakukan gerakan ke bawah sebagai tempatnya berpijak.
Seperti kata bijak, semakin tinggi puncak sebatang pohon, semakin kencang angin yang menerpanya. Pohon-pohon yang kuat akarnya pasti akan bertahan dalam badai angin sedangkan pohon-pohon yang tidak kuat akarnya akan tumbang menjadi tanah.
Pancasila yang dipikirkan Bung Karno sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan Ideologi negara pun demikian, harus memiliki akar yang kuat di dalam kehidupan masyarakat agar tidak ditumbangkan oleh ideologi lain.
Tidak hanya itu, dalam kebiasaan masyarakat nomaden dimana manusia hidup berpindah-pindah, kita mengertahui bahwa pohon-pohon besar dan rindang yang dirasa aman seperti sukun kerap dijadikan sebagai tempat tinggal atau rumah alam.
Dengan fakta bahwa pohon merupakan awal dari rumah manusia nomaden, maka dalam konsep antropologi, pohon adalah salah satu tanda/simbol rumah alam dalam sejarah perjalanan umat manusia dari masa ke masa. Karenanya dikenal istilah pohon keluarga (family tree). Karenanya pula bukan merupakan suatu kebetulan jika Bung Karno kerap melakukan meditasi di bawah pohon sukun saat di Ende.
Tentu saja permenungan yang dilakukan Bung Karno di bawah pohon sukun hanyalah salah satu aktivitas yang dilakukan Bung Karno saat di pengasingan di Ende.